ACADEMICS.web.id – Masa reformasi membuka jalan bagi berbagai wujud nyata terkait kebebasan politik dan suasana demokratisasi. Kebebasan berpendapat, berserikat, dan berekspresi yang digalakkan pada era reformasi turut mendorong kebangkitan gerakan politik Islam berskala besar di Indonesia. Tidak hanya di bidang politik, tokoh-tokoh Islam juga turut menghidupkan kehidupan sosial dan keagamaan dengan melahirkan banyak ormas Islam dengan karakteristik dan tujuan yang beragam. Tanpa kecuali, mereka yang berpandangan konservatif dan garis keras terhadap Islam juga mendirikan berbagai organisasi dan kelompok keagamaan Islam.
Kurangnya pengawasan dan lemahnya regulasi terkait dengan tumbuhnya gerakan dan organisasi Islam yang mengandung kekerasan dan intoleransi pada akhirnya akan menimbulkan masalah di masa depan. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Wahid Institute (2020), intoleransi di Indonesia ditemukan meningkat setiap tahunnya, dari 46% menjadi 54%. Tren yang berkembang ini dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: persaingan politik, dakwah yang mengandung ujaran kebencian, dan unggahan ujaran kebencian di berbagai platform media sosial yang berbeda-beda (CNN, 2020).
Kebencian terhadap sentimen agama bisa menjadi titik awal kerusuhan sosial yang memunculkan berbagai aksi terorisme dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena kekerasan beragama seringkali bermula dari pemahaman doktrin agama yang eksklusif, kemudian membentuk sikap sosial yang intoleran, diwujudkan dengan sifat kekerasan, disertai aksi terorisme dan ekstremisme terhadap berbagai kelompok, hingga akhirnya menimbulkan rasa duka, kebencian permusuhan dan kebencian antar kelompok.
Dokumen sejarah perkembangan gerakan Islam menunjukkan adanya korelasi erat antara mobilisasi gerakan ekstremis dengan perubahan pola sosial politik. Gerakan Darul Islam, yang lahir dan sempat ditindas ketika Indonesia mulai memperoleh kemerdekaan, mengilhami penyebaran ide-ide Islam “anti-negara” (van Bruinessen, 2002). Di Indonesia sendiri, kita dapat menyimpulkan bahwa kebangkitan intoleransi dan ekstremisme dibarengi dengan peningkatan aksi teroris.
Setidaknya dalam pemberitaan sejak 5 Juli 2016, telah terjadi beberapa aksi teror seperti pengeboman kafe Starbucks dan bioskop Djakarta Theater pada (14 Januari 2016). Sehari menjelang Idul Fitri, terjadi serangan bunuh diri di Mapolres Surakarta.
Ledakan ini menewaskan pelaku atas nama Nur Rohman dan melukai seorang anggota polisi. lalu serangan sebuah bom di Kampung Melayu pada (24/05/2017), kemudian bom bunuh diri terjadi di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur dengan waktu berdekatan pada Minggu (13/05/2018). Di hari yang sama sekitar pukul 21.00 WIB bom bunuh diri terjadi di Rusun Wonocolo, Sidoarjo. Keempat ledakan tersebut memakan korban jiwa sebanyak 17 orang (L. A. 2018. “Azanella, 2018). Peristiwa teroris ekstremis terbaru terjadi pada tahun 2021. Peristiwa yang cukup memilukan adalah peristiwa pengeboman yang terjadi di depan Katedral Kota Makassar pada tanggal 28 April 2021.
Menurut banyak pemberitaan yang viral, peristiwa ledakan bom tersebut berasal dari dua orang pengendara sepeda motor. Diduga ini adalah aksi bunuh diri yang dilakukan oleh sepasang suami istri. “Setelah kejadian tersebut, dua orang yang diduga pelaku penyerangan tewas dan 20 orang termasuk warga, petugas keamanan gereja, dan jamaah mengalami luka-luka akibat ledakan tersebut” (Azanella, 2021). Selanjutnya, hanya berselang dua hari setelah ledakan bom di Kota Makassar, pada Rabu 31 Maret 2021, aksi teror kembali terjadi, kali ini di Mabes Polri. Video amatir dan rekaman CCTV yang ditayangkan Kompas TV menunjukkan terduga teroris berjalan dari pintu masuk pejalan kaki atau pintu belakang Mabes Polri.
Setelah itu, terduga teroris melepaskan beberapa tembakan ke arah polisi yang menjaga gerbang masuk, setelah itu polisi membalas hingga teroris tersebut harus dilumpuhkan karena aksi terorisnya dapat membahayakan nyawa masyarakat sekitar. Aksi terorisme tidak lebih dari kejahatan terorganisir, seperti yang ditunjukkan dengan jelas oleh kehadiran karyawan dan sponsor di tempat kejadian. Selain itu, aksi terorisme merupakan kejahatan transnasional yang mematikan. Kejahatan yang dilakukan merupakan kejahatan khusus yang akibat paling beratnya adalah membahayakan perdamaian nasional dan internasional (Anggraeni dkk., 2019). Hasil penelitian Center for Religious and Intercultural Studies (CRCS) tahun 2017 menunjukkan bahwa kelompok ekstremis berhasil menyebarkan ideologi radikal melalui banyak model baru, seperti mengeksploitasi pemikiran longgar masyarakat di dalam negeri. , kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan tampaknya mempersulit kehidupan mereka. Melalui metode ini, kelompok radikal berupaya menciptakan model-model baru dalam mengembangkan jaringan kelompoknya (bagir, 2018).
Terbentuknya intoleransi di kalangan individu dapat membuka jalan bagi pemahaman terhadap ideologi radikal. Hal ini juga tidak menutup kemungkinan individu yang terpapar ideologi ekstremis secara sadar menyetujui tindakan teroris. Hal ini sesuai dengan hasil survei yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada tahun 2017 yang menemukan bahwa 34,3% generasi muda yang disurvei bersimpati dengan jihad melawan kelompok non-Muslim.
Pada saat yang sama, intoleransi dapat menyebabkan kekerasan agama dan dapat berubah menjadi aksi terorisme (Faela Nisa, 2018). Berkembangnya jaringan ideologi ekstremis menarik banyak perhatian. Menurut banyak penelitian, generasi muda merupakan kelompok yang paling rentan terhadap ideologi ekstremis, sehingga mereka akhirnya tertarik untuk bergabung dengan kelompok ini. . Hal ini dapat dimaklumi, karena organisasi radikalisasi meyakini bahwa generasi muda, khususnya pelajar SMA dan mahasiswa, merupakan kelompok masyarakat yang sedang mengalami krisis identitas dan harus mengambil tindakan khusus untuk mendapatkan kembali identitasnya. Di sisi lain, mereka juga dianggap naif dalam menafsirkan realitas dan perubahan sosial yang terjadi.
Oleh karena itu, mereka cukup berpikiran terbuka dan dapat menerima berbagai masukan dan informasi terkait gerakan keagamaan yang dianggap sebagai cita-cita, sekaligus menginspirasi mereka untuk turut serta mewujudkan cita-cita ideologi radikal yang berkedok agama. Lahirnya fenomena radikalisme tidak lepas dari upaya polarisasi berbagai kondisi masyarakat Indonesia. Polarisasi pasti akan menimbulkan sentimen terhadap keragaman budaya dan menimbulkan pandangan sempit terhadap doktrin, teologi, dan ideologi. Radikalisme yang sedang marak di Indonesia antara lain disebabkan oleh adanya kelompok masyarakat tertentu yang tidak menganut nilai-nilai nasionalisme yang berlandaskan nilai pluralisme.
Progresivisme sebagai sebuah ideologi sangat mungkin mempengaruhi pemikiran generasi muda, jika pada saat yang sama nilai-nilai yang diyakininya dimasukkan atau bahkan dimasukkan dalam pelajaran sekolah (Suryani, 2017). juga melaporkan temuannya terkait fenomena radikalisme. Berdasarkan data BNPT tahun 2017, sebanyak 39% pelajar di 15 provinsi di Indonesia menyatakan ketertarikannya terhadap radikalisme. Hasil survei ini menimbulkan kecurigaan masyarakat yang semakin besar bahwa generasi muda menjadi sasaran indoktrinasi ideologi radikal dan sekolah dijadikan tempat utama tumbuhnya gerakan radikal. Pendidikan merupakan sektor kunci yang mempunyai peran preventif yang penting dalam membendung ancaman radikalisme di perguruan tinggi. Dengan menggunakan dan mengoptimalkan setiap arahan pembelajaran Kementerian Pendidikan, kita dapat meningkatkan, mengawali, memperkuat dan menyempurnakan proses pendidikan dasar, khususnya pendidikan nilai-nilai kepribadian seutuhnya, nilai-nilai kehidupan, dan jati diri bangsa.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kemungkinan radikalisme di perguruan tinggi adalah dengan memanfaatkan ruang pendidikan melalui mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai wadah internalisasi nilai-nilai kebangsaan, khususnya nilai toleransi di perguruan tinggi. Nilai toleransi dapat menjadi modal berharga yang membantu individu terhindar dari ancaman ekstremisme agama dan fundamentalisme yang dapat mengancam keutuhan dan persatuan bangsa. Selain itu, mengingat adanya mahasiswa yang menjadi sasaran kelompok teroris ekstremis dalam masa pembinaan kelompoknya, maka internalisasi nilai-nilai toleransi mungkin bisa menjadi upaya yang tepat dalam proses pencabutan nilai-nilai dan karakter suatu kelompok. siswa di pendidikan tinggi. Menurut Branson, pendidikan kewarganegaraan atau civic education dalam membentuk warga negara yang baik berperan dalam mengembangkan tiga keterampilan yang perlu dikuasai setiap warga negara. Ketiga keterampilan tersebut adalah warga negara yang berpengetahuan (civic knowledge), warga negara yang kompeten (citizenship skill), dan kewarganegaraan (citizenship). peraturan) (Winataputra dan Budimansyah, 2007). Ketiga keterampilan tersebut seluruhnya mempunyai sumber nilai yang sama, yaitu nilai Pancasila sebagai ruh bangsa Indonesia. Apabila ketiga keterampilan tersebut melekat pada jiwa dan kepribadian seorang warga negara, maka secara langsung maupun tidak langsung warga negara tersebut merupakan individu yang kompeten, berdedikasi, percaya diri, dan toleran. Nilai toleransi sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, karena sikap dan perilaku toleran dapat dipahami sebagai cerminan perilaku yang mampu menerima perbedaan dan keberagaman, dapat mengedepankan kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan saling menghargai. . Selain itu, sikap toleran tentunya akan menjaga bangsa Indonesia dari ancaman ekstremisme dan perilaku intoleransi yang dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan di kalangan anak bangsa. Sikap yang mencerminkan perilaku toleran adalah kemauan dan kemampuan sadar setiap individu dan masyarakat secara keseluruhan untuk selalu menerapkan hak-hak individu dan/atau kelompok minoritas secara adil dan bijaksana. menjadi lebih terstruktur. oleh kelompok atau kelompok mayoritas (Sutton, 2006). Mengambil kewarganegaraan pada tingkat yang lebih tinggi merupakan cara strategis untuk mendidik siswa tentang isu-isu nasional. Pada gilirannya, hal ini akan mengarah pada partisipasi (partisipasi efektif) dan tumbuhnya kesadaran akan tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas kehidupan politik dan sosial secara keseluruhan (Pahlevi, 2017).
Namun dalam proses implementasi nilai-nilai kebangsaan, khususnya internalisasi nilai toleransi, keberadaan pendidikan kewarganegaraan seolah mengalami stagnasi, hanya bersifat formal dan nilai-nilai pendidikan yang dikandungnya belum terserap seluruhnya. siswa. Selain itu, hingga saat ini penerapan pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi tampaknya belum membuahkan hasil nyata untuk mendukung upaya pemberantasan gerakan ekstremisme di perguruan tinggi.
Masyarakat Indonesia senantiasa ingin menjadikan pendidikan universitas sebagai wadah untuk melatih dan mendidik anak-anaknya menjadi intelektual yang cakap dan terpuji. Ironisnya, tidak ada universitas yang bisa menjamin alumninya mempunyai akhlak dan budi pekerti yang baik. Selain itu, misi pendidikan tinggi mencakup aspek pengajaran, penelitian dan penerapan ilmiah. Seperti yang secara khusus ditunjukkan oleh Arthur, pengembangan karakter tidak dianggap sebagai tugas akademis. Oleh karena itu, implementasi pendidikan karakter yang terkait dengan internalisasi nilai toleransi di perguruan tinggi menghadapi kendala tersendiri, terutama dalam upaya pencegahan potensi radikalisme. Perguruan tinggi perlu memahami bahwa kolaborasi dengan pemangku kepentingan (dalam hal ini orang tua dan masyarakat sekitar) sangatlah penting (Syukri, 2009). Begitu pula peran pemerintah melalui BNPT, kepolisian, dan instansi terkait juga tidak kalah pentingnya dalam merumuskan dan melaksanakan serangkaian upaya internalisasi nilai toleransi untuk melawan potensi radikalisme di perguruan tinggi. Walaupun strategi dan metode yang diterapkan masing-masing lembaga berbeda-beda, namun semuanya memiliki tujuan yang sama yaitu mendorong dan memotivasi masyarakat khususnya mahasiswa agar mampu mengembangkan keterampilan etis individu, khususnya sikap dan perilaku toleran terhadap ancaman. Radikalisme di perguruan tinggi di Indonesia.
Ancaman gerakan radikalisme dan terorisme telah dengan jelas menyasar kalangan mahasiswa sebagai kelompok terpelajar (Humaizi et al., 2018). Temuan ini dperkuat dengan terungkapnya beberapa mahasiswa dan oknum sivitas akademika yang jelas-jelas merupakan bagian dari kelompok radikal.
Perkuliahan PKn menjadi sarana strategis dalam upaya penanaman nilai dan pembentukan karakter toleran terhadap mahasiswa agar mampu menjalani peranannya sebagai warga negara yang baik, cakap, sekaligus terampil di tengah berbagai ancaman nasional yang ada, salah satu ancaman tersebut yaitu fenomena radikalisme dan terorisme.
Sebagaimana Ubaedillah & Abdul menyampaikan bahwasanya PKn sebagai sarana pembangunan karakter bangsa memiliki beberapa tujuan yaitu:
- Membentuk kecapakan partisipatif warga negara yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
- Menjadikan warga negara Indonesia yang cerdas, aktif, kritis dan demokratis, namun tetap memiliki komitmen menjaga persatuan dan integritas bangsa,
- Mengembangkan kultur demokrasi yang berkeadaban, yaitu kebebasan, persamaan, toleransi dan tanggungjawab (Ubaedillah & Abdul, 2013).
Perkuliahan PKn merupakan sarana yang tepat sebagai media dalam menginternalisasikan nilai toleransi terhadap mahasiswa sebab pembelajaran PKn dapat dimaknai sebagai usaha untuk mempersiapkan angkatan muda (siswa dan mahasiswa) untuk menjadi warga negara yang berpengetahuan, cakap dan menguasasi nilai-nilai moral dan karakter yang dibutuhkan untuk dapat berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat (Samsuri, 2011).
Maka dari itu tepat kiranya perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan dijadikan sebagai media dalam menginternalisasikan nilai toleransi sekaligus seperangkat nilai moral karakter lainnya untuk mewujudkan generasi penerus yang berbudi luhur, toleran, senantiasan menghormati perbedaan, serta menjunjung tinggi semangat persatuan dan kesatuan sebagai langkah penguatan identitas nasional dalam menghadapi berbagai tantangan dan ancaman yang mebahayakan kehidupan bangsa dan negara. Fenomena radikalisme di Indonesia merupakan ancaman nyata yang dapat memecah belah kondisi persatuan dan kerukunan masyarakat Indonesia.
Maka dari itu dibutuhkan upaya kongrit dan terencana untuk menangkal perkembangan radikalisasi yang lebih besar. Salah satu upaya strategis yang dapat dilakukan adalah dengan menjadikan Perkuliahan PKn sebagai sarana pembentukan (internalisasi) nilai toleransi terhadap mahasiswa yang berguna sebagai filter awal untuk mencegah mahasiswa dapat dipengaruhi oleh berbagai narasi radikalisme yang kerap dibalut oleh gagasan cita-cita yang luhur dan sebuah perjuangan suci yang mengatas namakan suatu agama. Disamping itu perkuliahan PKn merupakan saluran yang efektif yang dapat berfungsi sebagai bagian dari strategi kontra radikalisasi di lingkungan perguruan tinggi.
Menurut Hakim strategi kontra radikalisasi, yaitu upaya penanaman nilai-nilai ke-Indonesiaan serta nilai-nilai non-kekerasan dalam menyelesaikan masalah menyikapi perbedaan. serta Prosesnya bisa dilakukan melalui pendidikan formal maupun informal, dan upaya-upaya lainnya. Strategi kontra radikalisasi ditujukan terhadap kelompok pendukung, simpatisan dan masyarakat yang belum terpapar paham radikal. Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dijabarkan bahwa strategi kontra radikalisasi diturunkan menjadi tiga, yaitu (a) kontra ideologi, (b) kontra narasi dan (c) kontra propaganda (Hakim, 2020) .
Berdasarkan turunan strategi kontra radikalisasi sebagaimana disebutkan di atas. Adanya mata kuliah PKn sebagai mata kuliah dasar umum di Universitas Pendidikan Indonesia memiliki peranan yang strategis sekaligus sejalan dengan turunan strategi kontra radikalisasi. Melalui perkuliahan PKn mahasiswa dapat diberikan penguatan berkenaan dengan hakikat dan nilai-nilai dari Ideologi Pancasila sebagai landasan fundamen bangsa yang sesuai dengan karakter dan jatidiri masyarakat Indonesia, sebagai upaya kontra ideologi radikalisme.
Berikutnya peran perkuliahan PKn sebagai kontra narasi radikalisme yang identik dengan ujaran kebencian, ajakan memusuhi dan bertindak intoleran terhadap kelompok minoritas dapat dilakukan dengan menawarkan dan mengembangkan narasi pentingnya rasa saling menghargai dan menghormati di tengah keberagaman dan indahnya membina kerukunan dan persatuan di tengah berbagai perbedaan masyarakat Indonesia sesuai dengan semboyan negara Bhineka Tunggal Ika. Kontra Propaganda radikalisme dapat dilakukan dengan menjadikan mata kuliah PKn sebagai alat untuk mendesiminasikan pendidikan perdamaian dan wawasan kebangsaan yang sarat akan nilai-nilai penghargaan terhadap identitas nasional dan hak asasi manusia. PKn merupakan salah satu dari Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Perguruan Tinggi pasal 135 ayat 3 yakni, Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat mata kuliah: a. agama; b. Pancasila; c. kewarganegaraan; dan d. bahasa Indonesia. MKWU merupakan mata kuliah fundamen yang memberikan landasan spiritual keagamaan, moral, kebangsaan, nasionalisme, dan sosial budaya dalam mengembangkan bidang ilmu dan keahliannya masing-masing (Rahim, 2018. Hlm. 17).
Upaya internalisasi nilai toleransi melalui perkuliahan PKn adalah tepat adanya dan sesuai dengan tujuan mendasar pembelajaran PKn yaitu mewujudkan warga negara yang baik, cerdas, dan bermoral (berkarakter) sesuai dengan nilai-nilai kepribadian bangsa (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika). Penanaman nilai toleransi melalui perkuliahan PKn merupakan salah satu upaya dalam menangkal benih intoleransi di kalangan mahasiswa yang apabila diabaikan pandangan intoleran dapat berkembang menjadi gagasan radikalisme yang membenarkan berbagai aksi kekerasan terorisme. Penguatan dan optimalisasi mata kuliah PKn dalam menyemai nilai-nilai luhur bangsa khususnya nilai toleransi merupakan suatu upaya penting yang saat ini harus segera dilakukan, mengingat besarnya potensi ancaman radikalisme yang tersembunyi menyasar kehidupan mahasiswa di banyak perguruan tinggi.
Adapun beberapa upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai hambatan dalam pelaksanaan internalisasi nilai toleransi untuk mencegah potensi radikalisme di perguruan tinggi diantaranya adalah (1) Kebijakan beasiswa dari Kampus, mengurangi kesenjangan diantara mahasiswa, (2) Penguatan melalui kolaborasi antar komponen di kampus dalam mengantisipasi gerakan radikalisme, (3) Mengedepankan internalisasi nilai berdasarkan figur teladan di mulai dari Dosen sebagai aktor utama proses internalisasi nilai toleransi di kelas, (4) Menyusun materi khusus urgensi nilai toleransi dan ancaman gerakan radikalisme yang dapat mengancam kedaulatan NKRI, (5) Menyelenggraan perkuliahan dan pelayanan kampus yang senantiasa mengedepankan pemenuhan hakasasi manusia, dan perwujudan kehidupan kampus yang demokratis dan toleran terhadap kebhinekaan (keberagaman), (6) Melakukan kontra narasi terhadap berbagai narasi yang menjustifikasi aksi radikal terorisme, (7) Optimalisasi aplikasi yang mendukung proses pembelajaran selama pandemi.
Pendidikan kewarganegaraan pada perguruan tinggi memegang peranan penting dalam menanamkan nilai toleransi pada setiap mahasiswa. Nilai toleransi dapat menjadi landasan mendasar bagi karakter dan moralitas siswa, membantu melindungi mereka dari pengaruh gerakan ekstremis yang identik dengan tindakan intoleransi dan terorisme. Mata kuliah pendidikan kewarganegaraan merupakan saluran strategis yang benar-benar bermakna dalam memerangi ancaman ekstremisme di kalangan pelajar melalui materi hak asasi manusia, pendidikan nilai, pendidikan multikultural visi nasional, dan pendidikan. Pendidikan kewarganegaraan dapat mendorong terwujudnya kehidupan kampus yang rukun, sehat, aman, nyaman dan damai ditengah perbedaan dan keberagaman suku, agama, ras dan antargolongan. berperan dalam menginternalisasikan nilai toleransi pada setiap siswa.
Nilai toleransi dapat menjadi landasan mendasar bagi karakter dan moralitas siswa, membantu melindungi mereka dari pengaruh gerakan ekstremis yang identik dengan tindakan intoleransi dan terorisme. Mata kuliah pendidikan kewarganegaraan merupakan saluran strategis yang benar-benar bermakna dalam memerangi ancaman ekstremisme di kalangan pelajar melalui materi hak asasi manusia, pendidikan nilai, pendidikan multikultural visi nasional, dan pendidikan. Pendidikan kewarganegaraan dapat mendorong terwujudnya kehidupan kampus yang rukun, sehat, aman, nyaman dan damai di Universitas Pendidikan Indonesia di tengah perbedaan dan keberagaman suku, agama, ras dan antargolongan.@
Penulis:
Mahasiswa S1 Farmasi (Tingkat 1) Institut Kesehatan Mitra Bunda
Daftar Pustaka
Anggraeni, Darmawan, & Tanshzil. (2019). Revitalisasi Peran Perguruan Tinggi Dalam Menangani Gerak Radikalisme Dan Fenomena Melemahnya Bela Negara Di Kalangan Mahasiswa. Jurnal Citizenhsip, 2(1), 35–40.
Azanella, L. A. (2021). Bom Gereja Katedral Makassar: Kronologi Kejadian, Keterangan Polisi, dan Sikap Presiden. Kompas.Com. https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/29/100000165/bomgerejakatedral-makassar-kronologi-kejadian-keterangan-polisi-dan-sikap?page=all.
AAzanella, Penulis : Luthfia Ayu%0AKurniawan, Editor : Rendika Ferri%0ACepat:, Download aplikasi Kompas.com untuk Azanella, L. A. 2018. “. (2018). Inilah Deretan Aksi Bom Bunuh Diri di Indonesia. Kompas.Com. https://nasional.kompas.com/read/2018/05/14/13533731/inilah-deretan-aksi-bom-bunuh-diridi-indonesia?page=all
Bagir, Z. A. (2018). Laporan CRCS: Alternatif Penanganan Masalah Penodaan Agama. Bogdan, R., & Biklen, S. K. (1998). Qualitative Research for Education An introduction to theories and methods (3rd ed.). Allyn and Bacon, Inc.
Budijanto, O. W., & Rahmanto, T. Y. (2021). Pencegahan Paham Radikalisme Melalui Optimalisasi Pendidikan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal HAM, 12(1), 57. https://doi.org/10.30641/ham.2021.12.57-74
Faela Nisa, Y. (2018). Gen Z: Kegalauan Identitas Keagamaan. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN.
Hakim, R. Y. (2020). Radikalisme Gaya Baru (Azzamfa & G. R. Abdillah (eds.)). Daulat Press Jakarta.
Herlina, N. (2017). Pendidikan Kewarganegaraan dan Pancasila untuk Membangun Karakter Bangsa