ACADEMICS.web.id – Salah satu permasalahan lain yang muncul dalam problematika politik adalah keikutsertaannya kaum hawa dalam berpolitik seperti perempuan menjadi anggota Parlemen atau perempuan menjadi pemimpin, dan lain sebagainya. Persoalan ini menjadi pertanyaan mengingat gerak dan aktivitas seorang perempuan yang secara tekstual memang lebih terbatas dan sempit dibandingkan dengan laki-laki. Batasan pergaulan dan pakaian di atur sedemikian rupa oleh islam sebagai bukti dan cara memuliakan wanita, bahkan jika wanita sudah menjadi istri jika hendak melakukan sesuatu haruslah mendapatkan izin dan restu dari suaminya.
Dalam literatur fiqih kontemporer dapat ditemukan dia kelompok yang merespon dan memberikan pandangan yang berbeda, sebagian pakar kontemporer seperti syeikh Yusuf Al Qardhawi, Musthafq Al Siba’i, dan Mahmud Saltut mengatakan bahwa keikutsertaan kaum wanita di bidang politik dapat di benarkan dalam islam dengan berbagai alasan yang mereka anggap cukup kuat. Seperti peristiwa mubahalah (sumpah antara 2 pihak untuk saling memohon dan berdoa kepada supaya Allah melaknati atau memberi azab pihak yang salah) yang melibatkan pria dan wanita dalam prosesnya. Sebagaimana mereka juga bersandar kepada apa yang terjadi pada peristiwa perjanjian Hudaibiyah dimana Rasullulah SAW meminta pendapat Ummu Salamah dalam menghadapi sesuatu yang di hadapi oleh Rasul, dan itu menggambarkan bahwa wanita pada saat tertentu justru pandangan dan usulannya sangat diperlukan, maka atas dasar itulah wanita diperbolehkan menggeluti bidang politik seperti menjadi anggota parlemen agar dapat mewarnai keputusan-keputusan yang memihak pada kepentingan kaum hawa.
Berbeda dengan kelompok kedua yang cenderung mengatakan bahwa wanita tidak dibolehkan ikut serta dalam urusan politik, seperti menjadi pemimpin dan sebagai anggota parlemen. Mereka bersandar kepada ayat 288 surat Al-Baqarah yang mengatakan bahwa “kaum laki-laki itu dilebihkan oleh Allah SWT daripada kaum wanita satu derajat”. Menurut mereka kelebihan satu derajat bagi kaum laki” tersebut adalah dalam persoalan politik dan kepemimpinan sehingga kaum wanita tidak pantas menggeluti hal tersebut. Disamping itu, merek juga berpegang kepada hadis yang mengatakan bahwa suatu kaum tidak akan beruntung jika urusan mereka di atur oleh wanita. Adapun alasan yang diungkapkan oleh kelompok pertama mereka tolak semua dengan alasan bahwa dalil mereka tidak tepat sasaran sebab keikutsertaan wanita yang dimaksud tidaklah berterkaitan secara langsung dengan persoalan politik dan ke pemimpin.
Jika dilihat dalam perspektif fiqih muwazanah, persoalan di atas memang tidak dapat dilarang secara mutlak sebagaimana tidak dapat pula di bolehkan secara mutlak, akan tetapi di perlukan nazhor maslahy ( analisa kemaslahatan ). Artinya seberapa besar kemaslahatan yang akan didapat dengan ikut sertanya wanita dalam berpolitik untuk kemudian di bandingkan dengan kemudharatan yang ditimbulkan. Apabila diyakini adanya kemaslahatan tersebut maka tidaklah salah memberikan tanggungjawab kepada seorang wanita seperti yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab ketika beliau mengangkat seorang wanita yang mengurus persoalan pasar dan wanita tersebut berhasil dalam mengawasi kecurangan-kecurangan yang terjadi di pasar dan ia bertindak atas nama khalifah. Fakta tersebut dapat dianalogikan pada keadaan sekarang seiring dengan perubahan zaman yang tidak mustahil memerlukan peran banyak wanita untuk berbagai peran politik dalam kehidupan sehingga keikutsertaan mereka dibutuhkan. Namun demikian memang harus selalu diingatkan dan di tekankan agar tetap mampu menjaga batasan agama dan etika dalam melaksanakan tugas dan fungsinya seperti pergaulan dan cara berpakaian serta niat yang lurus untuk berkontribusi positif dalam membela islam dan umatnya.@
Penulis:
Mahasiswi Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau