Syar’u Man Qoblana

Materi Kuliah Pengantar Hukum Islam

banner 468x60

ACADEMICS.web.id – Syar’u secara etimologi berarti mengalir. Syariah yang merupakan isim fa’il dari kata syar’u diartikan sebagai tempat yang didatangi orang yang ingin minum untuk menghilangkan rasa haus (Ibn Manzhur, Tt).

Yang dimaksud dengan syar’u man qoblana sesungguhnya adalah ajaran nabi-nabi berupa syariat yang ditetapkan sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW, bisa jadi syariatnya Nabi Ibrahim, atau Nabi Ismail, atau Nabi Isa dan lain-lain. Dalam pembahasan ushul fiqh, yang dijadikan bahan diskusi adalah apakah syariat-syariat yang ditetapkan kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW itu berlaku juga bagi ummat Nabi SAW? Agar supaya topik ini menjadi mudah dipahami, kita awali dengan pembahasan lebih detail lagi mengenai syar’u man qoblana sebagai salah satu metode istinbat dalam hukum Islam.

banner 336x280

Hakikat Syar’u Man Qoblana

Syar’u man qoblana lebih berorientasi untuk menunjukkan adanya syariat-syariat sebelum Islam diutusnya Nabi Muhammad SAW. Abdul Wahab Khallaf (2002) menyebutkan bahwa syar’u man qoblana berhubungan dengan syariat yang telah diturunkan Allah kepada orang-orang yang telah mendahului kita (hukum-hukum para nabi terdahulu).

Sedangkan Muhammad Abu Zahrah (Tt) membatasi   bahwa  syariat­syariat yang  diturunkan   tersebut   adalah syariat    samawiyyah. Ali Hasballah (1997)  juga  mengungkapkan bahwa Syar’u man Qablana adalah “as-syaro’i’ al-sabiqah”    (syariat­ syariat   sebelum   Islam).   Definisi syar’u  man  qablana  tampak  jelas dalam   ungkapan Abdul Karim  Zaidan (1985)  yang  mengatakan   bahwa ia merupakan hukum­hukum yang telah disyariatkan  Tuhan kepada  umat­umat  sebelum  kita  yang  diturunkan  melalui  para  nabi  dan  para rasul untuk disampaikan kepada seluruh   masyarakat    pada   waktu itu.

Berkaitan  dengan  posisi syar’u man  qablana,   Wahbah az-Zuhaili   (1996) menyatakan  bahwa dengan diutusnya  Muhammad  sebagai  nabi pada  tahun  611  Masehi,  maka sejak itu pula bahwa  syariat  Nabi Muhammad    adalah   penutup    segala  syariat  yang  diturunkan   Tuhan.

Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani (1999) menjelaskan, ada dua masalah pokok yang perlu dipahami sebelum membahas syar’u man qoblana lebih dalam, yaitu: (1) apakah Rasulullah saw diperintah untuk menjalankan syariat; dan (2) apakah Rasulullah SAW diperintah menjalankan syariat sebelum masa kenabiannya. Dalam dua masalah ini, ulama sepakat perihal masalah yang pertama bahwa disamping Rasulullah sebagai pembawa syariat (musyarri’), ia juga dituntut untuk menjalankan semua syariat yang dibawanya. Akan tetapi, ulama berbeda pendapat perihal masalah yang kedua, menurut sebagian pendapat, Rasulullah SAW dituntut untuk menjalankan syariat sebelum masa kenabiannya, dan syariat yang dijadikan pedoman adalah syariat Nabi Adam as, sebagai syariat pertama yang ada di muka bumi.

Ada yang berpendapat, Rasulullah SAW dituntut menjalankan syariat Nabi Nuh sebelum masa kenabiannya. Ada yang mengatakan bahwa Rasulullah dituntut untuk menjalankan syariat Nabi Ibrahim. Adapula pendapat yang terakhir menyatakan bahwa Rasulullah saw dituntut menjalankan syariat Nabi Isa. Sebab, masa di antara keduanya sangat dekat dibanding dengan masa nabi sebelumnya.

Namun pendapat yang dijadikan pedoman mayoritas ulama adalah Rasulullah SAW tidak dituntut untuk menjalankan syariat para nabi sebelumnya, sebelum masa kenabiannya. Pendapat ini merupakan pendapat yang diprakarsai oleh Imam al-Qusyairi dan dipedomani oleh mayoritas ulama. Menurutnya, jika sebelum masa kenabian Rasulullah SAW dituntut untuk menjalankan syariat nabi sebelumnya, hal itu menunjukkan bahwa Nabi SAW akan abai dan acuh pada syariatnya sendiri setelah kenabiannya. Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani (1999) mengatakan:

وَرَجَّحَ هَذَا: أَيْ عَدَمَ التَّعَبُّدِ بِشَرِعٍ قَبْلَ الْبِعْثَةِ. هَذَا مَا نَرْتَضِيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ عَلَى دِيْنٍ لَنَقَلَ وَلَذَكَرَهُ، إِذْ لَا يُظَنُّ بِهِ الْكِتْمَانُ

Dan (ulama) mengunggulkan (pendapat) ini, yaitu tidak dituntutnya (Rasulullah SAW) dengan syariat sebelum kenabiannya. Ini merupakan pendapat yang kami ridhoi, sebab jika Rasulullah SAW ada dalam sebuah agama (syariat), maka dia akan mencatat, dan menjelaskannya, sebab tidak bisa disangka bahwa Rasulullah SAW menyimpan (syariat)nya”.

Dua hal pokok di atas menjadi masalah dasar sebelum memahami syar’u man qoblana. Darinya pula, para ulama menjadikan syar’u man qoblana sebagai salah satu dalil perihal disyariatkannya syariat para nabi sebelum Nabi Muhammad saw, tepatnya setelah masa kenabiannya atau justru tidak dijadikan syariat.

Kendati demikian, tetap saja muncul berbagai pertanyaan  di kalangan  para ahli  ushul  fiqh,   khususnya   berkaitan dengan keterikatan Nabi Muhammad  secara pribadi dengan syariat sebelumnya  dan sesudah  dia menjadi nabi, termasuk pula di dalamnya pengikut­pengikut  Nabi Muhammad  sampai sekarang.

Polemik Seputar Syar’u Man Qoblana

Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah syariat sebelum Nabi SAW itu menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad SAW. Pendapat mereka dapat dikelompokkan sebagai berikut (Al-Khudari Beik, 1981):

  • Jumhur ulama     Hanafiyah     dan Hanabilah, termasuk sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum syara’  sebelum  kita  tidak berlaku untuk kita (umat Nabi Muhammad) selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad. Alasannya    adalah bahwa  syariat  sebelum  kita  itu berlaku secara khusus. Lain halnya syariat  yang  dibawa  Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang berlaku secara umum sehingga menasakh syariat sebelumnya.
  • Sebagian sahabat    Abu    Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan   bahwa   hukum-hukum yang disebutkan dalam al-Quran atau as-Sunnah sekalipun      tidak diarahkan      untuk      umat      Nabi Muhammad SAW,  maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya. Dari sini muncul kaidah شرع من قبلنا شرع لنا . Alasan mereka ini didasarkan atas petunjuk dari ayat al-Quran seperti firman Allah SWT dalam surah al-Syura ayat ke 13:

شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًا وَالَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِۦٓ إِبْرٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ ۖ أَنْ أَقِيمُوا۟ الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا۟ فِيهِ…

Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan jangan kamu berpecah belah tentangnya…”.

Berdasarka dua pendapat diatas, maka Abdul Wahhab Khallaf (2002) menyatakan bahwa yang terkuat adalah pendapat yang kedua. Alasannya adalah syariat Islam hanya membatalkan hukum yang berbeda dengan syariat Islam. Maka, segala syariat yang diajarkan oleh nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW namun termaktub dan tersebut di dalam al-Quran dengan status tidak dinasakh, maka syariat-syariat tersebut berlaku juga keatas ummat Nabi SAW. Bagaimanapun juga, syariat yang di berlakukan hukumnya, pada hakikatnya adalah hukum Allah SWT, disampaikan oleh para rasul kepada umatnya selama tidak ada dalil yang membatalkannya. Sementara al-Quran hadir untuk membenarkan hukum yang terdapat dalam kitab Taurat, Zabur dan Injil. Karenanya, selama tidak ada yang membatalkan, hukum yang terdapat pada ketiga kitab terdahulu itu berlaku juga untuk umat Nabi Muhammad SAW.

Masih terkait polemik diatas, Wahbah az-Zuhaili (1969) mengklasifikasi syar’u man qoblana atau syariat para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW terklasifikasi menjadi dua bagian:

Bagian pertama, syar’u man qoblana yang tidak disebut dalam al-Quran dan hadits. Ulama sepakat bahwa syariat yang semacam ini tidaklah menjadi syariat bagi Nabi SAW dan ummatnya. Contoh syar’u man qoblana yang seperti ini adalah ritual-ritual yang dilakukan oleh orang-orang ahli kitab namun tidak diketahui dari mana sumber syariat tersebut dan syariat Nabi Muhammad SAW tidak menganjurkannya. Dalam hal ini, para ulama lebih memilih diam (mauquf) dari menganggapnya sebagai syariat ummat terdahulu atau tidak. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Abu Hurairah bahwa orang-orang ahli kitab membaca Kitab Taurat menggunakan bahasa Ibrani dan menafsiri dengan menggunakan bahasa Arab, lantas Rasulullah SAW bersabda:

لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ

Janganlah kalian benarkan ahli kitab, juga jangan mengingkari mereka”.

Setelah Rasulullah SAW menyampaikan sabda di atas, beliau melanjutkan firman Allah surah al-Baqarah ayat 136:

قُولُوها آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub, dan anak cucunya, dan pada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya’”.

Isi, makna dan kandungan kitab-kitab samawi yang diturunkan sebelum al-Quran sudah banyak yang diubah, mulai dari bahasa, terjemah dan arti oleh orang-orang ahli kitab. Karenanya, Rasulullah SAW memberikan alternatif agar tidak membenarkan mereka, khawatir sudah diubah sesuai kehendaknya, juga tidak memperbolehkan mengingkari, karena bisa jadi ada sebagian yang masih utuh sesuai ajaran yang diturunkan. Adapun cara terbaik adalah tidak menanyakan semua itu. Dengan kata lain, isi kitab-kitab yang diturunkan dan masih sesuai dengan makna awalnya maka harus dipercaya dan diiman sebagai manifestasi keimanan pada ajaran nabi sebelumnya. Sikap tidak mempersoalkan firman Allah merupakan sebuah kewajiban, sebagaimana yang telah dijelaskan pada ayat di atas.

Bagian kedua, syar’u man qoblana yang disebut dalam al-Quran dan hadits. Dalam bagian kedua ini ada beberapa poin penting yang perlu dipahami dari syariat nabi terdahulu yang disebutkan dalam al-Quran dan hadits, bahwa ulama masih mengklasifikasi perihal apakah ia menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad SAW atau tidak. Perinciannya terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:

Pertama, syar’u man qoblana yang dijelaskan dalam al-Quran dan menjadi syariat bagi umat sebelum Nabi SAW, namun dihapus (mansukh) dari syariat Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini ulama sepakat bahwa ia tidak termasuk komponen dari syariat Nabi Muhammad SAW. Contohnya dalam al-Quran surah al-An’am ayat ke 146 Allah berfirman:

وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ، وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْم،ٍ ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ

Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku, dan Kami haramkan kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya, atau yang dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya, dan sungguh Kami Mahabenar.”

Ayat di atas secara tegas mengharamkan konsumsi jenis hewan yang mempunyai kuku, seperti burung, unta, angsa, dan lain-lain. Begitu juga haram mengkonsumsi lemak hewan yang gemuk selain punuk dan perut besarnya. Ayat ini juga mengisahkan perihal yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi dahulu. Allah menegaskan tentang keharaman hewan-hewan yang telah disebutkan. Kemudian, dijelaskan pula dalam al-Quran bahwa hal itu (syariat ini) tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad SAW. Allah berfirman dalam surah al-An’am ayat 145:

قُل لَّا أَجِدُ فِي مَآ أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ

Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi orang yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi, karena semua itu kotor, atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah.”

Ayat ini menghapus keharaman hewan-hewan yang telah diharamkan yang notabene merupakan syariat bagi nabi terdahulu, namun tidak diterapkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ummatnya. Menurut Muhammad Sayyid Thanthawi (Tt), ayat di atas menjelaskan bahwa tidak ada makanan yang diharamkan kepada ummat Nabi Muhammad SAW kecuali bangkai (hewan mati yang tidak disembelih secara syar’i), darah yang mengalir, seperti darah yang keluar ketika hewan ketika disembelih, bukan darah beku seperti hati, dan limpa. Juga haram mengkonsumsi daging anjing dan babi karena semua itu dianggap kotor dan tidak disukai oleh watak manusia yang sehat, serta membahayakan pada kesehatan.

Kedua, syar’u man qoblana yang dijelaskan dalam al-Quran, menjadi syariat bagi umat sebelum Nabi saw dan tidak dihapus (mansûkh) dari syariat Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini ulama sepakat bahwa syariat tersebut menjadi bagian dari syariat Nabi Muhammad SAW dan ummatnya. Contohnya dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat ke 183 Allah swt berfirman:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kalian agar kalian bertakwa”.

Ayat di atas menunjukkan ketegasan Allah dalam mewajibkan puasa kepada Nabi Muhammad SAW dan ummatnya, sebagaimana diwajibkannya puasa bagi ummat sebelumnya. Secara historis, yang melaksanakan kewajiban puasa pertama kali adalah ummat nabi terdahulu, namun kewajiban itu terus berlanjut bahkan menjadi bagian dari syariat Nabi Muhammad SAW. Karenanya ulama sepakat bahwa syariat umat nabi terdahulu yang diakui dalam al-Quran merupakan syariat yang diberlakukan kepada kita sebagai komponen dari syariat Nabi Muhammad SAW.

Ketiga, hukum-hukum yang disebutkan dalam al-Quran atau hadits nabi, yang merupakan syariat ummat sebelum Nabi Muhammad SAW, namun secara jelas tidak dinyatakan menjadi syariat untuk Nabi Muhammad SAW dan ummatnya, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah di-nasakh (hapus). Terkait bagian ketiga ini ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan menjadi syariat bagi ummat Nabi Muhammad SAW, yaitu pendapat jumhur dari kalangan mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian ulama kalangan mazhab Syafi’iyah. Ada juga yang  mengatakan tidak menjadi bagian dari syariat umat Nabi Muhammad SAW, yaitu pendapat rajih (unggul) mazhab Syafi’i dan ulama Asy’ariyah. Dalil yang dijadikan pedoman oleh kelompok pertama adalah firman Allah dalam surah an-Nahl ayat ke 123, yaitu:

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إلَيْكَ أَنِ اتّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنيفًا

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim yang lurus.’”

Perihal ini, Wahbah az-Zuhaili (1969) mengatakan bahwa syariat yang diturunkan kepada siapa pun merupakan syariat Allah yang Dia turunkan dan tetapkan, dan juga tidak ditemukan ayat lain yang menghapusnya, sementara Allah menceritakan kepada umat Islam dalam firman-Nya melalui lisan nabi-Nya, maka hal ini menjadi dalil secara tersirat yang harus diikuti oleh ummat Nabi Muhammad SAW. Sebab Allah tidak akan menceritakannya jika tidak ingin dijadikan syariat, atau setidaknya akan ada ayat lain yang akan menghapus makna ayat tersebut. Adapun dalil yang dijadikan pedoman oleh kelompok ini adalah firman Allah dalam surah al-Maidah ayat ke 48, yaitu:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

Untuk setiap umat dari kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang”.

Ayat ini memberikan pemahaman bahwa Allah SWT masing-masing nabi memiliki syariat tersendiri untuk umatnya. Tentu setiap syariat yang dibawa oleh nabi yang berbeda akan menghapus syariat nabi sebelumnya, kecuali ada ketentuan khusus yang menjadikan syariat terdahulu sebagai bagian dari syariat ummat nabi setelahnya.@

Prepared by Sofiandi

Source: Ushul Fiqh Made Easy

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *