ACADEMICS.web.id – Secara etimologi, khiar berasal dari kata ikhtiar yang memiliki arti memilih. Adapun secara terminology, arti khiar adalah hak pelaku transaksi ba’I (jual-beli) untuk meneruskan atau membatalkan transaksi. Pemahaman secara globalnya adalah bahwa dalam transaksi jual-beli menurut ajaran Islam, penjual dan pembeli secara equal memiliki hak berupa opsi, apakah transaksi yang sedang berlangsung antar kedua belah pihak ini akan diteruskan atau malah akan dihentikan. Tentu, opsi ini akan diambil terkait dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh kedua pihak. Untuk lebih memahami dimensi khiar dalam praktek transaksi jual beli ini, alangkah baiknya jika kita langsung mendiskusikan jenis-jenis khiar yang ada dalam fikih. Diharapkan, dengan membicarakan jenis-jenis khiar ini, akan memberikan pemahaman yang utuh dan menjadikan kita lebih paham akan hak dan kewajiban saat melaksungkan akad jual beli.
Jenis khiar yang yang pertama adalah KHIAR MAJELIS. Majelis artinya adalah tempat. Oleh karena itu, khiar majelis artinya adalah hak pelaku transaksi untuk meneruskan atau menghentikannya selagi mereka berada di lokasi transaksi sedang berlangsung dan belum berpisah.
Dalil muamalah ini adalah hadist yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam bahwa Nabi SAW bersabda:
“Penjual dan pembeli memiliki hak khiar selama mereka belum berpisah maka jika keduanya jujur dan saling terbuka niscaya akad mereka diberkahi dan jika keduanya berdusta dan saling menutupi, dicabut keberkahan dari akad yang mereka lakukan”. (HR. Bukhari-Muslim)
Maka dengan hak khiar ini, memboleh kan kepada pihak yang terlibat untuk memikirkan kembali transaksi yang baru saja terjadi diantara mereka selagi belum berpisah. Terkadang, karena tidak berpikir panjang atau karena godaan, maka kita, sering menyesal telah membeli atau menjual sesuatu, maka selagi pembeli dan penjual belum berpisah, maka hak khiar bisa digunakan pada saat itu, dan valid menurut fikih. Syarat utama adalah selagi pembeli dan penjual masih dilokasi akad dan belum berpisah.
Di masa modern saat ini, jika transaksi berlangsung via telpon, maka waktu khiar berakhir dengan ditutupnya telpon tersebut. Jika transaksi menggunakan internet atau media social, maka khiar berakhir pada saat diskonekted dari online tersebut, atau pada saat wa, instargram, dll, ditutup.
Selanjutnya, penjual dan pembeli diberikan kesempatan untuk menafikan hak khiar atau malah menggugurkan hak khiar tersebut. Dengan menafikan hak khiar, maka prakteknya adalah kedua pihak sepakat pada awal transaksi bahwa setelah selesai transaksi, tidak ada hak khiar bagi kedua pihak, akad hanya diakhiri dengan ijab qobul saja
Selain hal itu, kedua pihak juga diberikan kesempatan untuk menggugurkan hak khiar dengan cara kedua pihak melangsungkan transaksi dan setelah transaksi selesai dan sebelum mereka berpisah, mereka sepakat untuk menggugurkan hak khiar pada kedua pihak. Praktek semacam ini, menafikan atau menggugurkan hak khiar diperboleh oleh fikih asal kan melalui mekanisme kesepakatan kedua pihak.
Oleh karena itu, dilarang dan haram hukumnya bagi kedua pihak untuk melakukan penipuan dalam upaya menghindari hak khiar ini. Seumpama, seorang penjual/pembeli bersegera dan buru-buru untuk meninggalkan lokasi transaksi dengan maksud agar segera gugur hak khiar pihak lain. Nabi SAW bersabda terkait hal ini:
“Penjual dan pembeli memiliki hak khiar selama mereka belum berpisah, kecuali akad khiar syarat, dan tidak diperbolehkan bagi seseorang meninggalkan dengan segaja majelis akad khawatir pihak lain membatalakan akadnya” (HR. Ahmad)
Jenis khiar yang lain adalah KHIAR SYARAT. Prakteknya adalah kedua pihak atau salah satunya berhak memberikan persyaratan khiar dalam jangka waktu tertentu. Misalnya, seorang pembeli berkata, “Aku beli barang ini dengan syarat aku berhak khiar selama 1 minggu”. Maka dia berhak khiar selama 1 minggu, apakah meneruskan atau menghentikan transaksi dalam tempo 1 minggu tersebut sekalipun barang itu tidak ada cacatnya.
Dalil muamalah ini adalah hadist yang diriwayatkan oleh Amr bin Auf bahwa Nabi SAW bersabda:
“Orang Islam terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”. (HR. Tirmizi)
Namun, khiar syarat ini dianggap sah jika, pertama, kedua pihak saling rela, baik kerelaannya timbul sebelum atau saat berlangsungnya akad. Kedua, waktu yang jelas meskipun lama.
Adapun berakhirnya masa khiar syarat ditandai dengan berakhirnya waktu yang telah disepakati atau keduanya sepakat mengakhiri waktu khiar sebelum berakhirnya waktu yang disepakati pada mulanya.
Jenis khiar yang selanjutnya adalah KHIAR AIB. Yang dimaksud dengan khiar aib disini adalah hak opsi untuk meneruskan atau membatalkan transaksi jual beli karena terdapat cacat pada objek transaksi yang pasti mempengaruhi harga. Misalnya, body mobil yang sudah tergores, sepeda motor yang sparepart aslinya sudah diganti dll.
Namun yang harus digaris bawahi dari permasalahan seperti ini adalah haram hukumnya untuk menutup-nutupi cacat pada objek transaksi (barang dagangan). Jika ada cacat, maka harus diinformasikan kepada pembeli, jika tidak maka termasuk perbuatan menipu. Nabi SAW bersabda, “barang siapa yang menipu, maka dia bukan dari kelompok/golongan ku”. (HR Muslim)
Demikian juga hadist yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir, yang mendengar nabi SAW bersabda:
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak dibenarkan seorang muslim menjual barang yang cacat kepada saudaranya melainkan dia jelaskan cacatnya” (HR. Ibnu Majah)
Jika seandainya seseorang membeli barang lalu kemudian setelah transaksi baru dia ketahui adanya cacat di barang tersebut, maka dia memiliki 2 opsi:
Pertama, mengembalikan barang tersebut dan menarik kembali semua uangnya.
Kedua, tetap menguasai barang tersebut serta meminta kembali sebagian uang yang telah dia bayar dengan dikurangi harga barang cacat tersebut. Jika misalnyas harga barang yang normal Rp. 50.000, tapi karena cacat maka harganya jadi jatuh ke Rp. 20.000, maka pembeli berhak meminta kembali Rp. 30.000.
Jika penjual memberikan persyaratan kepada pembeli bahwa tidak ada garansi kerusakan pada barang dan pembeli setuju, maka apakah lepas tanggung jawab penjual? Ataukah pembeli masih berhak menuntut kerugian jika ternyata ada cacat?
Ada 2 opsi dalam masalah seperti ini:
Pertama, Jika penjual telah menjelaskan cacat dan pembeli sudah paham akan hal itu, misalnya, penjual berkata, “aki terkadang sering boros”, atau cacatnya tampak jelas, seperti goresan besar di pintu depan mobil, maka terbebaslah penjual dari tanggung jawab dan pembeli tidak memiliki hak khiar lagi.
Kedua, jika penjual mensyaratkan terbebas dari tanggunngan dari segala cacat barang sedangkan pembeli tidak tahu ada cacat pada barang, misalnya, penjual berkata, “aku jual barang ini kepadamu dengan syarat aku lepas tanggungan dari segala cacatnya”. Maka penjual lepas tanggungan dari seluruh cacat barang jika dia benar-benar tidak mengetahui (bukan pura-pura tidak tahu) cacat sebelumnya karena khiar adalah hak pembeli.
Demikianlah permasalahan khiar dalam transaksi jual-beli yang diajarkan dalam agama Islam. Dimana hak ini banyak yang masih tidak diketahui. Jika dilihat dari sisi kemanusiaan, maka sesungguhnya konsep khiar ini dimunculkan dalam rangka mewujudkan prinsip keadilan terhadap pihak-pihak yang melakukan transaksi jual beli sehingga semua pihak terlindungi dan tidak ada yang dirugikan. Wallahu a’lam bi ashowab.@
Prepared by Sofiandi