ACADEMICS.web.id – Membujang berasal dari kata “Bujang” yang berarti sebutan untuk seorang yang belum menikah. Memutuskan untuk tidak menikah disebut dengan tabattul yaitu sebagai perbuatan menjauhi manusia lain, tidak bersosialisasi, tidak berhubungan seksual, menempuh cara hidup layaknya biarawan, dan tidak menikah. ada pula yang mendefinisikan tabattul sebagai perbuatan atau gaya hidup membujang dengan tujuan memperbanyak ibadah
Didalam hadits Rasulullah Saw menolak Utsman bin Mazh’un untuk membujang; “andaikan dia dibolehkan membujang, tentu kami (para sahabat) akan membujang, sehingga kalau perlu kami berkebiri” (H.R. Bukhari). Membujang yang dimaksud oleh utsman bin madz’un adalah mengharamkan dirinya untuk nikah, pakai wangi-wangian dan segala macam kenikmatan hidup. Sedangkan menurut Imam as-Sindi at-Tabattul ialah memutuskan hubungan dengan wanita dan sengaja tidak menikah karena untuk (fokus) beribadah kepada Allah SWT.
Anjuran Membujang
Dalam buku Fikih Islam Wa Adillatuhu karangan Wahbah Zuhaily, dijelaskan bahwa menurut Imam Syaf’ii, jika ada seorang ahli ibadah dan menyibukkan diri dengan ilmu, maka yang demikian adalah lebih utama daripada menikah, karena sesungguhnya Allah memuji perbuatan Yahya as. Dalam firman-Nya Surah Ali ‘Imran ayat 39 :
فَنَادَتْهُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَهُوَ قَآئِمٌ يُصَلِّى فِى ٱلْمِحْرَابِ أَنَّ ٱللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَىٰ مُصَدِّقًۢا بِكَلِمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
”Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, panutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”.(Q.S Ali ‘Imran: 39).
Kata al-Hashur berarti seseorang yang tidak mendatangi wanita (menjima’) padahal ia mampu untuk mendatanginya. Jika menikah adalah lebih utama, maka mengapa Allah memuji perbuatan Yahya as. yaitu menjaga diri dari hawa nafsu yang dinilai sebagai pengikut orang-orang shaleh. Selain itu, Imam Nawawi menambahkan bahwa bagi orang yang tidak berhasrat untuk menikah padahal ia mampu, maka baginya dibolehkan untuk tidak menikah. Oleh karena itu, banyak dari ulama terdahulu yang lebih memilih memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah dan mengabdikan diri di bidang pendidikan ketimbang menikah yang dinilai sebagai amalan dunia seperti jual beli dan sejenisnya.
Menurut ulama Syafi’iyyah, bagi orang yang sakit[1]-sakitan, lansia, dan impoten, maka lebih baik baginya untuk tidak menikah, karena dapat memberikan kemudharatan kepada orang lain (istrinya). Menikah juga dianjurkan untuk ditinggalkan bagi seseorang yang yakin akan berlaku dzalim dan memberikan kemudharatan kepada perempuan serta lemah atas biaya pernikahan. Pernikahan menjadi haram hukumnya, bagi seseorang yang yakin akan jatuh kedalam perzinahan jika tidak menikah, namun juga dia yakin akan mendzalimi isterinya. Karena menurut ulama Syafi’iyyah, pernikahan dinilai sebagai amalan dunia, karena ditetapkan untuk menyalurkan syahwat manusia, sedangkan amalan kepada Allah Ta’ala lebih utama daripada amalan untuk diri sendiri.
Itulah sebab-sebab mengapa membujang dapat dijadikan alternatif hidup bahkan dianjurkan, karena himbauan Nabi atas pernikahan tidaklah ditetapkan kewajibannya atas semua manusia, akan tetapi dilihat dari sebab-sebab kewajiban dan kemampuannya, bukan dari kondisi orang lain.
Larangan Membujang Karena Faktor Ekonomi
Menikah merupakan salah satu perintah yang pernah diberikan oleh Rasulullah Saw. kepada umatnya, termasuk kepada para pemuda yang umumnya hidup belum begitu mapan. Apabila pemuda itu telah cukup kemampuan memberikan kecukupan untuk berkeluarga, maka dia telah mengemban perintah tersebut.
Selain untuk menyalurkan dorongan naluri, yaitu kebutuhan seksual, menikah juga memiliki tujuan yang tidak kalah pentingnya. Tujuan itu adalah terjaminnya kelestarian manusia. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. melarang umatnya hidup dengan membujang. Dari Sa’d bin Abi Waqqash, dia berkata:
“Rasulullah Saw. pernah melarang, Utsman bin Mazh’un untuk hidup membujang. Seandainya Rasulullah mengizinkan dia membujang, tentu kami telah berkebiri.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun hadist Nabi yang menjelaskan tentang larangan hidup membujang sebagai berikut:
“Dari Qatadah, dari Hasan, dari Samurah, bahwa Nabi Saw. melarang (hidup) membujang. Lalu Qatadah membaca ayat, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu, dan Kami berikan kepada mereka istri dan anak cucu.”(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Seluruh riwayat di atas menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. benar-benar melarang umatnya untuk hidup membujang. Larangan ini tetap berlaku bagi orang yang ingin hidup membujang dengan tujuan untuk lebih memperbanyak waktu beribadah kepada Allah, seperti shalat tahajud tiap hari sepanjang malam, atau puasa sunnah sepanjang tahun.
Hanya Islamlah satu-satunya agama yang menggalakkan dan memberi motivasi kepada setiap orang untuk berumah tangga. Sebaliknya, agama-agama lain justru memuji pembujangan. Misalnya, dalam agama Budha dianggap bahwa seorang yang suci adalah orang yang tidak mau beristeri. Demikian juga dalam agama Nasrani. Tetapi dalam agama Islam justru yang tercela adalah orang yang tidak mau berumah tangga. Jadi, kalau seseorang sudah waktunya berumah tangga, tetapi masih menunda dengan alasan ini dan itu, maka apabila ia meninggal keadaannya adalah sejelek-jeleknya orang mukmin yang meninggal.
Itulah sebabnya Imam Malik berpesan: “Sekiranya saya akan mati beberapa saat lagi, sedangkan isteri saya sudah meninggal dunia, maka saya akan segera kawin”. Karena apakah Imam Malik berpendapat demikian? Karena ia takut bertemu Allah dalam keadaan membujang. Jadi, bagi laki-laki yang menduda karena ditinggal wafat oleh isterinya tidak perlu menunda perkawinan lagi. Demikianlah rasa takut para ulama salaf (ulama-ulama terdahulu) kepada Allah kalau mereka meninggal dunia dalam keadaan membujang.
Sebaliknya, orang-orang Jahiliyah berbangga jika mereka membujang sampai tua. Mereka beranggapan, akan menjadi rebutan wanita kalau bertahan sebagai orang bujang. Sikap seperti ini sebenarnya adalah sikap kekufuran, karena telah mengingkari perintah Allah untuk meramaikan dan memakmurkan bumi ini serta mengurusnya dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, bagaimana kita akan memakmurkannya bila penghuninya tidak mau berketurunan? Dan akibatnya manusia akan punah dalam satu generasi.
Dari pernyataan diatas kita bisa mengambil dua kesimpulan:
Kesimpulan pertama menurut ulama Syafi’iyyah, bila ada seseorang yang memiliki riwayat penyakit seperti impoten, sudah lansia, memiliki niat untuk mendzalimi pasangannya, dan lemah dalam urusan keuangan, maka lebih baik baginya untuk tidak menikah dikarenakan dapat memberikan mudharat kepada pasangannya.
Kesimpulan kedua, apabila seorang pemuda hidupnya sudah mapan, ekonominya sudah cukup untuk berkeluarga, maka dia telah mengemban perintah untuk menikah. Tujuan menikah itu selain melestarikan keturunan, tetapi juga akan menyempurnakan separuh agama seorang muslim. @
Penulis:
Mahasiswa Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau