Suap-menyuap dalam prespektif Fiqih | Lulu Nissa Anggraeni

Mahasiswi Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau

banner 468x60

ACADEMICS.web.id – Menurut Ibnu Qudamah,Ibnu Atsir,dan Shan`ani Rahimullah,suap menyuap adalah pemberian yang dilakukan seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluruskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syari`ah) adalah membatilkan sesuatu yang hak.suap,uang pelican, dan money politikdapat dikategorikan sebagai suap.Hukum member dan menerima suap adalah haram.

Menyuap dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainya kepada penegak hukum agar terlepas dari ancaman hukum atau mendapat hukum ringan.Suap, disebut juga dengan sogok atau memberi uang pelicin. Adapun dalam bahasa syariat disebut dengan risywah. Menurut terminology fiqh, risywah (suap) adalah segala sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada seorang hakim atau yang bukan hakim agar ia memutuskan suatu perkara untuk (kepentingan) nya atau agar ia mengikuti kemauannya. Sedangkan menurut Ibnu Nadim, risywah adalah segala sesuatu yang diberikan seseorag kepada hakim atau yang lainnya untuk memutuskan suatu perkara atau membawa (putusan tersebut) sesuai dengan keinginannya yang memberi).Secara istilah disebut “memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan”.

banner 336x280

Berikut hadits yang menjelaskan tentang suap menyuap: Dari Abu Hurairah RA berkata:  Rasul SAW bersabda: Allah SWT melaknat penyuap dan yang di suap (HR. Imam Ahmad). Hadist ini dinyatakan shohih oleh syaikh Al-banani di dalam shohih At-targhib wa At-Tarhibll/261 no.2212.

Sangat disayangkan suap-menyuap dewasa ini seperti sudah menjadi penyakit menahun yang sangat sulit disembuhkan bahkan disinyalir sudah membudaya.Segala aktifitas, baik yang berskala kecil maupun yang berskala besar tidak terlepas dari suap-menyuap. Dengan kata lain, sebagaimana yang diungkapkan Muh Qurais shihab, masyarakat telah melahirkan budaya yang tadinya munkar (tidak dibenarkan)dapat menjadi ma’ruf (dikenal dan dinilai baik)apabila berulang-ulang dilakukan banyak orang. Yang ma‟ruf pun dapat menjadi munkar bila tidak lagi dilakukan orang.Suap sebagai modus penggelapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak dengan cara menghindarkan diri dari pajak dengan cara illegal atau dalam arti lainnya melakukan penyelewengan pajak dimana penghindaran diri dari pajak ini bisa saja disebut dengan pelanggaran Undang-Undang yang dapat merugikan negara.

Adapun menurut Imam Asy Syaukani bahwa sesungguhnya keharaman suap adalah mutlak dan tidak dapat ditakhsis, namun demikian dalam Islam terdapat kaidah ushul fiqih “Apa yang haram mengambilnya berarti haram pula memberikannya.” (as-Suyuthi, TT:102)

Tidak diperkenankan seseorang memberikan harta haramnya pada orang lain. Apabila diperbolehkan memberikannya berarti ia menolong dan mendorong pekerjaan yang dosa dan diharamkan. Karena itu, diharamkan memberi uang suap, riba, upah pelacur, pemberian pada khanin dan segala macam dari perbuatan yang fasiq sebagaimana yang diharamkan dalam mengambilnya.

Pengecualian dari kaidah diatas adalah:

  1. Memberi suap hakim untuk mendapatkan haknya orang dzalim.
  2. Uang yang diberikan untuk menebus orang yang ditawan.
  3. Uang yang diberikan kepada orang yang dikhawatirkan meninggalkan orang yang memberi agar orang yang memberi mendapatkan haknya.

Dengan demikian, jika tidak ada jalan lain bagi seseorang untuk menjaga dirinya dari kerusakan, kecuali dengan melakukan suap ia boleh melakukannya.Dalam Islam suap-menyuap termasuk pelanggaran berat sehingga Rasulullah SAW telah melaknat para pelaku suap, baik penyuap maupun yang diberi suap, terutama dalam urusan hukum, selain dalam masalah hukum, dalam urusan-urusan lainpun tidak diperbolehkan dalamIslam. Islam melarang perbuatan tersebut, bahkan menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar, yang dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya, karena perbuatan tersebut tidak hanya melecehkan hukum, tetapi lebih jauh lagi melecehkan hak seseorang untuk mendapat perlakuan yang sama didepan hukum.@

Penulis:

Lulu Nissa Anggraeni:
Mahasiswi Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau
banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *