ACADEMICS.web.id – Ulama memiliki berbagai pandangan mengenai hukum Bank ASI dan Bank Sperma, dan setidaknya ada beberapa pendapat yang berbeda. Mari kita bahas bersama.
Hukum Bank Air Susu Ibu (ASI)
Bank ASI (Human Milk Bank) adalah tempat di mana ASI (Air Susu Ibu) disimpan dan didistribusikan kepada bayi yang membutuhkan, terutama bayi prematur atau yang tidak bisa disusui oleh ibu mereka karena alasan tertentu. Bank ASI umumnya menerima donasi ASI dari ibu-ibu yang memiliki surplus ASI dan ingin membantu bayi-bayi yang memerlukannya. Bank ASI bertujuan untuk memastikan bahwa setiap bayi menerima manfaat dari ASI, meskipun ibu mereka mungkin tidak dapat menyusui mereka karena alasan medis atau lainnya.
Isu-isu yang terkait dengan bank ASI dapat mengacu pada ketentuan hukum Radha’ah. Radha’ah, radha’ irdha’, dalam bahasa Arab merujuk pada saat ASI (Air Susu Ibu) yang berasal dari seorang perempuan selain ibu kandung masuk ke dalam perut seorang anak yang belum mencapai usia dua tahun atau 24 bulan. Secara etimologis, radha’ah mengacu pada tindakan menyusui. Praktik menyusui ini memiliki implikasi hukum yang mengakibatkan hubungan mahram antara anak yang disusui, perempuan yang menyusui, dan anak-anaknya. Ini berarti bahwa saudara sesusuan tidak diperbolehkan untuk menikah, dan hubungan ini juga menciptakan ikatan seperti hubungan ibu dan anak dengan perempuan yang memberi ASI.
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ar -radha’. Menurut Hanafiyah bahwa arradha’ adalah seorang bayi yang menghisap ASI seorang perempuan pada waktu tertentu. Menurut Malikiyah mengatakan bahwa ar radha’ adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang berfungsi sebagai gizi. As Syafi’iyah mengatakan ar-radha’ adalah sampainya susu seorang perempuan ke dalam perut seorang bayi. Al Hanabilah mengatakan ar-radha’ adalah seorang bayi di bawah dua tahun yang menghisap ASI pada perempuan yang muncul akibat kehamilan, atau meminum ASI tersebut atau sejenisnya
Dampak negatif yang mungkin timbul akibat pendirian bank ASI dapat diuraikan sebagai berikut:
- Potensi pencampuran nasab jika distribusi ASI tidak diatur dengan ketat.
- Kebutuhan biaya yang sangat besar untuk mendirikan bank ASI, yang bisa menjadi beban yang berat bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
- Risiko terkontaminasinya ASI yang disimpan dalam bank oleh virus dan bakteri berbahaya, yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas ASI dibandingkan dengan ASI yang langsung diberikan kepada bayi oleh ibunya.
- Kemungkinan ibu-ibu dari keluarga miskin bersaing untuk menjual ASI mereka ke bank ASI dengan harga tinggi, yang mungkin mengarah pada penggunaan susu formula oleh anak-anak mereka.
- Potensi untuk mengurangi motivasi ibu yang bekerja dan memiliki sumber daya finansial untuk menyusui bayi mereka, sehingga mereka mungkin lebih memilih untuk tidak menyusui.
Ulama memiliki berbagai pandangan mengenai hukum pendirian Bank ASI, dan setidaknya ada tiga pendapat yang berbeda:
- Pendapat Pertama: Mendirikan Bank ASI diperbolehkan. Alasannya adalah bahwa bayi yang mengonsumsi ASI dari Bank ASI tidak akan menjadi mahram bagi perempuan yang menyumbangkan ASI, karena hubungan mahram melalui penyusuan hanya terjadi ketika bayi menyusu langsung dari perempuan yang memiliki ASI, seperti saat seorang bayi menyusu pada ibunya. Dalam Bank ASI, bayi hanya mengambil ASI yang telah dikemas. Ulama besar seperti Prof. Dr. Yusuf Al-Qardhawi mendukung gagasan “Bank ASI” asalkan bertujuan untuk mencapai tujuan syariah yang kuat dan memenuhi kebutuhan yang wajib. Prof. Dr. Yusuf Al-Qardhawi juga menyatakan bahwa wanita yang menyumbangkan ASI untuk anak-anak yang membutuhkan akan mendapatkan pahala dan bahwa penjualan ASI juga diperbolehkan.
- Pendapat Kedua: Mendirikan Bank ASI haram. Alasannya adalah bahwa Bank ASI dapat menyebabkan pencampuran nasab, karena penyusuan yang mengharamkan bisa terjadi dengan masuknya ASI ke dalam perut bayi, bahkan tanpa harus melalui penyusuan langsung, seperti yang terjadi saat ibu menyusui anaknya. Sejumlah ulama kontemporer, seperti Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhayli, menentang keberadaan Bank ASI dan menganggapnya tidak sesuai dengan hukum syariah. Majma’ al-Fiqih al-Islamiy juga telah mengeluarkan keputusan yang melarang pendirian Bank ASI.
- Pendapat Ketiga: Mendirikan Bank ASI diperbolehkan jika memenuhi syarat-syarat yang ketat. Salah satu syaratnya adalah setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI harus disimpan secara terpisah dengan mencantumkan nama pemiliknya, dan setiap bayi yang mengambil ASI harus dicatat dan pemilik ASI harus diberitahu, sehingga nasabnya tetap jelas. Dengan syarat-syarat ketat ini, pencampuran nasab yang menjadi perhatian ulama yang melarang dapat dihindari.
Hukum Bank Sperma
Bank sperma adalah tempat di mana sperma dari donor disimpan setelah dibekukan dan dicairkan dengan larutan nitrogen cair untuk mempertahankan fertilitas sperma. Dalam konteks medis, proses ini dikenal sebagai Cryiobanking, yaitu teknik penyimpanan sel yang telah dibekukan untuk digunakan di masa yang akan datang. Teknik Cryobanking ini digunakan dalam konteks sperma manusia dan memungkinkan adanya donor sperma, terutama untuk membantu pasangan yang mengalami masalah infertilitas. Semen yang akan didonasikan harus melalui serangkaian pemeriksaan untuk memastikan kualitas sperma dan memeriksa donor terkait kelainan genetik. Melalui Cryobanking, sperma dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama, bahkan lebih dari 6 bulan. Kualitas sperma yang disimpan dalam bank sperma tetap baik, sehingga dapat digunakan dalam proses ovulasi.
Bank sperma adalah tempat penyimpanan sperma yang berasal dari pendonor. Salah satu tahap penting dalam proses ini adalah cara pengambilan sperma dari pendonor, yang umumnya dilakukan melalui masturbasi (onani). Dalam konteks hukum Islam, terdapat perdebatan tentang hukum onani dan bagaimana itu terkait dengan proses pengumpulan sperma di bank sperma dan inseminasi buatan.
Tahap pertama cara pengambilan atau mengeluarkan sperma dari si pendonor, yaitu dengan cara masturbasi (onani). Dalam Islam, pandangan terhadap onani bervariasi. Ada ulama yang menganggapnya haram secara mutlak, sementara yang lain mengharamkannya dalam beberapa situasi tertentu. Ada juga pandangan yang menganggapnya wajib dalam situasisituasi tertentu, dan beberapa ulama menganggapnya makruh (dihindari tetapi bukan dosa).
Beberapa pandangan hukum terkait dengan onani adalah sebagai berikut:
- Sebagian fuqaha, seperti Malikiyah, Syafi’iyah, dan Zaidiyah, mengharamkan onani secara mutlak. Alasannya adalah bahwa Allah memerintahkan menjaga kemaluan kecuali dalam hubungan suami-istri atau dengan budak yang dimiliki.
- Pandangan Hanabilah adalah bahwa onani haram, tetapi jika dilakukan untuk mencegah perbuatan zina, maka menjadi wajib. Namun, jika tidak ada alasan yang kuat seperti itu, maka onani tetap haram.
- Ibnu Hazim menganggap onani makruh, yang berarti bahwa itu tidak dianggap dosa tetapi tetap dihindari karena dianggap tidak etis. Ibnu Umar dan Atha’ adalah beberapa di antara ulama yang menganggap onani sebagai makruh (dihindari tetapi bukan dosa).
- Ada pandangan yang menyatakan bahwa onani adalah mubah (boleh) dan tidak dilarang. Pendapat ini dianut oleh Ibnu Abbas, hasan dan sebagian Tabi`in.
Sebagai tambahan, dalam konteks bank sperma, beberapa orang mungkin melihat onani sebagai tindakan yang diharuskan untuk mengumpulkan sperma sebagai bagian dari proses donasi sperma. Oleh karena itu, pendapat dan pandangan yang beragam ini mencerminkan keragaman dalam pemahaman hukum Islam terkait dengan onani dalam berbagai situasi.
Tahap kedua dalam proses bank sperma adalah menjual sperma kepada pembeli, di mana harga sperma tergantung pada kualitasnya. Setelah pembeli mendapatkan sperma, mereka akan menjalani proses inseminasi buatan untuk memiliki anak. Dalam hukum Islam, pendapat para ulama tentang inseminasi buatan tergantung pada sumber sperma dan ovum yang digunakan.
Jika sperma berasal dari suami dan ovum dari istri, dan keduanya secara medis memerlukan inseminasi buatan karena tidak dapat memperoleh anak melalui pembuahan alami, maka hukumnya diperbolehkan dalam kondisi kebutuhan yang sangat penting, seperti dalam situasi darurat. Dalam keadaan ini, tindakan tersebut dianggap boleh dilakukan karena keadaan darurat memungkinkan melakukan hal-hal yang sebelumnya dihindari.
Beberapa fuqaha yang memperbolehkan inseminasi buatan dengan kondisi ini adalah Syaikh Mahmud Saltut, Syaikh Yusuf al-Qardhawy, Ahmad al-Ribashy, dan Zakaria Ahmad alBarry. Organisasi seperti Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’a Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Majelis Ulama DKI Jakarta, dan lembaga Islam OKI yang berpusat di Jeddah juga menghalalkan praktik ini.
Namun, jika sperma berasal dari sumber lain selain suami dan ditanam pada rahim istri, maka beberapa ulama dan lembaga seperti Lembaga Fiqih Islam OKI, Majelis Ulama DKI Jakarta, Mahmud Syaltut, Yusuf al-Qardhawy, al-Ribashy, dan Zakaria Ahmad al-Barry mengharamkannya karena khawatir terjadi pencampuran nasab dan konsekuensi negatif lainnya.
Dengan demikian, hukum pendirian bank sperma dapat dianggap mubah (boleh) jika tujuannya adalah memfasilitasi penyimpanan sperma suami untuk penggunaan keluarga sendiri dalam situasi medis yang memerlukan inseminasi buatan yang sah. Namun, jika tujuannya adalah mendonorkan sperma kepada wanita yang bukan istrinya, pendirian bank sperma tersebut dianggap haram karena mendukung tindakan yang dilarang, sehingga hukumnya menjadi haram.
Jadi, hukum pendirian bank sperma tergantung pada dua faktor utama, yaitu cara pengambilan sperma dari donor dan proses inseminasi. Terkait pengambilan sperma, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai masturbasi. Sedangkan terkait masalah inseminasi, jika inseminasi tersebut dilakukan dengan cara yang sah, seperti penggunaan sperma suami untuk istri, maka hukumnya diperbolehkan. Namun, jika inseminasi dilakukan dengan cara yang dilarang, maka hukumnya menjadi haram.
Berdasarkan fatwa dari Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI), donor sperma diharamkan karena statusnya dianggap setara dengan hubungan seksual antara lawan jenis yang tidak sah menurut hukum Islam (zina). Fatwa ini didasarkan pada konsep Sadd azZari’ah, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya perbuatan zina. Keputusan MUI ini sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW, yang mengajarkan untuk menjauhi perbuatan zina.@
Penulis:
Mahasiswa Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau