ACADEMICS.web.id – Secara umum, Mazhab Shahabi adalah pendapat para sahabat Nabi SAW tentang suatu perkara yang hukumya belum dijelaskan secara rinci dalam al-Quran dan as-Sunnah”. Dan yang dimaksud dengan sahabat disini adalah setiap orang muslim yang hidup dan bergaul dengan Nabi SAW dalam waktu yang cukup lama serta menjadi muridnya pada periode yang sama. Contoh mereka adalah Abu Bakar as-Siddiq, Abdullah bin Masud, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, Bilal bin Rabah dan sebagainya (Al-Khatib, 1975).
Dalam ranah ilmu ushul fiqh, yang menjadi diskursus penting mengenai mazhab shahabi ini adalah apakah fatwa-fatwa mereka itu harus diikuti para mujtahid? Apakah fatwa mereka itu bisa dianggap dalil sebagaimana al-Quran, as-Sunnah dan ijma’ dalam membangun konstruksi hukum Islam?
Terkait hal ini, maka Abdul Karim Zaidan (1985) mengelompokkan pendapat para sahabat ke dalam empat kategori sebagai berikut:
- Fatwa sahabat yang bukan hasil dari sebuah proses ijtihad. Contohnya fatwa Ibnu Mas’ud bahwa batas minimal waktu haid tiga hari, atau batas minimal maskawin sebanyak 10 dirham. Fatwa ini bukan hasil sebuah ijtihad karena hal ini mereka dapatkan dari Nabi SAW. Maka, ulama sepakat bahwa fatwa seperti ini bisa menjadi dalil untuk pengembangan hukum Islam. Karena memang sejatinya berasal dari Nabi SAW.
- Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka sebagai ijma’ sahabat. Fatwa jenis ini juga boleh menjadi landasan hukum Islam.
- Fatwa individu (perorangan) sahabat yang tidak mengikat sahabat yang lain. Ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan pendapat sahabat yang jenis ini.
- Fatwa individu (perorangan) sahabat yang dikeluarkan melalui ra’yu atau ijtihad. Inilah yang kita sebut dengan mazhab shahabi.
Terkait perbedaan pendapat ulama terhadap validitas penggunaan fatwa sahabat secara individu yang bukan merupakan hasil proses ijtihad dan tidak mengikat sahabat yang lain seperti yang disebut pada kategori nomor tiga di atas, maka mengutip dari pendapatnya Wahbah az-Zuhaili (1969), bisa disimpulkan kepada dua kategori yaitu:
- Menurut kalangan Hanafiyah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan pendapat terkuat dari Ahmad bin Hanbal, fatwa sahabat semacam itu bisa dijadikan dalil. Alasannya antara lain firman Allah dalam surah Ali Imran ayat ke 110:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَبِاللهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.
Ayat diatas ditujukan kepada para sahabat dan menunjukkan bahwa apa yang mereka sampaikan adalah makruf (kebaikan) dan oleh karena itu harus diikuti. Disamping status mereka sebagai ummat terbaik.
Alasan kedua adalah hadist Nabi SAW yang berbunyi:
أصحابي كالنجوم بأي اقتديتم اهتديتم
“Para sahabatku bagaikan bintang-bintang, siapapun di antara mereka yang kalian ikuti maka kalian akan mendapatkan petunjuk”.
Dari hadist diatas, maka menurut suporter aliran ini, menunjukkan bahwa wajib hukumnya mengikuti fatwa sahabat. Namun ulama mengatakan, termasuk didalamnya Ibn Hazm, bahwa hadist ini maudhu’ yang tidak bisa dijadikan sandaran hukum.
- Menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad, Mu’tazilah dan kalangan Syi’ah, fatwa sahabat tidak bisa dijadikan dalil karena tidak bisa mengikat generasi sesudahnya. Diantara alasannya adalah, pertama, firman Allah dalam surah al-Hasyr ayat ke 2:
…فاعتبروا ياأولى الأبصار
“Maka ambillah (kejadian tu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandagan”.
Yang dimaksud dengan “mengambil pelajaran” dalam ayat diatas, menurut ulama yang menolak fatwa sahabat sebagai dalil, adalah melakukan ijtihad. Maka, berdasarkan ayat ini, menurut mereka, tersedia perintah bagi orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad. Inilah kenapa kemudian, bagi ulama aliran ini, mengikuti pendapat sahabat sama saja artinya ber-taqlid kepada sahabat yang bertentangan dengan kehendak ayat tadi yang menyuruh berijtihad.
Alasan kedua, para sahabat bukan orang ma’sum yang terbebas dan terlindungi dari kesalahan selayaknya nabi. Mujtahid lainnya juga demikian. Maka fatwa sahabat dimungkinkan mengandung kekeliruan. Sesuatu yang bisa jadi keliru tidak layak untu diikuti.
Sebagai konklusi dari perdebatan masalah mazhab shahabi ini, Muhammad Abu Zahrah (Tt) berujar bahwa yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa fatwa sahabat bisa dijadikan dalil. Alasan yang beliau kemukakan adalah bahwa para sahabat adalah generasi yang paling dekat dengan Nabi SAW. Mereka banyak menyaksikan proses pembentukan hukum yang dilakukan oleh Nabi SAW. Mereka juga banyak mengetahui latar belakang turunnya ayat dan mereka juga adalah orang yang paling mengerti tentang maksud dari ayat atau hadist. Contoh fatwa dari Aisyah bahwa batas maksimal kehamilan seorang wanita adalah dua tahun. Aisyah Radhiallahu ‘Anha mengatakan, “Anak tidak berada dalam perut ibunya lebih dari dua tahun”.@
Prepared by Sofiandi
Source: Ushul Fiqh Made Easy