ACADEMICS.web.id – Debat kedua Pilpres 2024 yang mempertemukan para Cawapres, justru menghadirkan banyak kejutan daripada debat pertama. Kejutan yang paling mencolok adalah ‘sensasi’ yang dipertontonkan Gibran agar kelihatan seolah-olah menguasai panggung debat meski secara substansi ‘no point’. Sebaliknya, performa Mahfud MD sebagai Guru Besar tetap santai dengan kualitasnya yang tak diragukan lagi; dan tak seperti biasanya, Cak Imin tampil kurang jenaka padahal secara substansi penuh terobosan dan pencerahan.
Secara keseluruhan, debat memang berlangsung ‘panas’ dan ‘serru’ karena di luar dugaan, Gibran yang sebelumnya diremehkan banyak orang karena penuh ‘kontroversi’, justru sangat intimidatif, emosional, dan bahkan ‘culas’ terhadap kedua calon lain. Posisi dirinya sebagai anak Presiden dan tahu bahwa kedua lawan debatnya adalah anak buah dan pendukung Bapaknya, membuat arogansinya semakin menjadi-jadi. Untungnya, Mahfud meresponnya dengan gaya santai khas seorang profesor, dan kejujuran Cak Imin dalam menimpali yang tak mau membuat Gibran semakin emosional.
Pada kesempatan pembuka, Mahfud fokus pada korupsi. Kesemrawutan masalah ekonomi dan segala hal yang menyertainya direduksi ke dalam masalah korupsi. Ia seolah-olah menjadi penyebab pertama dan utama yang membuat ekonomi negeri ini tidak bertumbuh, dan karena itu, Mahfud berjanji akan memberantasnya. Core dari Mahfud adalah pemberantasan korupsi.
Sedangkan Gibran tidak ada poin yang menjadi fokus utama karena menyampaikan hal yang sangat umum pada sesi awal. “Hilirisasi digital” yang tak ditemukan dalam disiplin ilmu mutakhir mana pun sempat disinggungnya. Ia hanya menyampaikan keberlanjutan program Bapaknya. Core dari Gibran adalah mengikuti Bapaknya.
Cak Imin fokus pada soal ketimpangan. Ia mendiagnosis ketimpangan di negeri ini dengan dengan data yang memperlihatkan bahwa sebagian kecil orang menguasai sebagian besar sumber ekonomi nasional. Resepnya, ‘slepet’ sebagai penggerak awal perubahan dengan menaikkan pajak para kelas kaya, mengurangi pajak kelas menengah, dan membebaskan pajak kelas miskin. Bantuan usaha untuk para pemuda dan peningkatan anggaran dana desa menjadi pelengkapnya. Keadilan dan pemerataan adalah core dari Cak Imin.
Arogansi Gibran mulai tampak pada sesi tanya jawab. Ketika ditanya soal trik dan tips bagaimana Solo bisa mendapatkan proyek nasional sehingga dapat ditiru para Wali Kota/Bupati daerah lain, ia justru tampak emosional. Ia menjawab ngelantur ke mana-mana tidak jelas poinnya dan justru menuduh Cak Imin tendensius.
Karena emosional, Gibran justru menyajikan banyak data yang tidak akurat pada momen ini. Pertama, ia mengatakan bahwa proyek nasional yang masuk ke Solo lebih besar era sebelumnya (FX Rudy) daripada eranya. Rudy telah membantah pernyataan tersebut dan menganggapnya itu kebohongan besar. Kedua, Gibran mengklaim bahwa wisatawan yang berkunjung ke Solo sebagai dampak dari keberhasilannya memimpin lebih banyak daripada yang berkunjung ke Yogya. Yang terakhir ini juga salah kaprah karena menurut data yang ada versi Badan Pusat Statistik (BPS), wisatawan yang berkunjung ke Yogya tetap jauh lebih banyak (mungkin 3-4 kali liat) daripada yang berkunjung ke Solo.
Pada sesi ini, secara kasatmata Gibran memperlihatkan dirinya sebagai anak Presiden yang mendapatkan perlakuan “istimewa” dari proyek-proyek besar Bapaknya (kementerian/lembaga), di mana terdapat sekitar 30an proyek strategis yang mengalir ke Solo. Sementara wilayah lain seperti Cirebon yang merupakan salah satu wilayah strategis di Pantura Jabar, misalnya, sangat minimalis. Dari fakta ini, menjadi kelihatan sangat “ketimpangan” perlakuan antara Wali Kota yang anak Presiden dengan yang bukan.
Karena itu, Cak Imin yang mempertanyakan masalah ini, menginginkan keadilan dan pemerataan dalam mendistribusikan APBN pada semua wilayan tanpa terkecuali. Ia berjanji, semua wilayah akan diberlakukan secara adil dan memenuhi unsur pemerataan secara proporsional tanpa nepotisme, tidak seperti yang terjadi di Solo saat ini sebagai akibat hubungan kekerabatan (Bapak dan Anak).
Ketika ditanya Mahfud MD tentang tax ratio, gestur Gibran semakin tampak emosional. Ia mengambil mix bolak balik, dan kemudian menuduh Mahfud MD tidak paham. Respon santai Mahfud yang mempertanyakan kejelasan data soal 23% tax ratio yang dicanangkan Paslon nomor 2, justru memancing Gibran semakin bersikap arogan tanpa poin sama sekali dan justru memperlihatkan kebingungannya.
Yang paling mengggelikan dari semua sesi debat ini tiba-tiba muncul ketika Gibran diberi kesempatan untuk bertanya baik kepada Mahfud maupun Cak Imin. Gibran ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah Cawapres cerdas dengan wawasan yang luas. Pada momen ini ia menirukan Bapaknya tahun 2014 dengan menanyakan singkatan-singkatan. Kepada Mahfud ia menanyakan soal “CCS” dan kepada Cak Imin ia menanyakan soal “SGIE.”
Namun sayanganya, pertanyaan yang ia ajukan justru senjata makan tuan. Pertanyaan tersebut memperlihatkan bahwa dirinya seorang yang tidak mengerti apa-apa tentang hal yang ditanyakan. Tak lebih dan tak kurang. Selain ejaannya salah (S G I E, yang benar S Ji Ai Ie)—padahal sudah melihat contekan—Gibran juga tak memberikan penjelasan dengan poin yang memuaskan. Ia betul-betul “No Point” dalam sesi ini.
Dua jam lebih debat berlangsung, secara lugas tidaklah sulit untuk menempatkan kategori pada setiap Cawpres. Mahfud mereduksi persoalan ke dalam mekanisme hukum dan korupsi, Cak Imin fokus pada distribusi keadilan dan pemerataan, sedangkan Gibran No Point selain melanjutkan Bapaknya.
Di hadapan panggung debat 2, tersaji tiga karakter Cawapres di hadapan pemilih Indonesia: Mahfud santai, Gibran No Point, Cak Imin kurang jenaka tak seperti biasanya.
Karena dinamika politik dan kekuasaan yang berlangsung tak berpola, ketiga karakter tersebut memiliki caranya sendiri untuk meraih kekuasaan, entah menempuh jalan yang luhur atau jalan yang hina. Siapakah dari ketiga Cawapres tersebut yang layak mendampingi Capres dalam menyelesaikan banyak persoalan kita hari-hari kini?
Satu hal yang pasti, krisis negara kita hari-hari ini sudah sangat kompleks, merepresentasikan puisi R. Ng. Ranggawarsita yang ditulis satu abad lalu, “Kilau derajat negara lenyap dari pandangan” dan “dalam puing-puing ajaran kebajikan dan ketiadaan teladan”. Tragisnya, para cerdik pandai yang sedianya menjadi cahaya penuntun bagi pencarian pencerahan, justru “Terbawa arus zaman keraguan”, “segala hal makin gelap”, “dunia tenggelam dalam kesuraman”.
Dengan krisis yang mirip situasi aksial jaman jahiliah pra kenabian seperti terpatri dalam puisi R. Ng. Ranggawarsita di atas, kepemimpinan yang kita butuhkan adalah mereka yang mampu memadukan antara kecakapan persuasi (good campaigning) dan kecakapan tata kelola (good governing) dengan kemampuan memilih prioritas nasional secara tulus antara ‘janji kuasa dan kinerja kuasa’.
Siapa yang layak kita pilih dari ketiga Cawapres untuk mendampingi Capres dalam memandu kepemimpinan nasional yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan memelihara kaum lemah/tak mampu untuk masa mendatang? Renungkan dan refleksikan sebelum 14 Februari nanti! Wallahu a’lam bisshawab.@