ACADEMICS.web.id – Jean-Paul Sartre, seorang filsuf kontemporer asal Prancis yang wafat pada tahun 1980, memiliki pandangan filsafat yang radikal yang menciptakan aliran baru yang dikenal sebagai Eksistensialisme. Pandangan unik ini bertentangan dengan gagasan para filsuf sebelumnya.
Sartre menolak teori bahwa esensi manusia dapat diukur, dijelaskan, atau diketahui dengan pasti. Baginya, fokus utama adalah pada eksistensi manusia, bukan pada esensinya. Menjelaskan esensi manusia menjadi suatu kekeliruan karena esensi manusia berbeda dengan esensi benda-benda lainnya.
Sartre berpendapat bahwa sifat kesempurnaan manusia menjadi faktor utama yang membuat esensi manusia menjadi unpredictable. Pikiran manusia yang kompleks menjadikan manusia dinamis dalam arti positif maupun negatif, serta adanya dorongan-dorongan internal (baca: hati) yang sering mengusik dinamika ini. Dalam bahasa agamanya dikatakan ما يوسوس في الصدور atau dalam surah Annas, disebutkan الذى يوسوس في صدور الناس sehingga tidak ada cara yang akurat untuk menjelaskan esensi manusia tersebut. Dinamis, berubah, pasang surut, turun naik dan seterusnya.
Di sisi lain, esensi benda-benda lain dapat diuraikan dengan mudah. Sebagai contoh, seorang anak kecil bisa dengan mudah menguraikan esensi pulpen. Pulpen adalah alat tulis dengan tinta di dalamnya, memiliki berbagai pilihan warna, dan digunakan untuk menulis. Semua pulpen memiliki esensi seperti itu. Hal yang sama berlaku untuk benda-benda lain di alam semesta ini. Meskipun ada benda yang belum pernah diketahui atau ditemui sebelumnya, seiring waktu, esensinya akan terungkap dan tidak berubah.
Namun, hal ini tidak berlaku untuk manusia. Esensi manusia tidak bisa dijelaskan atau diukur. Misalnya, seseorang mungkin dianggap sebagai orang baik, lembut hati, pemikir logis, taat, dan patuh pada aturan. Namun, menurut Sartre, hal ini adalah kesalahan karena terkadang seseorang tidak memiliki hati atau perasaan, atau mungkin memiliki akal tetapi tidak menggunakannya dengan baik. Penilaian terhadap esensi manusia dapat berubah dan tidak selalu sama, selalu ada faktor yang membuatnya berbeda.
Sartre berpendapat bahwa para filsuf keliru dalam berusaha menjelaskan hakikat manusia yang pasti. Baginya, hal ini adalah absurd. Menilai bahwa manusia hakikatnya baik atau buruk adalah suatu yang tidak benar. Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan segala kesempurnaannya, tetapi tidak dengan kesempurnaan hakikatnya. Alasan inilah yang membuat kesempurnaan manusia didasarkan pada anugerah akal yang disandingkan dengan nafsu.
Lantas dari mana hakikat manusia itu? Caranya eksis. Atau kalau dalam narasi yang dibangun oleh Heidegger, Filsuf Jerman itu, “cara anda menghadirkan diri”. Jadi, tidak ada hakikat bawaan. Esensi manusia terbentuk dari eksistensinya, caranya mengada, caranya menghadirkan diri. Jika seseorang “mengada” atau “menghadirkan dirinya” dengan cara yang baik, maka baiklah dia, artinya esensinya menjadi baik . Sebaliknya, jika seseorang “mengada” atau “menghadirkan dirinya” dengan cara yang tidak baik, maka buruklah dia, artinya esensinya menjadi buruk.
Contohnya, jika seseorang selalu berbohong, maka dia menjadi pembohong. Sebagaimana disabda oleh Nabi, “Barang siapa yang berbohong dan terbiasa berbohong, maka dia akan menjadi kazzab (pembohong).” Begitu juga jika masyarakat Indonesia hidup dengan hoaks dalam kehidupan sehari-hari, lama kelamaan bangsa Indonesia akan menjadi bangsa “pembuat hoaks” karena eksistensinya fokus pada esensi hoaks tersebut. Namun, bukankah bangsa Indonesia itu aslinya santun, ramah dan baik hati? Siapa bilang!? Justru “Asli”nya itu tidak ada karena “asli”nya itu tergantung prilaku setiap hari yang membentuk eksistensi. Berarti jati diri bangsa ini tidak ada? Jika merujuk pada teorinya Sastre ini iya memang…. Karena jati diri itu terbentuk dari eksistensi sehari-hari yang dibentuk.
Inilah pandangan Jean-Paul Sartre tentang aliran filsafat eksistensialismenya. Pandangan ini menggali makna dalam eksistensi manusia dan menunjukkan bahwa esensi manusia tidak dapat dijelaskan secara pasti. Setiap individu memiliki kebebasan untuk membentuk eksistensinya sendiri melalui cara dia hadir di dunia. Dalam dunia yang kompleks ini, kita sebagai manusia berperan aktif dalam membentuk esensi dan makna hidup kita. Wallahu a’lam.@
Penulis:
Sofiandi, Lc., MHI., Ph.D
Research Fellow di beberapa lembaga seperti Fath Institute for Islamic Research Jakarta, IRDAK Institute of Singapore, Asia-Pacific Journal on Religion and Society, Institute for Southeast Asian Islamic Studies, Islamic Linkage for Southeast Asia, Dosen IAI Arrisalah, Anggota Dewan Masjid Indonesia, Ketua Dewan Pembina Badan Koordinasi Muballigh Indonesia Prov. Kepri, Anggota ICMI Prov. Kepri, Pemimpin Redaksi ACADEMICS TV, Direktur Swara Akademika Indonesia Foundation, Pembina Ikatan Wartawan Online Indonesia Prov. Kepri.