ACADEMICS.web.id – Pembahasan hukum music dan nyanyian dalam Islam berakar dalam peran musik dan seni dalam kehidupan manusia serta keragaman pendapat di kalangan ulama Islam tentang masalah ini. Musik dan seni telah menjadi bagian dalam budaya dan masyarakat, yang digunakan untuk ekspresi, hiburan, dan bahkan sebagai alat untuk menyampaikan pesan agama dan moral.
Dalam Islam, terdapat keragaman pandangan tentang musik. Hukum musik dan nyanyian dalam Islam adalah topik yang telah menimbulkan perdebatan di kalangan cendekiawan Islam. Beberapa ulama menganggap musik sebagai hal yang dilarang (haram), merujuk pada hadis dan ayat-ayat Al-Qur’an yang menekankan menjauhi hal-hal yang merusak moral. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa musik yang tidak mengandung konten merusak dapat diterima dalam Islam, terutama jika digunakan dalam konteks positif dan niat baik.
Diskusi tentang hukum musik dalam Islam mencakup interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang relevan, dengan peran penting yang diberikan pada konteks dan niat dalam penggunaan musik. Terlebih lagi, nilai-nilai etika dan moral dalam seni dan musik harus tetap dijunjung, dan pendapat ulama serta cendekiawan Islam yang dihormati menjadi sumber penting dalam memahami isu ini yang terus diperdebatkan di kalangan umat Islam.
Beberapa pendapat para ulama mengenai hukum music dan nyanyian adalah sebagai berikut :
- Pendapat Ulama yang Memperbolehkan
➢ Yusuf Qardlawi mengatakan bahwa ada bukti yang menunjukkan kebolehan nyanyian dalam Islam, yang termasuk fakta bahwa para sahabat seringkali menyalurkan semangat dan ekspresi mereka melalui nyanyian syair pada berbagai acara, seperti saat membangun Masjid Nabawi dan selama perang-perang seperti Perang Ahzab. Lebih jauh, mereka menggunakan syair untuk memotivasi diri dan orang-orang di medan perang, seperti yang dilakukan Abdullah bin Rawahah dalam perang melawan orang Romawi di Mekkah.
➢ Izzuddin Ibn Abdis Salam mengemukakan bahwa pendapat umum dalam Mazhab Empat menyatakan bahwa memainkan dan mendengarkan alat musik seperti kecapi dan instrumen berdawai, seperti rebab, hukumnya haram. Namun, ada juga pandangan yang berpendapat bahwa ini hanya termasuk sebagai dosa
kecil. Di sisi lain, beberapa ulama terkemuka, termasuk beberapa sahabat, tabi’in, dan beberapa imam yang mampu berijtihad, memandang bahwa memainkan dan mendengarkan alat musik tersebut adalah diperbolehkan.
➢ Syeikh Mahmud Saltut berpendapat bahwa mendengarkan suara-suara yang indah, termasuk suara manusia, binatang, atau alat-alat musik buatan manusia, adalah diperbolehkan selama tindakan tersebut tidak mengalihkan perhatian dari kewajiban agama, tidak melibatkan hal-hal yang dilarang, dan tidak merendahkan martabat atau kehormatan seseorang.
- Pendapat Ulama yang Tidak Memperbolehkan
➢ Abu Hanifah mengemukakan bahwa musik sebagian besar hukumnya haram dan termasuk dalam kategori perbuatan yang tidak disukai (makruh), dan mendengarkannya dianggap sebagai dosa. Pandangan ini juga diperkuat oleh mayoritas ulama dari Kufah, termasuk Sofyan al-Tsauri, Himad, Ibrahim, Syu’bi, dan ulama lainnya.
➢ Imam Malik RA sangat tegas dalam melarang permainan musik, dan bahkan memberikan contoh tentang ketentuan yang melibatkan musik dalam pandangannya. Menurutnya, jika seseorang membeli seorang budak perempuan dan kemudian mengetahui bahwa budak tersebut adalah seorang penyanyi, maka pembeli berhak untuk mengembalikan budak tersebut karena dianggap memiliki “cacat.” Pandangan ini kemudian diikuti oleh mayoritas ulama di Madinah, kecuali Ibnu Sa’id.
- Pendapat Ulama yang Memperbolehkan dengan Syarat
➢ Tajuddīn al-Subkī, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab “Tuhfah al- Muhtāj” oleh Imam Ibnu Hajar al-Haytami, menjelaskan tentang hukum mendengarkan nyanyian. Ia menyatakan bahwa mendengarkan nyanyian adalah boleh jika tidak ada penggunaan alat musik selain rebana. Selain itu, penting juga untuk menjaga agar tidak terjadi campur baur antara laki-laki dan perempuan yang tidak dihalalkan, dan memastikan bahwa yang dilihat atau didengar adalah hal-hal yang halal dan tidak merusak etika.
➢ Syeikh ‘Alī Jumu’ah, dalam kitab al-Bayīn līma Yasghal al-Adzhān, menjelaskan bahwa para ulama telah sepakat bahwa diperbolehkan untuk menyanyikan lagu tanpa menggunakan alat musik dalam konteks momen- momen bahagia yang disyariatkan, seperti pernikahan, kepulangan seseorang yang sedang bepergian, perayaan aqiqah, dan lainnya. Namun, hal ini harus memenuhi syarat tertentu, yaitu lagu tersebut tidak dinyanyikan oleh seorang biduan yang tampil di hadapan orang-orang yang bukan mahramnya atau ajnabi.
➢ Menurut al-Ghazali, baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits, tidak memberikan hukuman yang terperinci terkait dengan musik. Meskipun ada hadis yang melarang penggunaan alat musik tertentu, seperti seruling dan gitar, al- Ghazali menjelaskan bahwa larangan tersebut bukan ditujukan kepada alat musik itu sendiri (seperti seruling atau gitar), melainkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij), yang menjadi penyebab larangan tersebut.
Imam Al-Ghazali mengidentifikasi lima faktor yang dapat mengubah hukum lagu dari boleh menjadi haram:
- Faktor Penyanyi: Hukum lagu dapat berubah menjadi haram jika penyanyinya seorang wanita, karena hal ini dapat memunculkan fitna
- Faktor Alat: Penggunaan alat musik seperti seruling, gitar, dan gendang dapat membuat lagu tersebut haram.
- Faktor Isi Lagu atau Alunan Suara: Lagu dapat diharamkan jika liriknya mengandung kata-kata yang keji, mengandung unsur percintaan, atau mengandung penistaan terhadap
- Faktor Kondisi Pendengar: Jika lagu tersebut dapat memicu nafsu (syahwat) dari pendengarnya, maka hukumnya menjadi haram.
- Faktor Kondisi Orang Awam: Mendengarkan musik diperbolehkan jika hal ini tidak mengalihkan perhatian dari waktu ibadah kepada Allah.@
Penulis:
Mahasiswa Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau