ACADEMICS.web.id – Mas kawin atau Mahar dalam Islam adalah harta yang diberikan oleh mempelai pria kepada wanita saat pernikahan. Mahar merupakan kewajiban yang wajib diserahkan suami kepada istrinya ketika akan menikah yang menjadi harta milik istri dan Hukum mahar adalah wajib, menurut kesepakatan para ulama merupakan salah satu syarat sahnya nikah
Seperti yang dijelaskan dalam al quran;
َآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Artinya : “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’ : 4)
Beberapa poin penting mengenai mas kawin atau mahar adalah sebagai berikut:
- Mahar dalam Islam adalah kewajiban yang wajib diserahkan suami kepada istrinya ketika akan menikah dan menjadi harta milik istri
- Mahar merupakan tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang Wanita
- Penentuan mengenai jumlah, bentuk, dan jenis mahar tidak diatur oleh hukum, sehingga tidak ada batasan jumlah mahar yang diberikan oleh calon suami dan bentuk serta jenis mahar tersebut didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak
- Mahar dapat berupa harta (materi) dengan berbagai bentuknya, manfaat yang akan kembali kepada sang wanita, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam
- Mahar tidak boleh diambil oleh orang tua, keluarga, atau suami, kecuali bila wanita tersebut telah merelakannya
- Islam menganjurkan agar meringankan mahar
- Mahar dapat berbentuk materi, manfaat, atau kebermanfaatannya kembali kepada istri
- Ada tiga bentuk mahar, yaitu mahar berbentuk materi, mahar yang dapat diambil manfaatnya, dan mahar yang kebermanfaatannya kembali kepada istri
- Mahar yang diserahkan sebelum akad nikah dilangsungkan sah-sah saja
- Suami tidak boleh mengambil atau menjual mahar tanpa sepengetahuan istri
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mahar dalam Islam adalah kewajiban yang wajib diserahkan suami kepada istrinya ketika akan menikah dan menjadi harta milik istri. Penentuan mengenai jumlah, bentuk, dan jenis mahar tidak diatur oleh hukum, sehingga tidak ada batasan jumlah mahar yang diberikan oleh calon suami dan bentuk serta jenis mahar tersebut didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak. Ada tiga bentuk mahar, yaitu mahar berbentuk materi, mahar yang dapat diambil manfaatnya, dan mahar yang kebermanfaatannya kembali kepada istri. Suami tidak boleh mengambil atau menjual mahar tanpa sepengetahuan istri.
Apa hukum zakat mahar istri?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama: mazhab Abu Hanifah mengatakan bahwa mahar istri tidak ada zakat padanya, kecuali jika wanita tersebut sudah me- nerimanya. Karena dia merupakan pengganti dari sesuatu yang bukan harta, maka tidak wajib zakat padanya sebelum diterima. Dan, ini merupakan pendapat yang diikuti oleh Malik.
Setelah mahar itu diterima, maka untuk wajib dizakati ada beberapa syarat.
(a) Mencapai nisab.
(b) Berlalu satu tahun.
(c) Jika wanita itu mempunyai nisab yang lain selain mahar, maka tatkala dia menerima selain mahar, maka tatkala dia menerima mahar langsung digabungkan ke nisab yang sudah ada dan dikeluarkan zakatnya berkait- an dengan haulnya.
Pendapat kedua: mazhab Syafi’i mengatakan bahwa seorang wanita wajib menzakati mahar- nya apabila sudah berlalu satu tahun, dan wajib mengeluarkannya dari keseluru-hannya di akhir haulnya walaupun belum terjadi jima’. Dan, tiada pengaruh bahwa mahar tersebut berpotensi un- tuk gugur dengan terjadinya fasakh, jika suami- nya murtad atau dengan sebab yang lainnya, atau dibayar separuhnya dengan terjadinya talak.
Pendapat ketiga: mazhab Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa mahar wanita berlaku sebagai utang, berlaku hukum utang padanya. Maka, jika mahar itu atas seorang hartawan, wajiblah zakat padanya jika sudah diterima dan harus ditunaikan pula tanggungan tahun-tahun yang sudah berlalu. Namun, jika mahar itu atas orang yang sulit atau membangkang, maka pilihan al-Khirqy (dari ulama mazhab Hanbali) ada kewajiban za- kat di dalamnya, tanpa membedakan sebelum jima’ atau sesudahnya.
Jika separuhnya telah gugur sebelum jima’ dengan terjadinya talak, dan dia menerima yang separuh, maka dia wajib mengeluarkan zakat apa yang telah diterimanya, dan tidak dari yang tidak diterimanya.
Begitu juga jika seluruh mahar itu gugur sebelum diterimanya dengan terjadinya fasakh karena sesuatu perkara dari pihaknya, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya.”
Dan, hati ini cenderung pada pendapat Malik dan Abu Hanifah karena lebih mendekati tujuan Pembuat syariat, wallahu a’lam.@
Penulis:
Mahasiswa Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau