Hukum Transplantasi (Pencangkokan) Anggota Badan dalam Islam | Hafiz Okta Reza

Mahasiswa Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau

banner 468x60

ACADEMICS.web.id – Transplantasi anggota badan, juga dikenal sebagai pencangkokan anggota badan, adalah prosedur medis yang melibatkan pengangkatan anggota badan yang cacat atau rusak dan menggantinya dengan anggota badan yang sehat dari donor yang cocok. Transplantasi anggota badan dapat membantu individu yang mengalami kehilangan anggota badan karena cedera, penyakit, atau kelainan bawaan.

Dalam pembahasan fiqih modern, transplantasi organ tubuh sering disebut dengan istilah “naql a’da’ al-Insan.” Transplantasi adalah istilah yang berasal dari bahasa Inggris “transplantation“, yang berarti “to take up and plant to another” (mengambil dan menempelkan pada tempat yang lain). Dengan demikian, “naql a’da’ al-Insan” mengacu pada tindakan pengambilan organ atau anggota tubuh dari seseorang atau donor dan menanamkannya pada penerima yang membutuhkan organ tersebut. Hal ini mencerminkan pemahaman modern dalam bidang fiqih terkait dengan isu-isu transplantasi organ tubuh.

banner 336x280

Dr. Muhammad Nu’aim Yasin menetapkan beberapa syarat pembolehan mendonorkan organ tubuh, yang meliputi:

  1. Keberadaan kemampuan para ahli kedokteran untuk secara ilmiah memprediksi potensi kerusakan yang mungkin terjadi pada pendonor akibat pemotongan organ tubuhnya.
  2. Keberadaan kemampuan para ahli kedokteran untuk dengan tepat memprediksi potensi kerusakan yang mungkin terjadi pada penerima donor, dengan mempertimbangkan kondisi kesehatannya dan menggunakan ukuran ilmiah yang akurat.
  3. Keberadaan kemampuan para ahli kedokteran untuk secara ilmiah memprediksi manfaat yang akan diperoleh oleh pendonor setelah organ tubuhnya dipindahkan ke penerima, dengan menggunakan ukuran ilmiah yang sesuai.
  4. Hasil perbandingan yang jelas antara manfaat dan kerusakan yang mungkin timbul dari tindakan mendonorkan organ tubuh dan situasi jika tindakan tersebut tidak dilakukan. Perbandingan ini harus menunjukkan bahwa manfaat bagi pendonor lebih besar daripada manfaat jika situasi dibiarkan apa adanya

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan beberapa fatwa terkait dengan transplantasi organ tubuh. Fatwa yang dikeluarkan meliputi:

  1. Fatwa MUI Nomor 11/2019 yang mengatur tentang hukum transplantasi organ dan atau jaringan tubuh untuk diri sendiri.
  2. Fatwa MUI Nomor 12 yang membahas hukum transplantasi organ dan atau jaringan tubuh dari donor yang telah meninggal.
  3. Fatwa MUI Nomor 13 yang membahas hukum transplantasi organ dan atau jaringan tubuh dari donor yang masih hidup.

Dalam fatwa-fawta tersebut, MUI memberikan panduan dan penjelasan mengenai hukum dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan transplantasi organ tubuh dalam berbagai situasi yang berbeda. Fatwa-fatwa ini memberikan arahan hukum dan panduan bagi umat Islam yang mempertimbangkan atau terlibat dalam proses transplantasi organ.

Hukum Transplantasi Organ Tubuh Pendonor dalam Keadaan Hidup

Menurut Yusuf Qardhawi dalam kutipan “fatwa Syekh As-Sa’di tentang transplantasi organ tubuh manusia,” dia menekankan bahwa ketika kita dihadapkan pada masalah dalam konteks apa pun, penting untuk memahami jenis dan sifat masalah tersebut secara mendalam terlebih dahulu. Jika kita memiliki pemahaman yang jelas tentang hakikat, jenis, alasan, dan hasil masalah tersebut, maka kita dapat merujuknya ke dalam kerangka hukum syariah.

Yusuf Qardhawi percaya bahwa syariah selalu memiliki solusi untuk berbagai masalah, baik masalah sosial, individu, global, maupun yang bersifat khusus. Hukum syariah memberikan pedoman yang dapat diterima oleh akal dan fitrah manusia. Oleh karena itu, ketika menghadapi masalah, kita harus mempertimbangkan faktor-faktor nyata, realitas, dan juga panduan yang diberikan oleh syariah.

Ibnu Nujaim dan Ibnu Abidin, yang merupakan tokoh dalam mazhab Hanafi, berpendapat bahwa dalam fiqih, organ tubuh manusia yang masih hidup tidak boleh digunakan untuk pengobatan lainnya. Ini disebabkan oleh prinsip dalam fiqih yang menyatakan bahwa “kemudaratan tidak dapat dihilangkan dengan kemudaratan lain.”

Pendapat serupa juga ditemukan dalam pemikiran Ibnu Qudamah, yang merupakan tokoh dalam mazhab Hanbali, serta dalam pandangan Imam an-Nawawi, yang terkait dengan mazhab Shafi’i. Mereka juga mendukung prinsip bahwa dalam hukum Islam, penggunaan organ tubuh yang masih hidup untuk pengobatan lainnya tidak dibenarkan karena prinsip “kemudaratan tidak bisa dihilangkan dengan kemudaratan lainnya.

Dalam Qaidah Fiqhiyah mengatakan “Menghindari kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemashlahatan” berlaku dalam konteks transplantasi organ. Ini berarti bahwa seseorang harus memberikan prioritas pada melindungi dirinya dari bahaya atau kerusakan daripada membantu orang lain dengan cara yang mungkin membahayakan dirinya sendiri. Terutama, ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menjalankan tugas dan kewajibannya, termasuk dalam melakukan ibadah.

Menurut ijtihad mazhab Syafi’i dan mazhab Zaidi, Syekh Jad al-Haqq berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada situasi darurat (ḍarūrat), di mana ia diperbolehkan menggunakan bagian tubuhnya untuk memenuhi kebutuhan makanannya, ia juga dapat menyumbangkan organ tubuhnya untuk menyelamatkan nyawa orang lain, dengan syarat bahwa tindakan penyumbangan organ tidak membahayakan dirinya sendiri. Jika tindakan tersebut berpotensi membahayakan dirinya, maka tindakan penyumbangan organ tersebut akan bertentangan dengan ajaran Allah yang dijelaskan dalam surah (QS. 2: 195).

Dalam pandangan Syekh Jad al-Haqq, manusia diizinkan untuk melibatkan diri dalam tindakan yang mungkin membahayakan dirinya sendiri, termasuk menyumbangkan sebagian organ tubuhnya, asalkan ini dianggap sebagai langkah yang diperlukan dalam situasi darurat. Oleh karena itu, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dengan bimbingan dari tenaga medis yang berkualifikasi, transplantasi organ tubuh manusia yang masih hidup diizinkan jika pendonor bersedia untuk menyumbangkan organ tersebut untuk menyelamatkan nyawa orang yang membutuhkannya.

Lalu bagaimana kalua pendonor dalam keadaan koma?

Hukum Transplantasi Organ Tubuh Pendonor dalam Keadaan Koma

Melakukan transplantasi organ tubuh dari seorang donor yang masih hidup, bahkan jika donor dalam keadaan koma, dianggap haram dalam hukum Islam. Ini disebabkan oleh keyakinan bahwa tindakan tersebut dapat mempercepat kematian donor, yang dilihat sebagai mencampuri kehendak Allah. Dalam hal ini, tindakan tersebut dianggap mirip dengan euthanasia, yaitu upaya untuk mempercepat kematian seseorang.

Dalam perspektif etika, melakukan transplantasi dengan mengambil organ tubuh dari individu yang sedang sekarat dianggap tidak etis. Sebaliknya, dalam Islam, individu yang sehat diharapkan untuk berupaya menyembuhkan orang yang sedang koma, meskipun menurut pendapat dokter ada sedikit harapan kesembuhan. Alasan di balik ini adalah bahwa, dalam beberapa kasus, ada kemungkinan kesembuhan bahkan jika itu hanya sebagian kecil.

Oleh karena itu, menurut pandangan hukum Islam, tindakan mengambil organ tubuh dari donor yang sedang koma tidak diperbolehkan, karena dianggap melanggar prinsip-prinsip etika dan hukum Islam yang menghormati kehidupan dan tidak mengintervensi dalam takdir Allah.

Hukum Transplantasi Organ Tubuh Pendonor dalam Keadaan Telah Meninggal Dunia

Dalam pandangan hukum Islam, mengambil organ tubuh donor (seperti kornea mata, jantung, dan ginjal) dari individu yang sudah meninggal secara yuridis dan medis dianggap mubah, yaitu dibolehkan. Akan tetapi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:

  1. Penerima (resipien) organ tubuh harus berada dalam keadaan darurat (ḍarūrat), yang berarti bahwa jika organ tubuh tersebut tidak disumbangkan, nyawanya berada dalam bahaya, meskipun ia sudah mencoba berbagai upaya pengobatan yang optimal namun tidak berhasil.
  2. Pencangkokan organ harus sesuai dengan organ penerima dan tidak menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih serius bagi penerima dibandingkan dengan keadaan sebelum transplantasi.

Hal ini berdasarkan dua prinsip hukum Islam, yaitu “ḍarūrat akan membolehkan yang diharamkan” dan “bahaya harus dihilangkan.” Dengan kata lain, dalam situasi darurat di mana nyawa penerima organ berada dalam bahaya, tindakan mengambil organ dari donor yang sudah meninggal dianggap diperbolehkan dalam hukum Islam.

Dalam bukunya yang berjudul “Qadaya Mu’asirah: al-Fiqh al-Islami Murunatuh wa Tatawwuruh” (Isu Kontemporer: Fiqh Islam, Fleksibilitas, dan Perkembangannya), Syekh Jad al-Haqq memberikan pandangan yang lebih rinci mengenai isu-isu kontemporer dalam fiqih Islam. Ketika berkaitan dengan transplantasi organ tubuh yang berasal dari orang yang telah meninggal dunia, Syekh Jad al-Haqq menekankan perbedaan antara mayat yang memiliki ahli waris yang diketahui dan mayat yang tidak memiliki ahli waris yang diketahui.

Jika ahli waris mayat diketahui, maka pihak yang berwenang harus meminta izin terlebih dahulu kepada ahli waris tersebut sebelum melakukan transplantasi organ tubuh dari mayat tersebut. Jika izin diberikan, maka tindakan transplantasi tersebut dianggap diperbolehkan. Namun, jika izin tidak diberikan oleh ahli waris, maka pihak berwenang tidak diperbolehkan untuk melakukan transplantasi organ tubuh dari mayat tersebut.

Dengan demikian, Syekh Jad al-Haqq menggarisbawahi pentingnya izin ahli waris dalam proses transplantasi organ tubuh dari mayat, yang memainkan peran kunci dalam menentukan hukumnya, apakah diperbolehkan atau tidak, berdasarkan persetujuan atau penolakan mereka.

Yusuf al-Qardawi, dalam bukunya “Fatwa-fatwa Kontemporer, jilid 2,” mengungkapkan pandangan yang serupa dengan Abuddin Nata dan Syekh Jad al-Haqq. Menurut al-Qardawi, jika seorang Muslim diizinkan untuk mendonorkan organ tubuhnya selama hidupnya, bahkan jika risikonya sangat kecil, ia diperbolehkan untuk membuat wasiat untuk menyumbangkan organ tubuhnya setelah kematiannya. Alasannya adalah bahwa tindakan ini akan memberikan manfaat yang signifikan kepada orang lain tanpa menimbulkan kerugian atau kesengsaraan apa pun bagi dirinya. Organ tubuh yang berasal dari seseorang yang telah meninggal akan terurai dan kembali ke alam tanah dalam beberapa hari setelah pemakaman.

Jika seseorang membuat wasiat untuk menyumbangkan organ tubuhnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya, maka tindakan tersebut dianggap diperbolehkan dalam Islam, dan individu tersebut akan mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan amalnya. Dalam hal ini, al-Qardawi menekankan pentingnya niat yang baik dan berniat mencari keridhaan Allah dalam tindakan tersebut.

Jadi, mayoritas ulama fiqih yang terdiri dari berbagai mazhab, seperti Hanafi, Maliki, sebagian Syafi’i, Hanbali, dan Zaidi, bersatu pendapat bahwa memanfaatkan organ tubuh manusia sebagai pengobatan diperbolehkan dalam situasi darurat. Namun, dalam konteks ini, izin dari ahli waris adalah pertimbangan yang diperlukan, dan ada kebolehan jika ada wasiat tertulis dari individu yang telah meninggal. Menurut mayoritas ulama, transplantasi organ diperbolehkan, dengan dasar konkret bahwa semua hak pada tubuh individu yang sudah meninggal menjadi hak pemiliknya untuk mewariskan organ tubuh sebelum kematian.

Majelis Fatwa Internasional juga telah menyatakan bahwa dalam situasi darurat, transplantasi organ vital manusia diizinkan, tetapi organ tersebut tidak boleh diperjualbelikan. Ini menekankan pentingnya etika dan niat baik dalam tindakan tersebut, dan bahwa transplantasi harus dilakukan untuk kebaikan dan penyelamatan nyawa. Dengan demikian, pemahaman dan fatwa ini mencerminkan pendekatan yang lebih fleksibel dalam isu-isu transplantasi organ tubuh dalam konteks fiqih Islam.@

Penulis:

Hafiz okta reza:
Mahasiswa Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau
banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *