ACADEMICS.web.id – Sadd az-zari’ah terdiri dari dua suku kata yakni “sadd” dan “zari’ah”. Kata sadd menurut bahasa artinya “menutup sesuatu yang cacat atau rusak” dan juga berarti “menutup lubang”. Sedangkan kata zari’ah berarti “wasilah” atau “jalan menuju suatu tujuan” (Ibn Manzhur, Tt).
Secara terminologi, sadd az-zari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya dibolehkan ataupun dilarang, untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang (Mufid, 2018). Contoh sederhananya adalah begini, seorang yang sudah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul (genap setahun) dia menghibahkan hartanya kepada anak sulungnya. Otomatis hartanya berkurang sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat. Cara menyikapi kasus seperti ini dalam sadd az-zari’ah, dilihat dari aktifitas hibah yang dilakukan itu terlebih dahulu. Hibah dalam syariat Islam merupakan perbuatan yang baik dan mengandung kemaslahatan. Namun dalam kasus ini, tujuan hibah bisa jadi tidak baik, karena akibat hibah tersebut, maka orang tadi dapat menghindari kewajiban zakat. Oleh karena itu, hukum hibah dalam kasus ini adalah haram. Pertimbangannya, zakat hukumnya wajib sedangkan hibah hukumnya adalah sunah.
Legitimasi Sadd Az-Zari’ah
Dasar hukum sadd az-zari’ah adalah dalil al-Quran, hadist, kaidah fiqh dan logika. Allah berfirman dalam surah al-An’am ayat 108:
وَلَا تَسُبُّوا۟ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ فَيَسُبُّوا۟ اللهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.
Mencaci maki Tuhan atau sesembahan agama lain, dalam ayat diatas, adalah az-zari’ah yang akan menimbulkan efek buruk yang dilarang yaitu mencaci maki Tuhan. Karena mereka yang Tuhannya dicaci pasti akan membalas dengan cara cacian pula. Oleh karena itu, sebelum terjadi berbalas pantuan cacian maka al-Quran melarangan tindakan caci maki Tuhan agama lain sebagai upaya preventif (sadd az-zari’ah).
Selain ayat diatas, terdapat juga hadist dari Abdullah bin Amr dimana dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk diantar dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya”. Kemudian Beliau ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?”. Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu lelaki tersebut”. Hadist ini dijadikan dasar bagi konsep sadd az-zari’ah karena karakter hukumnya sama dengan yang dikandung dalam surah al-An’am ayat 108 tadi.
Adapun kaidah fiqh yang menjadi dasar aplikasi sadd az-zari’ah adalah: “Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan dari pada meraih kebaikan (maslahah)”. Dimana di dalam sadd az-zari’ah terkandung unsur keburukan (mafsadah) yang harus dihindari.
Secara logika, ketika seorang membolehkan suatu perbuatan, maka semestinya dia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkannya kepada hal tersebut. Juga sebaliknya, jika seorang melarang suatu perbuatan, maka semestinya dia pun melarang segala hal bisa mengantakannya kepada perbuatan tersebut. Hal ini sejalan dengan ungkapan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah (1996): “Ketika Allah melarang sesuatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang telah ditetapkan”.
Klasifikasi Sadd Az-Zari’ah
Menurut Abdul Karim Zaidan (1985), perbuatan-perbuatan yang menjadi perantara kepada keburukan (mafsadah) terbagi menjadi dua macam:
- Perbuatan yang keharamannya tidak saja karena ia sebagai perantara bagi suatu keharaman, tapi esensi dari perbuatan itu sendiri adalah haram. Maka, keharaman perbuatan seperti ini bukan termasuk dalam ranah pembahasan sadd az-zari’ah.
- Perbuatan yang sejatinya dibolehkan (mubah), namun perbuatan itu memungkinkan untuk digunakan sebagai perantara kepada hal yang diharamkan. Perbuatan semacam ini oleh Wahbah Zuhaili (1996) dibagi kepada empat macam:
Pertama, dipastikan perbuatan itu mengakibatkan keburukan. Misalnya, membuat lubang di tempat gelap di depan pintu gerbang tempat lalu lintas umum yang dapat dipastikan akan menjebak siapapun yang melintasinya. Ini perbuatan terlarang yang pelakunya bisa dituntut.
Kedua, mungkin sekalipun kecil kemungkinannya perbuatan itu membawa kepada suatu yang dilarang. Misalnya, menjual buah anggur kepada orang yang bukan produsen minuman keras. Hal ini boleh dilakukan karena kemungkinan anggur itu dijadikan minuman keras sangat kecil. Malah manfaat dengan mengkonsimsi anggur akan memberikan gizi yang baik bagi pembeli tadi.
Ketiga, perbuatan yang sejatinya mubah, namun kemungkinannya besar untuk membawa kepada keburukan dibandingkan kepada kebaikan. Contohnya, menyewa kamar kos di rumah yang dikenal sebagai rumah lokalisasi atau base camp judi. Menyewa kamar kos tersebut dilarang karena kemungkinan besar membawa kepada keburukan.
Keempat, perbuatan yang sejatinya mubah karena mengandung kebaikan namun disisi lain, jika dilihat dari pelaksanaannya ada kemungkinan membawa kepada suatu yang dilarang. Contohnya seperti yang tadi pernah disebut diatas dimana seorang yang sudah terkena kewajiban zakat, namun karena ingin menghindari kewajiban tersebut, dia hibahkan sebagian hartanya kepada anak sulungnya. Ini perbuatan yang dilarang karena terkesan hibah tersebut dilakukan sebagai hilah untuk mengelak membayar zakat.
Metode Aplikasi Zari’ah
Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak karena perbuatan tersebut bisa menjadi sarana (zari’ah) terjadinya perbuatan lain yang dilarang, maka secara umum hal itu dapat dilihat dari dua hal (Az-Zuhaili, 1996):
- Dilihat dari sisi motif atau tujuan seseorang melakukan sebuah perbuatan, apakah perbuatan itu akan mengarah kepada yang dibolehkan atau yang diharamkan. Jika indikasi kuatnya mengarah kepada yang diharamkan atau dilarang, maka perbuatan itu dihukumi tidak boleh dilakukan, dan sebaliknya.
- Dilihat dari akibat yang ditimbulkan, tanpa harus melihat kepada motif dan tujuan. Jika perbuatan itu menimbulkan dampak negative, maka perbuatan itu harus dicegah. Contoh sederhana dari ini adalah masalah pemberian hadiah (gratifikasi) yang diawasi oleh KPK.
Polemik Seputar Sadd Az-Zari’ah
Terdapat perbedaan pendapat diantara sarjana ushul fiqh terhapat penerapan sadd az-zari’ah sebagai dalil syara’ (Mufid, 2018):
Pertama, ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima sadd az-zari’ah sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antar lain firman Allah dalam surah al-An’am ayat 108 tadi.
Kedua, ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah dapat menerima sadd az-zari’ah dalam masalah tertentu saja dan menolak dalam masalah yang lain. Mereka mau menerima sadd az-zari’ah jika kemafsadatan yang akan muncul benar-benar atau setidaknya kemungkinan besar akan terjadi. Maka menurut mereka, jika demikian halnya, maka sadd az-zari’ah bisa diaplikasikan dalam upaya mencegah kemafsadatan tersebut terjadi.@
Prepared by Sofiandi
Source: Ushul Fiqh Made Easy