NASIONALISME DALAM PERSEPEKTIF ISLAM | Ridho Arahman

Mahasiswa Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau

banner 468x60

ACADEMICS.web.id – Secara etimologi kata nasionalisme,akar katanya national yang diambil dari natio yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran. Kata natio berasal kata nascie yang berarti dilahirkan. Nation atau bangsa menurut Hans Kohn: adalah golongan – golongan yang beragam dan tidak dapat dirumuskan secara eksak. Kebanyakan bangsa memiliki faktor faktor obyektif tertentu yang membedakan mereka dengan bangsa bangsa lainnya, seperti kesamaan keturunan, bahasa, daerah, kesatuan politik, adat istiadat, tradisi, perasaan dan agama.

Menurut Benedict Anderson:  bangsa adalah komunitas politik yang terbatas dan berdaulat yang dicita-citakan atau diangakan  Menurut Ensiklopedia Indonesia: nasionalisme adalah sikap politik dan sosial dari kelompok- kelompok suatu bangsa yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, dan wilayah, serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dan adanya kesetiaan mendalam terhadap bangsaa.  Dengan demikian kata kunci dalam nasionalisme adalah kesetiaan, yang muncul karena adanya kesadaran akan identitas kolektif yang berbeda dengan lainnya. Pada kebanyakan kasus kesetiaan itu terjadi karena kesamaan keturunan, kebudayaan, bahasa. Akan tetapi semua unsur bukanlah unsur yang substansial, sebab yang ada dalam nasionalisme adalah kemampuan untuk bersatu.

banner 336x280

Nasionalisme dalam perspektif Isalm  Sebagaimana bangsa Eropa yang mengenal nasionalisme semenjak abad ke 18, orang Islam pun tidak mengenal nasionalisme. Pada saat penyebaran agama Islam tidak dikenal kata atau kalimat yang berkonotasi dengan kata nasionalisme. Terminologi yang dipakai untuk menunjukan pada komunitas Islam adalah al ummah al- Islamiyyah yang berarti umat Islam. Istilah yang dapat merujuk kepada nasionalisme baru muncul saat ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir. Saat itu, dia memperkenalkan terminologi al ummah al- misriyyah yang berarti umat Mesir.

Walaupun demikian kita dapat menurut pada istilah yang digunakan dalam Al- Qur’an maupun perilaku Rasulullah Muhammad SAW pada waktu berbeda di kota Madinah. Kata sya’ ab, qaum, ummah banyak digunakan Al- Qur’an untuk merujuk makna “bangsa”. Kata sya’ ab yang menjadi kata tunggal dari syu’uban yang tercantum pada surat al- Hujarat (49):13 kita temukan dalam Al Qur’an dan terjemahannya yang disusun oleh Departemen Agama mempunyai arti bangsa.

“Wahai manusia kami  sesungguhnya telah menciptakan kamu  dari seorang laki-laki dan seorang  perempuan, dan kami menjadikan kamu  berbangsa-bangsa dan bersuku-suku  agar kamu saling mengenal.  Sesungguhnya yang paling mulia  diantara kamu disisi Allah adalah yang  paling bertakwa. Sesungguhnya Allah  maha mengetahui lagi maha mengenal.”

Berdasar pada ayat itu, jelas  bahwa Al-Quran telah memperkenalkan  konsep bangsa. Kata qaum dapat kita  jumpai dalam surat Hud  (11):63,64,78,84, yang menyebutkan ya  qaumi yang berarti wahai kaumku.  Sedang kata ummah sering kita jumpai  dalam Al-Quran yang menunjuk tidak  hanya pada sekelompok manusi (QS  21:92, QS @:143) tetapi juga menunjuk  kepada sekelompok hewan (QS 6:38).

Ar-Roqhib (1108 M) seorang pakar  bahasa Al-Quran mendefinisikan ummah sebagai  kelompok yang dihimpun oleh sesuatu seperti  agama, waktu atau tempat yang sama, baik  perhimpunannya secara terpaksa atau atas  kehendak mereka. Sedangkan Ali Syariati seorang  cendekiawan Iran mengartikan ummah sebagai  himpunan manusia yang seluruh anggotanya  bersama-sama menuju satu arah, bahu membahu,  dan bergerak secara dinamis dibawah  kepemimpinan bersama. (Shihab, 1996:326-332).

Rujukan kedua dalam menegakkan nasionalisme adalah  tindakan Nabi Muhammad SAW pada  saat di Madinah. Saat itu, Rasullullah  mengikat seluruh penduduk Madinah  untuk mengadakan perjanjian yang  disebut piagam Madinah. Piagam itu dianggap sebagai cikal bakal  terbentuknya nation state oleh  Montgomery Watt dan Bernard Lewis  (Moesa, 2007:241).

Madinah saat itu  dihuni oleh kaum Anshor yaitu  penduduk asli yang telah memeluk  Islam, dan kaum Muhajir yang berasal  dari Mekah dan menetap bersama Nabi  atau setelah itu. Kaum Anshor sendiri  terdiri dari suku Aus dan Khozroj. Kaum  muslim bukanlah satu-satunya yang  menghuni kota Madinah. Disamping  muslim menghuni juga kaum Yahudi,Kristen, Majusi (penyembah api) dan  sisa-sisa orang Arab yang masih  menyembah berhala.

Piagam Madinah  merupakan landasan dasar bagi  kehidupan bermasyarakat, berbangsa  dan bernegara bagi penduduk Madinah  yang majemuk. Isi pokok piagam  Madinah antara lain: pertama, semua  pemeluk Islam meskipun berasal dari  banyak suku merupakan satu komunitas.  Kedua, hubungan antara sesama  komunitas Islam dan antara komunitas  Islam dan non Islam didasarkan atas  prinsip-prinsip bertetangga dengan baik,  saling membantu dalam menghadapi  musuh, membantu mereka yang  teraniaya, saling menasehati dan  menghormati kebebasan beragama  (Sjadzali, 1993:13-14).

Dr. M. Quraish Shihab dalam  bukunya Wawasan Al-Quran  menyatakan bahwa unsur-unsur  nasionalisme dapat ditemukan dalam AlQuran:

  1. Persamaaan keturunan .

Al-Quran menegaskan bahwa Allah  SWT menciptakan manusia terdiri  dari berbagai ras, suku dan bangsa agar tercipta persaudaraan dalam  rangka menggapai tujuan bersama  yang dicita-citakan.

  1. Persamaan Bahasa

Bahasa pada hakikatnya bukan  hanya sebagai alat komunikasi untuk  menyampaikan isi pikiran dan  tujuan, tapi untuk memelihara  identitas dan sebagai pembeda dari  komunitas lain. Jadi bahasa dapat  merupakan perekat terjadinya  persatuan umat atau bangsa. Sahabatsahabat Rasulullah ketika meremehkan  sahabat Salman (berasal dari Persia), Suhaib  (berasal dari Romawi) dan Bilal (dari  Ethiopia) maka Rasulullah bersabda:  kebangsaan Arab yang ada pada diri kalian  bukanlah karena bapak atau ibu melainkan  dari bahasa, maka barang siapa berbicara  bahasa Arab maka dia adalah bangsa Arab.

  1. Persamaan adat istiadat

Adat istiadat menurut pakar hukum Islam  selama tidak bertentangan dengan hukum  Islam dapat dipertimbangkan sebagai hukum.  Allah menandaskan dalam QS 3:104 “hendaklah ada sekelompok diantara kamu  yang mengajak kepada kebaikan,  memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah  yang mungkar”. Demikian pula dalam QS 7:199  “jadilah engkau pemaaf, perintahkan  yang ’urf (adat istiadat yang baik),  dan berpalinglah dari orang jahil”. Pada kedua ayat tersebut kata ’urf dan alma’ruf dimaksudkan sebagai  adat istiadat dan kebiasaan yang baik  yang tidak bertentangan dengan  prinsip-prinsip Islam. Jadi jelas  bahwa adat istiadat sebagai salah  satu pembentuk bangsa tidaklah  bertentangan dengan Islam.

  1. Persamaan sejarah.

Persamaan sejarah masa lalu, persamaan  senasib dan sepenanggungan masa kini serta  persamaan tujuan masa akan datang  merupakan salah satu faktor yang  mendominasi terbentuknya suatu bangsa.  Sejarah yang gemilang masa lalu selalu  dibanggakan generasi berikutnya, demikian  pula sebaliknya. Al-Quran pun sangat  menonjol dalam menguraikan sejarah dengan  tujuan untuk diambil pelajaran guna  menentukan langkah berikutnya. Jadi unsur  kesejarahan sejalan dengan Al-Quran.

  1. Cinta tanah air

Cinta tanah air tidak bertentangan  dengan Al-Quran, bahkan inklusif  dalam ajarannya dan praktik Nabi  Muhammad SAW. Cinta beliau  kepada tanah air tampak pula ketika  beliau meninggalkan kota Makkah  seraya berucap: Demi Allah,  sesungguhnya adalah bumi Allah  yang paling aku cintai, seandainya  orang yang bertempat tinggal di sini  tidak mengusirku niscaya aku tidak  meninggalkannya. Demikian pula pada saat beliau  sudah tinggal di Madinah dan  menjadi warga kota, beliau  memohon kepada Allah: Ya Allah  cintakan kota Madinah kepada kami,  sebagai mana engkau mencintakan  kota Makkah kepada kami (HR  Bukhari, Malik dan Akhmad). Orang yang gugur dalam  mempertahankan keluarga, harta dan  negeri sendiri dinilai sebagai syahid,  sebagaimana gugur dalam membela  agama, bahkan agama  menggandengkan pembelaan agama  dan pembelaan negara dalam QS  60:8-9: “Allah tidak melarang kamu  berbuat baik, dan memberi sebagian  hartamu (berbuat adil) kepada  orang yang tidak memerangi kamu  karena, dan tidak pula mengusir  kamu dari negerimu, sesungguhnya  Allah menyukai orang-orang yang  berperilaku adil. Sesungguhnya  Allah hanya melarang kamu  berkawan dengan orang-orang yang  memerangi kau karena agama dan  mengusir kamu dari negerimu dan  membantu orang lain mengusirmu.”

KESIMPULAN

Akar-akar nasionalisme ternyata dapat  diketemukan dalam ayat-ayat Al-Quran  dan dalam kehidupan Nabi Mahammad  SAW. Hal inilah yang membuat  kalangan Islam nasionalis berani  memperjuangkan berdirinya Negara  Kesatuan Republik Indonesia tanpa  mendasarkan diri formalisasi syariat  Islam. Kelompok ini menyatakan bahwa  kehidupan spiritual diatur oleh agama  sedangkan kehidupan duniawi diatur  oleh logika duniawi. Pemikiran ini  seakan-akan mengandung unsur  sekularistik, yaitu adanya pemisahan  agama dengan dunia, meskipun sejatinya  hanya pemisahan wilayah. Pemikiran  seperti dapat mengalirkan pemikiran  ”Islam politik” ke Islam kultural. Tokoh  kelompok ini adalah Nurcholis Madjid,  Abdurrohman Wahid.

Dipihak lain  terdapat golongan yang berusaha  mengadakan politisasi agama dan  agamisasi politik. Politisasi agama  berarti menggunakan simbol-simbol  agama untuk menggerakkan massa,  mengaduk-aduk emosi keagamaan,  menjalin kekuatan di parlemen demi  tujuan untuk menjadikan agama sebagai  alat dari political enginerring.  Agamisasi politik berarti menjadikan  politik yang semestinya ranah publik  ditarik keranah privat yang menjadi  urusan agama. Urusan politik menjadi  urusan agama dan perjuangan politik  menjadi perjuangan agama, hal ini bisa  mengarah ke berdirinya negara  ”teokrasi”.@

PENULIS:

RIDHO ARAHMAN:
Mahasiswa Sem 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN SUSKA Riau
banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *