ACADEMICS.web.id – Secara etimologi kata nasionalisme,akar katanya national yang diambil dari natio yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran. Kata natio berasal kata nascie yang berarti dilahirkan. Nation atau bangsa menurut Hans Kohn: adalah golongan – golongan yang beragam dan tidak dapat dirumuskan secara eksak. Kebanyakan bangsa memiliki faktor faktor obyektif tertentu yang membedakan mereka dengan bangsa bangsa lainnya, seperti kesamaan keturunan, bahasa, daerah, kesatuan politik, adat istiadat, tradisi, perasaan dan agama.
Menurut Benedict Anderson: bangsa adalah komunitas politik yang terbatas dan berdaulat yang dicita-citakan atau diangakan Menurut Ensiklopedia Indonesia: nasionalisme adalah sikap politik dan sosial dari kelompok- kelompok suatu bangsa yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, dan wilayah, serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dan adanya kesetiaan mendalam terhadap bangsaa. Dengan demikian kata kunci dalam nasionalisme adalah kesetiaan, yang muncul karena adanya kesadaran akan identitas kolektif yang berbeda dengan lainnya. Pada kebanyakan kasus kesetiaan itu terjadi karena kesamaan keturunan, kebudayaan, bahasa. Akan tetapi semua unsur bukanlah unsur yang substansial, sebab yang ada dalam nasionalisme adalah kemampuan untuk bersatu.
Nasionalisme dalam perspektif Isalm Sebagaimana bangsa Eropa yang mengenal nasionalisme semenjak abad ke 18, orang Islam pun tidak mengenal nasionalisme. Pada saat penyebaran agama Islam tidak dikenal kata atau kalimat yang berkonotasi dengan kata nasionalisme. Terminologi yang dipakai untuk menunjukan pada komunitas Islam adalah al ummah al- Islamiyyah yang berarti umat Islam. Istilah yang dapat merujuk kepada nasionalisme baru muncul saat ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir. Saat itu, dia memperkenalkan terminologi al ummah al- misriyyah yang berarti umat Mesir.
Walaupun demikian kita dapat menurut pada istilah yang digunakan dalam Al- Qur’an maupun perilaku Rasulullah Muhammad SAW pada waktu berbeda di kota Madinah. Kata sya’ ab, qaum, ummah banyak digunakan Al- Qur’an untuk merujuk makna “bangsa”. Kata sya’ ab yang menjadi kata tunggal dari syu’uban yang tercantum pada surat al- Hujarat (49):13 kita temukan dalam Al Qur’an dan terjemahannya yang disusun oleh Departemen Agama mempunyai arti bangsa.
“Wahai manusia kami sesungguhnya telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.”
Berdasar pada ayat itu, jelas bahwa Al-Quran telah memperkenalkan konsep bangsa. Kata qaum dapat kita jumpai dalam surat Hud (11):63,64,78,84, yang menyebutkan ya qaumi yang berarti wahai kaumku. Sedang kata ummah sering kita jumpai dalam Al-Quran yang menunjuk tidak hanya pada sekelompok manusi (QS 21:92, QS @:143) tetapi juga menunjuk kepada sekelompok hewan (QS 6:38).
Ar-Roqhib (1108 M) seorang pakar bahasa Al-Quran mendefinisikan ummah sebagai kelompok yang dihimpun oleh sesuatu seperti agama, waktu atau tempat yang sama, baik perhimpunannya secara terpaksa atau atas kehendak mereka. Sedangkan Ali Syariati seorang cendekiawan Iran mengartikan ummah sebagai himpunan manusia yang seluruh anggotanya bersama-sama menuju satu arah, bahu membahu, dan bergerak secara dinamis dibawah kepemimpinan bersama. (Shihab, 1996:326-332).
Rujukan kedua dalam menegakkan nasionalisme adalah tindakan Nabi Muhammad SAW pada saat di Madinah. Saat itu, Rasullullah mengikat seluruh penduduk Madinah untuk mengadakan perjanjian yang disebut piagam Madinah. Piagam itu dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya nation state oleh Montgomery Watt dan Bernard Lewis (Moesa, 2007:241).
Madinah saat itu dihuni oleh kaum Anshor yaitu penduduk asli yang telah memeluk Islam, dan kaum Muhajir yang berasal dari Mekah dan menetap bersama Nabi atau setelah itu. Kaum Anshor sendiri terdiri dari suku Aus dan Khozroj. Kaum muslim bukanlah satu-satunya yang menghuni kota Madinah. Disamping muslim menghuni juga kaum Yahudi,Kristen, Majusi (penyembah api) dan sisa-sisa orang Arab yang masih menyembah berhala.
Piagam Madinah merupakan landasan dasar bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi penduduk Madinah yang majemuk. Isi pokok piagam Madinah antara lain: pertama, semua pemeluk Islam meskipun berasal dari banyak suku merupakan satu komunitas. Kedua, hubungan antara sesama komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan non Islam didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga dengan baik, saling membantu dalam menghadapi musuh, membantu mereka yang teraniaya, saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama (Sjadzali, 1993:13-14).
Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran menyatakan bahwa unsur-unsur nasionalisme dapat ditemukan dalam AlQuran:
- Persamaaan keturunan .
Al-Quran menegaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia terdiri dari berbagai ras, suku dan bangsa agar tercipta persaudaraan dalam rangka menggapai tujuan bersama yang dicita-citakan.
- Persamaan Bahasa
Bahasa pada hakikatnya bukan hanya sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan isi pikiran dan tujuan, tapi untuk memelihara identitas dan sebagai pembeda dari komunitas lain. Jadi bahasa dapat merupakan perekat terjadinya persatuan umat atau bangsa. Sahabatsahabat Rasulullah ketika meremehkan sahabat Salman (berasal dari Persia), Suhaib (berasal dari Romawi) dan Bilal (dari Ethiopia) maka Rasulullah bersabda: kebangsaan Arab yang ada pada diri kalian bukanlah karena bapak atau ibu melainkan dari bahasa, maka barang siapa berbicara bahasa Arab maka dia adalah bangsa Arab.
- Persamaan adat istiadat
Adat istiadat menurut pakar hukum Islam selama tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dipertimbangkan sebagai hukum. Allah menandaskan dalam QS 3:104 “hendaklah ada sekelompok diantara kamu yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar”. Demikian pula dalam QS 7:199 “jadilah engkau pemaaf, perintahkan yang ’urf (adat istiadat yang baik), dan berpalinglah dari orang jahil”. Pada kedua ayat tersebut kata ’urf dan alma’ruf dimaksudkan sebagai adat istiadat dan kebiasaan yang baik yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Jadi jelas bahwa adat istiadat sebagai salah satu pembentuk bangsa tidaklah bertentangan dengan Islam.
- Persamaan sejarah.
Persamaan sejarah masa lalu, persamaan senasib dan sepenanggungan masa kini serta persamaan tujuan masa akan datang merupakan salah satu faktor yang mendominasi terbentuknya suatu bangsa. Sejarah yang gemilang masa lalu selalu dibanggakan generasi berikutnya, demikian pula sebaliknya. Al-Quran pun sangat menonjol dalam menguraikan sejarah dengan tujuan untuk diambil pelajaran guna menentukan langkah berikutnya. Jadi unsur kesejarahan sejalan dengan Al-Quran.
- Cinta tanah air
Cinta tanah air tidak bertentangan dengan Al-Quran, bahkan inklusif dalam ajarannya dan praktik Nabi Muhammad SAW. Cinta beliau kepada tanah air tampak pula ketika beliau meninggalkan kota Makkah seraya berucap: Demi Allah, sesungguhnya adalah bumi Allah yang paling aku cintai, seandainya orang yang bertempat tinggal di sini tidak mengusirku niscaya aku tidak meninggalkannya. Demikian pula pada saat beliau sudah tinggal di Madinah dan menjadi warga kota, beliau memohon kepada Allah: Ya Allah cintakan kota Madinah kepada kami, sebagai mana engkau mencintakan kota Makkah kepada kami (HR Bukhari, Malik dan Akhmad). Orang yang gugur dalam mempertahankan keluarga, harta dan negeri sendiri dinilai sebagai syahid, sebagaimana gugur dalam membela agama, bahkan agama menggandengkan pembelaan agama dan pembelaan negara dalam QS 60:8-9: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik, dan memberi sebagian hartamu (berbuat adil) kepada orang yang tidak memerangi kamu karena, dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperilaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu berkawan dengan orang-orang yang memerangi kau karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu orang lain mengusirmu.”
KESIMPULAN
Akar-akar nasionalisme ternyata dapat diketemukan dalam ayat-ayat Al-Quran dan dalam kehidupan Nabi Mahammad SAW. Hal inilah yang membuat kalangan Islam nasionalis berani memperjuangkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa mendasarkan diri formalisasi syariat Islam. Kelompok ini menyatakan bahwa kehidupan spiritual diatur oleh agama sedangkan kehidupan duniawi diatur oleh logika duniawi. Pemikiran ini seakan-akan mengandung unsur sekularistik, yaitu adanya pemisahan agama dengan dunia, meskipun sejatinya hanya pemisahan wilayah. Pemikiran seperti dapat mengalirkan pemikiran ”Islam politik” ke Islam kultural. Tokoh kelompok ini adalah Nurcholis Madjid, Abdurrohman Wahid.
Dipihak lain terdapat golongan yang berusaha mengadakan politisasi agama dan agamisasi politik. Politisasi agama berarti menggunakan simbol-simbol agama untuk menggerakkan massa, mengaduk-aduk emosi keagamaan, menjalin kekuatan di parlemen demi tujuan untuk menjadikan agama sebagai alat dari political enginerring. Agamisasi politik berarti menjadikan politik yang semestinya ranah publik ditarik keranah privat yang menjadi urusan agama. Urusan politik menjadi urusan agama dan perjuangan politik menjadi perjuangan agama, hal ini bisa mengarah ke berdirinya negara ”teokrasi”.@
PENULIS:
Mahasiswa Sem 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN SUSKA Riau