ACADEMICS.web.id – Pertanyaan awal yang mungkin dapat diajukan guna memecahkan “misteri pacaran” adalah: “mengapa pacaran harus dihubungkan dengan Islam?”. Untuk menjwabnya tentu kita harus terlebih dahulu mengajukan pertanyaan: “apakah pacaran itu?, serta “Islam apa/ mana yang dimaksud?”.
Harus diakui, dari sekian banyak kata kunci pada tulisan ini, kata “pacaran” merupakan kata yang paling sulit untuk dicarikan defenisinya, dan perlu diingat, defenisi begitu penting untuk menyelesaikan sebuah persoalan – ujar Sokrates. Sayangnya, defenisi yang teramat penting itu tidak dapat saya sajikan dengan sempurna untuk kasus “pacaran” pada tulisan ini. Saya cukup terbantu dengan sebuah makalah yang ditulis seorang dosen Psikologi IAIN Sumatera Utara, Suprayetno, MA, yang dipresentasekannya dalam sebuah kegiatan seminar bertema “Ada Apa dengan Cinta dan Pernikahan Dini Islami” (sekitar tahun 2002, ketika itu saya masih pelajar SMU).
Dalam makalah tersebut Suprayeton menjabarkan pandangannya tentang terminologi “pacaran” dengan kalimat seperti ini: “pacaran adalah proses saling mengasihi dan menyayangi antara lawan jenis jenis” (defenisi ini tidak merujuk pada sumber asli, tapi berdasarkan ingatan saya yang ikut terlibat dalam seminar dimaksud).
Berangkat dari defenisi di atas, saya mencoba merumuskan defenisi tersendiri terhadap pacaran. Satu hal yang mungkin agak terlupa dari defenisi yang ditawarkan di atas adalah “ikatan yang syah menurut hukum pernikahan”, baik dalam perspektif hukum negara maupun hukum agama. Sebab, ikatan tersebut boleh jadi syah dimata pasangan itu sendiri, keluarga mereka, ataupun masyarakat di sekitar mereka. Dengan kata lain, pacaran sudah menjadi kemakluman yang sangat umum di tengah masyarakat kita. Hanya saja, ada hal-hal yang mungkin tidak dapat ditolerir seperti: berhubungan intim layaknya sepasang suami istri.
Saya juga memandang pacaran lebih dekat dengan persoalan “cinta”, sebab cinta itulah yang nantinya akan melahirkan benih kasih sayang. Karenanya, defenisi yang tepat bagi saya untuk istilah pacaran adalah: “interaksi anak manusia untuk mewujudkan atau meluapkan perasaan cinta kepada orang yang dicintainya tanpa ikatan pernikahan”. Ada satu hal yang perlu digaris bawahi disini, bahwa saya tidak ingin menggunakan kata-kata “sepasang anak manusia” yang memiliki orientasi “berlawanan jenis”. Sebab dalam kenyataannya, meskipun dengan alasan yang agak sulit dimengerti, ada juga anak manusia yang merasakan cinta terhadap sesama jenisnya. Orang-orang semacam ini tentu tidak dapat dinafikan begitu saja dari “wilayah pacaran”, apapun alasannya.
Masalah lain yang mungkin akan muncul dari defenisi yang saya batasi adalah “ikatan pernikahan”. Kita tentu pernah mendengar ungkapan “pacaran setelah nikah” yang berbarti bahwa sebaik-baiknya pacaran adalah pacaran yang dilakukan setelah menikah. Bahkan ketika Seminar Tahun 2002 yang sebutkan sebelumnya pernah muncul sebuah pertenyaan tentang sikap Islam terhadap pacaran, salah seorang pembicara memberikan solusi “menikah dulu baru pacaran”, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa pembicara yang satu ini menganggap pacaran setelah nikah itu lebih islami. Namun, saya masih meragukan argumentasi ini, sebab tidak ada istilah pacaran setelah menikah – menurut hemat saya.
Jarang sekali seorang laki-laki misalnya, menikahi pacaranya (wanita tentunya) dengan tetap memakai status “pacar” pada wanita tersebut. Tentu setelah dinikaih status pacarnya akan berubah menjadi “istri”. Justru yang pernah saya dengar dari guyonan seorang teman, “ayahku datang dengan mantan (bekas) pacarnya” untuk mengatakan bahwa ayahnya datang bersama ibu yang melahirkannya. Dengan demikian, pacaran dan pernikahan merupakan dua status yang terpisah. Dua status ini tidak akan pernah bertemu dalam satu waktu. Tidak akan ada orang yang mendapatkan dua status ini sekaligus pada umumnya. Saya akan menyebut diri saya masih pacaran apabila belum menikah, dan akan mengatakan telah menikah setelah menikahi pacar saya, kecuali jika saya selingkuh.
Dus, pemaparan di atas tidak lebih dari sebuah ilustrasi yang ingin memperjelas defenisi, dan defenisi yang saya tawarkan tentunya kurang memenuhi persyaratan ilmiah, sebab memang sulit mengilmiahkan istilah pacaran yang – sekali lagi menurut saya – amat a history. Dapat dipastikan kita akan kewalahan jika ditugaskan untuk melacak kronologis penggunaan istilah pacaran. Jika boleh berapologi, konon istilah pacaran digunakan untuk mengandaikan orang yang melakukannya layaknya seperti orang yang sedang “berpacaran” (menggunakan daun pacar/ inai ditangan). Efek inai itu sendiri akan terlihat cukup lama melekat di tangan orang yang menggunakannya. Demikianlah sekiranya orang yang sedang berpacaran, cinta, hati dan perasaannya akan terus melekat bagi dan untuk pacarnya (orang yang dicintainya).
Sekali lagi, argumentasi yang saya tawarkan tidak ilmiah, akan tetapi kita dapat membandingkan pengandaian ini dengan realitas kehidupan orang yang sedang berpacaran. Dan melalui defenisi serta pengandaian yang saya rumuskan, kita dapat menemukan satu kata kunci dari istilah pacaran, yaitu “cinta”. Jika pacaran kurang begitu menarik diangkat dalam wilayah studi ilmiah, cinta justru sebaliknya, mulai dari psikolog hingga filosof mencoba melacak dan berkomentar mengenai “cinta”.
Cinta tentu memiliki makna yang begitu luas dan mendalam, tidak sesederhana ungkapan seorang Ksatria Langit dari Legenda China – Chu Fat Kay: “penderitaannya tida akhir”, sungguhpun “penderitaan” memang benar-benar menjadi efek serius yang lahir dari problematika cinta. Kahlil Gibran, sastrawan Legendaris ternama punya rumusan tersendiri tentang cinta, menurutnya cinta satu-satunya kebebasan di dunia karena mampu mengangkat jiwa begitu tinggi, sehingga hukum-hukum kemanusiaan dan alam tidak mampu menemukan jejaknya. Filosof kaliber seperti Plato juga punya rumusan soal cinta, menurutnya cinta adalah daya kuat dalam diri manusia yang mendorong dan membawanya pada realitas yang sejati yang selanjutnya disebut sebagai “ide”.
Fat Kay telah mengingatkan orang yang takut akan penderitaan agar jangan coba-coba mendekati cinta, sementara Gibran telah menjelaskan luasnya makna cinta sehingga kekuatan alampun tak mampu melacak jejaknya, sedangkan Plato mangajarkan kita betapa dalam makna cinta. Dari sini kita dapat membayangkan rumitnya persoalan cinta, namun bukan tidak berarti kita mencoba lagi untuk melihat satu rumusan cinta yang ditawarkan seorang Psikolog bernama Stanberg yang menganggap cinta sebagai sebuah kisah, kisah yang ditulis oleh setiap orang.
Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Ada kisah tentang perang memperebutkan kekuasaan, misteri, permainan dan sebagainya. Kisah pada setiap orang berasal dari “skenario” yang sudah dikenalnya, apakah dari orang tua, pengalaman, cerita dan sebagainya. Kisah ini biasanya mempengaruhi orang bagaimana ia bersikap dan bertindak dalam sebuah hubungan. Stanberg memperkenalkan teori segitiga cinta (bukan cinta segi tiga) yang mengandung komponen keintiman (intimacy), gairah (passion), dan komitmen.
Rumusan Stanberg ini agaknya membantu kita untuk sekali lagi menyelami “wilayah pacaran” yang sedari awal telah kita bicarakan dalam tulisan ini. Menurut saya, apa yang telah dirumuskan Stanberg tentang “segi tiga cinta” menjadi komponen-komponen yang harus ada dalam “kamus pacaran”. Kita belum pernah mendengar ada orang yang berpacaran tanpa “keintiman”, sungguhpun kita pernah mengetahui ada juga orang yang berpacaran melalui sms or komunikasi telephon tanpa pernah bertemu muka sekalipun, namun tidak berarti nilai keintiman tidak ada didalamnya, sebab istilah intim memang lebih bersifat abstak.
Orang berpacaran juga karena muncul dalam dirinya sebuah gairah, gairah ini pula yang nantinya melahirkan rasa ingin memiliki terhadap orang yang dicintai. Dan terakhir, tidak ada dalam kamus pacaran tanpa sebuah kesepakatan (komitmen), artinya mereka yang bersepakat untuk pacaran biasanya akan membangun sebuah komitmen tertentu yang akan disetujui satu sama lain. Pelanggaran terhadap komitmen ini yang biasanya memunculkan “teori terbalik” segi tiga cinta ala Stanberg (alias cinta segi tiga).
Bagaimana Pacaran Dalam Pandangan Islam?
Nah, setelah kita melanglang buana membicarakan cinta dan pacaran, selanjutnya mari kita melihat bagaimana Islam memandang pacaran?. Namun, ketika kita membicarakan Islam berarti kita membicarakan sesuatu yang banyak (beragam) – ungkap Luthfie Asyaukanie. Kalangan Faqih mungkin akan berbeda dengan orang-orang sufi dalam memandang pacaran, konon lagi filosof – jika kita bawa-bawa dalam pembicaraan ini. Akan tetapi, jika pertanyaan yang muncul adalah “bagaimana pandangan Islam terhadap pacaran?”, dapat disimpulkan ini menjadi wilayah pembicaraan kalangan faqih yang biasa bicara soal hukum.
Saya tidak akan menentukan mazhab mana yang harus dipakai untuk mengukur “humum pacaran”, karena bicara Islam berarti bicara sesuatu yang beragam (banyak). Maka, menurut saya perlu mengemukakan seluruh pandangan yang muncul tentang pacaran, yang secara umum dapat dikategorikan kedalam tiga pandangan.
Pandangan pertama mengatakan bahwa tidak ada pacaran di dalam Islam, sama halnya dengan pacaran itu “haram”. Pandangan semacam ini biasanya menganggap bahwa untuk berhubungan dengan orang-orang yang bukan mahram, harus melalui ikatan-ikatan yang syah menurut pandangan Islam (yang dipahaminya, tentunya), dan ikatan tersebut adalah pernikahan. Golongan yang memiliki pandangan seperti ini biasanya hanya mengenal istilah ta’aruf yang terjadi sebelum pernikahan. Sangat wajar ada golongan yang punya pandangan seperti ini, karena mereka menilai masalah yang selalu dianggap sepele seperti bertatap muka dengan orang-orang yang bukan mahram merupakan “zina”, haram bersentuhan tangan (karena sama halnya dengan menyentuh bara api neraka), dan mereka melakukan komunikasi melalui hijab terhadap orang-orang yang bukan mahram.
Pandangan selanjutnya adalah membolehkan pacaran “mubah” selama masih berada dalam nilai-nilai Islam. Biasanya pandangan seperti ini masih terikat dengan argumentasi-argumentasi fiqih yang telah mengalami penafsiran-penafsiran tertentu. Pandangan ini akan diwakili oleh golongan “Islam Modernis”. Sebagai ilustrasi, orang berpacaran tanpa batal wudhu’ – misalnya. Sungguhpun “kepuasan seksual” menjadi alasan lain mengapa orang berpacaran, pada pandangan yang kedua ini agaknya pacaran ingin dijadikan sebagai wadah penyalur hasrat cinta kepada lawan jenisnya. Meskipun tidak mendapatkan “kepuasan seksual”, terpenuhinya hasrat biasanya telah dirasa cukup.@
Penulis: