JUAL-BELI ATAU PERDAGANGAN YANG DIHARAMKAN (Bag. 1)

Materi Kuliah Fiqh Muamalah

banner 468x60

ACADEMICS.web.id – Dalam Islam, jumlah muamalat atau aktifitas berekonomi yang diharamkan tidaklah terlalu banyak, berbeda dengan muamalat yang dibolehkan di mana jumlahnya tidak terbatas alias banyak, karena sejatinya hukum asal muamalat adalah mubah atau boleh. Maka, ketika hukum asalnya boleh, maka sudah barang tentu rata-rata kegiatan muamalat itu hukumnya boleh atau halal.

Maka, jika berbicara tentang aktifitas muamalat yang diharamkan, akan kita dapati bahwa; pertama, jumlahnya tidak terlalu banyak, dan kedua, setiap muamalat yang diharamkan, Allah berikan gantinya. Misalnya: Ketika Allah mengharamkan riba, maka sebagai gantinya dihalalkan jual beli tidak tunai. Ketika Allah mengharamkan judi, sebagai gantinya dihalalkan perlombaan dan begitu seterusnya.

banner 336x280

Sesungguhnya, aktifitas muamalat yang diharamkan pada umumnya mengandung unsur kezaliman, oleh karena itulah hikmah dari pengharamannya adalah untuk menjaga tatanan hidup bermasyarakat agar terlindung dari efek kezaliman.

Faktor penyebab sebuah muamalat diharamkan

Para ulama menjelaskan secara umum faktor penyebab suatu aktifitas muamalat yang diharamkan, yakni ada 3 faktor: PERTAMA, kezaliman, KEDUA, gharar (tipuan), dan KETIGA, riba.

FAKTOR PERTAMA: KEZALIMAN

Jika sebuah muamalat mengandung kezaliman terhadap salah satu pihak atau pihak manapun, maka aktifitas tersebut diharamkan. Berdasarkan firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu“. (An Nisaa’: 29).

Dalam setiap bentuk kezaliman, mustahil ada unsur suka sama-suka. Maka teori ‘an-tarodhin’ (sama-sama rela) tidak bisa dimasukkan dalam apapun bentuk kezaliman. Termasuk juga halnya dengan memakan harta orang lain dengan jalan yang batil.

Diantara bentuk-bentuk jual-beli yang diharamkan karena mengandung kezaliman, yaitu;

1. Ghisysy, yaitu berdagang dengan cara menyembunyikan cacat barang atau dengan cara menampilkan barang yang bagus dan menyelipkan diselanya barang yang jelek. Jual beli ini diharamkan berdasarkan sabda nabi : ” Sesungguhnya orang yang menipu tidak termasuk golonganku”.

2. Najsy: Najsy secara bahasa berarti membangkitkan. Secara istilah memiliki beberapa arti;

  • Seseorang menaikkan harga pada saat lelang sedangkan dia tidak berniat untuk membeli; baik ada kesepakatan sebelumnya antara dia dan pemilik barang atau perantara, maupun tidak.
  • Penjual menjelaskan kriteria barang yang tidak sesungguhnya.
  • Penjual berkata,” harga pokok barang ini Rp. 1 juta,” padahal sebenarnya hanya Rp. 700 ribu, dia berdusta.

Maka, najsy dengan seluruh bentuk di atas hukumnya haram, karena merupakan penipuan dan pengelabuan terhadap pembeli. Nabi SAW bersabda dari riwayat Ibnu Umar:

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن النجش

“Rasulullah SAW melarang jual-beli najsy”. HR. Bukhari- Muslim

Namun demikian, hukum akad jual-beli dalam aktifitas najsy ini tetap sah (ingat… hanya hukum akadnya saja, bukan praktek jual belinya) dan pembeli berhak memilih antara mengembalikan barang atau meneruskan akad, jika harga barang yang dibelinya jauh lebih mahal dari harga pasaran.

3. Menjual, membeli dan menawar barang yang terlebih dahulu telah dijual, dibeli dan ditawar oleh orang lain. Misalnya:

− Menjual barang yang terlebih dahulu telah dijual oleh orang yang lain. Seorang penjual berkata kepada orang yang telah membeli suatu barang dengan harga Rp. 10.000,- dari orang lain, “aku jual barang yang sama itu kepadamu dengan harga lebih murah yaitu Rp. 9.000,- atau aku jual barang yang sama itu kepada mu tapi lebih bagus kwalitasnya dan dengan harga yang sama seperti yang tadi kamu bayar yaitu Rp. 10.000,-” berharap pembeli membatalkan akad dengan penjual pertama dan kemudian membeli darinya.

− Membeli barang yang terlebih dahulu telah dibeli oleh orang yang lain. Seorang pembeli berkata kepada penjual yang telah menjual barangnya dengan harga Rp. 9.000,-, kepada seseorang, “saya beli barang tersebut dari anda dengan harga Rp. 10.000,- “.

− Menawar barang yang terlebih dahulu ditawar oleh orang lain. Seorang pembeli mendapati dua orang yang sedang tawarmenawar dan keduanya hampir sepakat, lalu dia berkata kepada penjual, “Sudah… sudah… dari pada kalian berdua masih sibuk nego, saya beli barang anda dengan harga di atas tawaran dia,” atau si penjual berkata kepada pembeli yang baru datang tadi, “saya tawarkan kepada anda barang yang sama dengan harga yang lebih murah.”

Menawar barang yang terlebih dahulu ditawar oleh orang yang lain hukumnya haram dengan 2 syarat:

  1. Jika hampir terjadi saling kecocokan harga (Hampir deal). Oleh karena itu, jika masih dalam tahap awal tawar-menawar dan masih jauh dari kecocokan harga, maka dibolehkan bagi pihak ketiga untuk menawar.
  2. Jual-belinya tidak dengan cara lelang. Maka padas saat lelang, dibolehkan menawar barang yang sedang ditawar.

Hikmah larangan menjual, membeli dan menawar barang yang terlebih dahulu dijual, dibeli dan ditawar oleh orang yang lain adalah menutup celah terjadinya permusuhan dan pertiakaian sesama manusia.

Dalil pelarangan jual-beli seperti ini adalah riwayatnya Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

ولا يبع بعضكم على بيع أخيه

“janganlah sebagian kalian menjual barang yang terlebih dahulu dijual oleh muslim yang lain”.

4. Ihtikar (menimbun barang)

Ihtikar yaitu menahan/menimbun barang yang merupakan hajat orang banyak dengan tidak menjualnya agar permintaan bertambah dan harga menjadi naik, saat itulah kemudian ia menjualnya. Para ulama sepakat bahwa ihtikar secara umum hukumnya haram. Diriwayatkan dari Mu’amar bin Abdullah bahwa Nabi bersabda, “Orang yang melakukan ihtikar berdosa“. (HR. Muslim).

Ihtikar diharamkan bilamana terdapat 2 hal;

  1. Melakukan ihtikar pada saat harga melambung, adapun menimbun barang pada waktu harga murah tidak dinamakan ihtikar. Jadi, penimbunan dilakukan pada saat harga melambung.
  2. Barang yang ditimbun merupakan hajat orang banyak dan mereka terimbas dengan tindakan tersebut, seperti makanan pokok, bahan bakar, material bangunan, dll. Adapun barang yang tidak termasuk kebutuhan pokok maka tidak diharamkan menimbunnya.
  1. Perlindungan hak cipta.

Dalam hal perlindungan hak cipta, umumnya para produsen barang meminta perlindungan hak cipta mereka dan melarang orang lain meniru barang produksi atau merek mereka. Mereka melakukan ihtikar atau monopoli produksi barang tersebut, termasuk dalam hal ini materi-materi ilmiah dan informasi, seperti buku, kaset, dan program komputer.

Perlindungan hak cipta dibolehkan syariat dan wajib ditaati normanya. Dan tidak termasuk ihtikar yang diharamkan karena beberapa hal:

  1. Hak cipta merupakan milik pembuatnya maka meniru atau mengkopinya di anggap melanggar hak orang lain.
  2. Hak cipta tidak termasuk kebutuhan pokok yang membuat orang banyak menderita disebabkan tingginya harga.

Pembeli barang hak cipta disyaratkan untuk tidak memperbanyak atau menirunya, dan wajib memenuhi persyaratan tersebut.

5. Menjual barang yang digunakan untuk maksiat

Menjual barang yang mubah kepada pembeli yang diketahui akan menggunakannya untuk berbuat maksiat maka hukumnya haram, seperti: menjual anggur kepada pabrik minuman keras dan menjual senjata kepada perampok.

Begitu juga akad sewa, seumpama; menyewakan tempat kepada orang yang menjual narkoba atau uang palsu dll. Dalil keharaman aktifitas ini adalah firman Allah:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran“. (Al Maidah: 2).

Bentuk jual beli ini merupakan kezaliman terhadap pembeli karena membantunya berbuat maksiat padahal seharusnya dia dinasehati agar berhenti berbuat maksiat.

(Bersambung)

Prepared by Sofiandi

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *