ACADEMICS.web.id – Perayaan pernikahan yang dihiasi dengan berbagai jenis hiburan telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Ini diperbolehkan dalam Islam selama tidak melibatkan perbuatan dosa, bahkan disarankan dalam suasana kebahagiaan untuk menghasilkan kegembiraan. Sebagaimana biasanya dalam penyelenggara pesta pernikahan kerap menyuguhkan hiburan organ tunggal untuk menghibur para tamu dan undangan.
Organ tunggal adalah nama pertunjukan yang menggunakan salah satu alat musik modern yakni sebuah keyboard. Untuk melengkapi bunyi yang keras digunakan perangkat sound system yang suaranya mampu terdengar sampai jarak jauh.
Imam Ghazali, melalui kitabnya Ihya’ Ulumuddin, menjelaskan bahwa musik dan nyanyian tidak dianggap haram karena dapat dianggap sebagai bentuk hiburan, permainan, atau kesenangan yang diperbolehkan dalam Islam dengan beberapa syarat:
- Lirik lagu harus sesuai dengan nilai dan ajaran Islam.
- Penampilan, termasuk busana penyanyi dan pemain musik, harus mematuhi prinsip-prinsip Islam.
- Tidak boleh melibatkan unsur haram seperti minuman beralkohol (khamr) atau pergaulan bebas.
- Tidak boleh berlebihan dalam menikmatinya sehingga melalaikan dari mengingat Allah.
- Tidak boleh menimbulkan rangsangan bagi orang yang melihat atau mendengarkan.
Namun, dalam praktiknya, seringkali orang terlalu bersemangat dalam mengadakan perayaan pernikahan hingga melewati batas yang ditetapkan oleh syariah Islam. Hal ini mengakibatkan munculnya masalah, di mana hiburan semacam ini dapat dianggap haram karena melanggar prinsip-prinsip syariat Islam. Meskipun demikian, masih ada masyarakat yang tidak memperhatikan masalah ini dan tetap melanjutkan praktek-praktek yang bertentangan dengan ajaran agama.
Penggunaan nyanyian dengan pengiring rebana dalam perayaan pernikahan telah disebutkan dalam syariat, seperti yang diceritakan oleh Muhammad bin Hatbih Al-Jumahi, yang merujuk pada sabda Rasulullah SAW, yaitu,
Artinya: Pemisah antara yang haram (zina) dan yang halal (nikah) adalah rebana dan suara nyanyian (HR. An-Nasa‟i, Ibnu Majah, At-Tirmidzi).
Dari Rubayyi binti Mu’awwidz, ia menceritakan “Bahwa Rasulullah datang kepesta perkawinan yang diselenggarakan untukku. Kemudian beliau duduk diatas tempat tidurku seperti dudukmu di hadapanku. Lalu para budak perempuan kami mulai menabuh rebana dan meratapi orang-orang yang terbunuh pada perang badar. Ketika salah satu diantara mereka sudah bernyanyi, sedang ada Rasulullah berada di sisi kami, yang mana beliau diberitahu oleh Allah apa yang akan terjadi esok, maka beliau bersabda: Tinggalkanlah nyanyian ini dengan menggantikan nyanyian sebelumnya.” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud dan At- Tirmidzi).
Mayoritas Madzahibul Arba’ah mengizinkan hiburan dan permainan seperti nyanyian, musik, tarian, pertunjukan wayang, dan sebagainya, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini mencakup:
- Lirik dari nyanyian harus sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran Islam.
- Gaya dan penampilan dalam hiburan tersebut tidak boleh merangsang nafsu seksual atau memicu fitnah.
- Nyanyian tidak boleh disertai dengan hal-hal haram seperti konsumsi alkohol, menampakkan aurat, atau campur tangan bebas antara pria dan wanita.
- Hiburan seperti nyanyian atau sejenisnya tidak boleh menimbulkan rangsangan atau menimbulkan fitnah.
Jika syarat-syarat ini tidak dipenuhi, maka hiburan tersebut dianggap haram. Jadi, jika seseorang mendengarkan nyanyian dengan niat untuk mendukung perbuatan maksiat kepada Allah, maka dengan jelas dia dianggap sebagai orang yang berdosa, dan ini berlaku juga untuk hal-hal selain nyanyian. Namun, jika niatnya adalah untuk menghibur hati agar dapat lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah dan berperilaku baik, maka dia dianggap sebagai individu yang taat kepada agama dan berbuat kebaikan, dan tindakannya dianggap sebagai tindakan yang benar.
Praktik hiburan orgen dalam pesta pernikahan memiliki dua aspek penilaian, yakni positif dan negatif. Aspek positifnya adalah bahwa hiburan tersebut dapat membawa kegembiraan kepada tamu-tamu yang turut berbagi dalam kebahagiaan pasangan yang menikah. Namun, di sisi lain, hal ini juga sering kali mengakibatkan perilaku yang tidak pantas dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Penting untuk dicatat bahwa para ulama memiliki pendapat yang beragam tentang kebolehan nyanyian dalam pesta pernikahan. Beberapa mengharamkannya, sementara yang lain membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu, termasuk:
- Lirik lagu harus bebas dari unsur yang merangsang syahwat atau menjauhkan dari agama Allah.
- Penampilan penyanyi harus tetap sopan, tidak memamerkan lekuk tubuh, dan tidak melakukan gerakan yang memicu nafsu birahi.
- Lebih baik jika hiburan nyanyian hanya ditujukan untuk pengantin dan keluarganya, bukan untuk penonton umum.
- Hindari konten yang bersifat pornografi, kata-kata kasar, atau hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Dampak sosial dari hiburan dalam pesta pernikahan mencakup:
- Dalam hal keamanan, perlu diantisipasi jumlah warga yang datang untuk menikmati hiburan. Kehadiran pemuda yang mabuk dan berjoget di sekitar lokasi bisa menyebabkan konflik dan kerusuhan.
- Perubahan nilai-nilai dan norma sosial dalam daerah tersebut bisa terjadi, yang dapat merusak moral anak-anak karena pertunjukan musik diadakan di tempat terbuka tanpa pengawasan.
Namun, terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan terkait dengan masalah nyanyian:
- Nyanyian harus mematuhi etika dan ajaran Islam. Jika lirik lagu mempromosikan konsumsi alkohol atau tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka nyanyian tersebut dan mendengarkannya dianggap haram. Hal yang serupa berlaku untuk jenis nyanyian lain yang memiliki konten yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama.
- Terkadang, subjek dari nyanyian itu sendiri tidak melanggar prinsip-prinsip Islam, tetapi cara penyanyi menyajikannya bisa melibatkan unsur yang haram. Misalnya, perilaku penyanyi yang tidak pantas atau tarian yang memicu nafsu birahi dapat mengubah karakter nyanyian menjadi hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
- Islam selalu menghimbau untuk tidak berlebihan atau bersikap sombong, bahkan dalam hiburan atau penggunaan waktu luang. Berlebihan dalam hal-hal yang diperbolehkan (mubah) dapat menyebabkan waktu yang berharga terbuang tanpa memenuhi kewajiban agama.
- Setiap individu harus mengambil tanggung jawab atas dirinya sendiri. Jika nyanyian dapat membangkitkan nafsu dan menimbulkan fitnah serta mengalahkan aspek rohani seseorang, maka mereka seharusnya menjauhi nyanyian tersebut dan menghindari situasi yang dapat merangsang fitnah. Ini penting untuk melindungi hati, agama, dan moralitas.
- Nyanyian yang disertai dengan perbuatan-perbuatan haram lainnya, seperti pesta minuman keras, tindakan cabul, dan maksiat, adalah praktek yang sangat dilarang dalam Islam. Rasulullah saw. mengancam pelaku dan pendengarnya dengan hukuman yang keras jika terlibat dalam kegiatan semacam itu.
Dalam Islam, penggunaan alat musik, termasuk orgen tunggal, dalam acara pernikahan atau perayaan dapat menjadi subjek beragam pandangan. Beberapa ulama membolehkan penggunaan alat musik dengan beberapa syarat, seperti lirik yang sesuai dengan ajaran Islam, penampilan yang mematuhi aturan syariah, dan tidak disertai unsur-unsur haram. Namun, ada juga yang melarang penggunaan alat musik karena dianggap dapat mengalihkan perhatian dari nilai-nilai agama.
Pendapat tentang masalah ini dapat bervariasi berdasarkan interpretasi pribadi, budaya, dan tradisi dalam komunitas Muslim. Oleh karena itu, penting untuk berdiskusi dengan ulama atau cendekiawan agama setempat untuk memahami pandangan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dalam konteks wilayah dan komunitas tertentu.@
Penulis:
Mahasiswa Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau