SEKILAS MENGENAI POST-TRUTH: KETIKA FAKTA DAN EMOSI BERBAUR | Sofiandi, PhD

banner 468x60

ACADEMICS.web.id – Anda tentu sering mendengar istilah “post-truth”? Istilah ini sering kali digunakan dalam konteks informasi dan politik. Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan post-truth? Mari kita bahas dengan bahasa yang sederhana.

Post-truth adalah kondisi di mana emosi, keyakinan pribadi, dan pendapat subjektif lebih mempengaruhi pembentukan pandangan daripada fakta yang objektif. Artinya, persepsi seseorang terhadap sesuatu tidak dibangun atas dasar kenyataan yang logis namun semata-mata berdasarkan keyakinan buta, emosi dan pendapat yang tidak logis.  Dalam situasi ini, seseorang cenderung mengambil keputusan berdasarkan perasaan dan keyakinan mereka sendiri, sekalipun ternyata, fakta yang objektif menunjukkan hal yang berbeda.

banner 336x280

Dengan kata lain, kebenaran objektif seringkali terabaikan atau diabaikan karena pengaruh emosi dan keyakinan pribadi yang kuat. Hal ini dapat menyebabkan persepsi yang salah atau tidak akurat tentang suatu masalah atau peristiwa, karena fakta-fakta yang seharusnya menjadi dasar tidak dijadikan prioritas.Dalam era informasi digital seperti sekarang ini, kita memiliki akses yang luas ke berbagai sumber informasi. Namun, sayangnya, tidak semua informasi tersebut dapat dipercaya sepenuhnya.

Dalam dunia post-truth, seringkali fakta-fakta diabaikan atau diubah agar sesuai dengan narasi atau agenda tertentu. Orang-orang cenderung memilih informasi yang mendukung pandangan mereka sendiri, sementara mengabaikan atau menolak informasi yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Hal ini dapat memicu munculnya hoax, kabar burung, informasi bodong, dusta, fitnah, dan teori konspirasi yang dapat menyesatkan banyak orang.

Salah satu faktor utama yang memperkuat post-truth adalah media sosial. Media sosial memungkinkan informasi tersebar dengan cepat dan luas, tetapi tanpa mekanisme pengawasan yang memadai. Ini memberikan peluang bagi informasi yang salah atau tidak akurat untuk dengan mudah menyebar dan diterima sebagai kebenaran oleh banyak orang. Selain itu, media sosial juga cenderung memperkuat filter gelembung (echo chamber), di mana orang hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan mereka, dan memperkuat keyakinan mereka sendiri tanpa terbuka untuk pandangan yang berbeda.

Peran utama dalam dunia post-truth adalah emosi. Ketika kita mendapatkan informasi yang memicu emosi kita, seperti kemarahan, ketakutan, atau kegembiraan, kita cenderung mempercayainya tanpa memeriksa kebenarannya. Misalnya, ketika sebuah berita yang menghebohkan tentang kejahatan muncul di media sosial, kita cenderung membagikannya tanpa berpikir panjang apakah informasi tersebut benar atau tidak. Anda ingat apa yang terjadi pada masa awal pandemic COVID-19 lalu? Atau bagaimana hoax merajalela di hampi semua lini media massa terkait dengan vaksinasi pencegahan penyebaran COVID-19? Banyak klaim, berita dan informasi yang tidak didukung oleh bukti ilmiah namun justru ditelan bulat-bulat oleh masyarakat awam.

Tidak hanya di kita, bahkan juga negara maju seperti Inggris tidak luput dari wabah post-truth. Peristiwa Brexit tahun 2016 adalah satu dari sekian buktinya. Inggris pada saat itu mengadakan referendum untuk memutuskan apakah mereka akan keluar dari Uni Eropa (Brexit) atau tetap menjadi anggota. Selama kampanye referendum, terjadi penyebaran informasi yang tidak akurat atau hoaks secara luar biasa, seperti klaim bahwa Inggris akan menghemat sejumlah besar uang dengan keluar dari Uni Eropa, dll. Informasi yang tidak benar ini mempengaruhi pemilih dan berkontribusi pada keputusan akhir untuk keluar dari Uni Eropa.

Di Amerika juga demikian. Pemilihan Presiden AS tahun 2016 diwarnai dengan penyebaran berita palsu dan propaganda yang bertujuan untuk mempengaruhi pandangan dan preferensi pemilih. Misalnya, munculnya klaim palsu yang menuduh salah satu kandidat terlibat dalam tindakan kriminal atau konspirasi. Berita palsu ini tersebar luas melalui media sosial dan memengaruhi persepsi publik terhadap kandidat tersebut.

Lalu, bagaimana cara mengatasi fenomena post-truth ini? Pertama, penting bagi kita untuk menjadi konsumen informasi yang cerdas. Kita perlu memeriksa sumber informasi dan mencari tahu apakah informasi tersebut berasal dari sumber yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Jangan langsung mempercayai apa yang kita baca di media sosial atau mendengar dari seseorang tanpa verifikasi yang cermat. Kalau dalam Jurisprudensi sosial Islam disebut dengan tabayyun.

Kedua, keterampilan kritis sangat penting. Kita harus belajar untuk menganalisis informasi secara objektif dan mempertanyakan apa yang kita baca atau dengar. Kita harus melatih diri kita sendiri untuk mencari bukti dan fakta sebelum pada akhirnya membuat kesimpulan. Dengan cara ini, kita dapat mencegah penyebaran informasi yang salah dan hoaks yang dapat merugikan banyak orang.

Terakhir, pendidikan, edukasi dan literasi juga memiliki peran penting dalam menghadapi post-truth. Dalam kurikulum pendidikan, penting untuk mengajarkan keterampilan kritis dan literasi media kepada generasi muda. Mereka perlu diajarkan bagaimana memilah dan menilai informasi dengan bijaksana agar mereka dapat membuat keputusan yang informatif dan rasional di masa depan.

Dalam dunia yang terus berkembang seperti ini, menghadapi fenomena post-truth menjadi semakin penting. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memerangi penyebaran informasi yang salah dan mendukung kebenaran. Dengan menjadi konsumen informasi yang cerdas, menggunakan keterampilan dan pemikiran yang kritis, dan meningkatkan pendidikan, kita dapat membangun masyarakat yang lebih sadar informasi dan berpikiran terbuka. Ingatlah, fakta-fakta dan kebenaran-kebenaran akan selalu tetap ada, dan kita harus agar semua itu menjadi dasar dalam mengambil keputusan dan memahami dunia di sekitar kita.@

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *