ACADEMICS.web.id – Jika sekelompok orang diduga melakukan tindak pidana, maka penyidik berkewajiban membuktikan bahwa benar telah terjadi assentio mentium pada semua orang yang terlibat dalam tindak pidana itu.
Apa maksudnya?
Pertama: suatu tindak pidana hanya akan dinyatakan pidana bila memenuhi dua unsur, yaitu “mens rea” (niatan jahat) dan “reus actus” (tindakan melakukan atas apa yang telah diniatkan itu). Kaedah ini – sebenarnya – juga kita dapatkan dalam kaedah agama Islam. Rasulallah SAW menegaskan, dalam hadits yang sangat populer, “sesungguhnya semua perbuatan berpulang pada niat”. Dan niat berbuat jahat hanya akan dicatat sebagai dosa bila telah benar dilakukan.
Mengingat bahwa niat ada dalam hati dan tersembunyi, maka seorang hakim hanya dapat mengetahui niat seseorang dalam berbuat pidana dengan merujuk pada alat bukti atau keterangan saksi. Bila proses persidangan telah sampai pada “beyond reasonable doubt”, hakim dapat menyimpulkan bahwa terdakwa telah benar berniat melakukan suatu tindak kejahatan.
Kita mungkin ingat pada kasus pembelian tanah Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Sumber Waras oleh Pemerintah DKI Jakarta. Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2015 menemukan kerugian negara sebesar Rp 191 miliar dalam proses pembelian lahan tersebut, namun Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), tidak bisa ditetapkan sebagai tersangka karena tidak ditemukan “mens rea” atau niat jahat dalam pembelian tersebut.
Kedua: Karena itu, bila sekelompok orang merampok sebuah rumah, harus terpenuhi unsur “mens rea” dan “res actus” pada orang-orang itu. Peran setiap orang boleh jadi berbeda. Misalnya, si A berperan menguras harta pemilik rumah. Si B berperan mengawasi lingkuangan sekitar, dan Si C berperan menyiapkan kendaraan untuk kabur, maka ketiga orang itu mengalami assentio mentium sejak awal perbuatan pidana dilakukan. Andai di rumah itu ada tukang kebun yang memegang parang, dan karenanya membuat penghuni rumah semakin takut, kepada tukang kebun itu tak bisa disangkakan pidana. Sebab, keberadaannya tidak mengalami assentio mentium (meeting of minds) untuk melakukan suatu tindak pidana.
Ketika Allah SWT menurunkan ayat tentang qishah (QS al-Baqarah: 178), masyarakat Arab ketika itu adalah masyarakat yang dipenuhi balas dendam. Dalam kitab tafsirnya, Imam Ibnu Katsir mengatakan, bila ada anggota suku yang terbunuh, mereka akan menyerang suku yang membunuh, tanpa mempedulikan siapa pelaku sebenarnya dari suku musuh. Mereka bahkan mengatakan, jika ada budak kami yang terbunuh, hutang darah tak lunas sebelum kami bisa membunuh majikannya. Begitulah seterusnya hingga ayat qishah itu diturunkan oleh Allah SWT.
Secara hukum, sebagian ketentuan dalam ayat qishah mengalami naskh (abrogasi/amandemen). Itulah yang disebut dalam ilmu Ulumul Qur’an, mansukh hukman, wa la mansukh qiroatan. atau diabrogasi ketentuan hukumnya, namun tidak diabrogasi teks tertulisnya. Ayat yang menjadi penggantinya adalah firman Allah SWT dalam QS Al-Maidah ayat 45. Allah SWT berfirman:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَآ اَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْاَنْفَ بِالْاَنْفِ وَالْاُذُنَ بِالْاُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّۙ وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌۗ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهٖ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهٗۗ وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Kami telah menetapkan bagi mereka (Bani Israil) di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya (balasan yang sama). Siapa yang melepaskan (hak kisasnya), maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim. (QS Al-Maidah: 45)
Jurisprudensi Hukum Pidana Islampun terjadi. Saat Umar bin Khattab menjadi hakim, terjadi tindak pidana pembunuhan terhadap seorang anak laki-laki di Yaman. Setelah dilakukan serangkaian persidangan, terbukti bahwa anak kecil itu dibunuh oleh tujuh orang. Umar bin Khattab pun memutuskan, hukum mati kepada ketujuh orang pelaku pembunuhan tersebut. Sebagian sahabat Nabi berkomentar, “Ya Umar, bukankah al-Qur’an menyebutkan satu nyawa dibalas hukumannya dengan hanya dengan satu nyawa”, Umar bin Khattab pun menjawab dengan ucapannya yang terkenal,
لو تمالأ عليه أهل صنعاء لقتلتهم
Seandaianya seluruh penduduk Sanaa’ (Yaman) sepakat (atau mengalami asentio mentium) dalam (pembunuhan anak kecil) itu, niscaya aku (hukum) mati mereka semua.
Wallahua’lam bis showab.