ACADEMICS.web.id – Untuk memulai pemaparan masalah ini, maka yang perlu diperhatikan dan dipahami dengan baik adalah yang berkaitan dengan izin dalam menikah.
Izin tersebut ada dua macam, yaitu:, izin yang terletak pada hak laki – laki dan para wanita janda dengan menggunakan pelafazhan;dan , izin yang terletak pada hak para wanita perawan yang dimintai izin nikah lalu mereka menjawab dengan diam yang menunjukkan kerelaan mereka. Adapun penolakan dilakukan dengan pelafazhan. Tidak ada perbedaan dalam hal ini kecuali hanya yang diriwayatkan dari para pengikut Madzhab Syafi’i bahwa izin perawan adalah dengan ucapan jika yang menikahkan bukan ayah atau kakek. Tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa izin perawan boleh dengan diam berdasarkan sabda Rasulullah SAW. Yang artinya “الايم احق بنفسها من و ليها والبكر تستاء مر. في نفسها واذنها صماتها “
Yang artinya” , , “.
Para ulama bersepakat bahwa akad nikah dilakukan dengan lafazh”nikah”bagi orang yang izinnya harus menggunakan pelafazhan, dan boleh juga dengan lafazh “kawin” (tazwij). Para ulama berikhtilaf mengenai apakah nikah boleh menggunakan lafazh “hibah”, ” Jual”atau”shadaqah”.sekelompok orang membolehkannya, seperti pendapat imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Tetapi Imam Syafi’i menyatakan bahwa akad nikah hanya boleh menggunakan lafazh”nikah” atau “kawin” (tazwij).
Adapun mengenai para wanita yang kerelaannya diakui dalam pernikahan, para ulama bersepakat bahwa seorang janda baligh harus dimintai kerelaannya. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW” “. Kecuali yang diriwayatkan dari Hasan Bashri,,, para ulama berikhtilaf mengenai perawan yang baligh dan janda yang belum baligh, selama belum ada kerusakan padanya.
Berkenaan dengan perawan yang baligh, Imam Malik dan Imam Syafi’i dan Ibnu Abu Laila berpendapat ;hanya ayah yang boleh memaksanya untuk menikah. Imam Abu Hanifah,Ats – Tsauri, Al – Auza’i, Abu – Tsaur, dan sekelompok ulama berpendapat : harus dimintai kerelaannya. Imam Malik bersepakat dengan mereka mengenai perawan tua, menurut salah satu diantara dua pendapat darinya.
Sebab ikhtilaf, adanya pertentangan dalil khithab dalam hal ini, dengan keumumannya. Yaitu antara sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
لا تنجح اليتيمة ا لا باذ نه
” ;” Dengan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi,
تستاء مر اليتيمة في نفسها
” ; yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Yang dipahami dari hadist ini berdasarkan dalil Khithab adalah bahwa perempua yang memiliki ayah berbeda dengan perempuan yatim.
Sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadist masyhur dari Ibnu Abbas,
والبكر تستاء مر
” “.
Keumuman lafazh hadist ini mengharuskan setiap perawan untuk dimintai pendapat. Padahal keumuman lafazh lebih kuat daripada dalil Khithab. Sementara itu, Imam Muslim meriwayatkan sebuah tambahan dalam hadist dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
والبكر يستاء ذ نها ابو ها
” “.
Inilah yang menjadi letak perbedaan pendapat.
Adapun mengenai janda yang belum baligh, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat, ia boleh dipaksa untuk menikah oleh ayahnya. Imam Syafi’i berpendapat, ia tidak boleh dipaksa. Para ulama mutaakhirin menyatakan bahwa di dalam madzhab ini terdapat tiga pendapat: 1. Pendapat yang menyatakan bahwa ayah boleh memaksa si janda jika ia belum balihhsetelah perceraian terjadi. Ini ini adalah pendapat Asyhab; 2. Pendapat yang menyatakan bahwa ayah boleh memaksa si janda meski sudah baligh. Ini adalah pendapat Shahnun; 3. Pendapat yang menyatakan bahwa ayah tidak boleh memaksa si janda meski belum baligh, ini adalah pendapat Abu Tamam. Adapun apa yang kami riwayatkan dari Imam Malik adalah seperti yang diriwayatkan oleh ahli masalah Khilaf seperti Ibnu al – Qishar dan lainnya.
Sebab ikhtilaf, adanya pertentangan dalil Khithab dengan keumumannya. Yaitu ketika sabda Rasulullah SAW
تستاء مر اليتيمة في نفسها ولا تنكح اليتيمة الا باء ذنها
” , ;”
Dari hadist ini dipahami bahwa perempuan yang memiliki ayah tidak perlu dimintai pendapat, kecuali janda yang baligh sebagaimana yang disepakati oleh jumhur ulama.
Selain itu juga disebabkan keumuman sabda Rasulullah SAW
اثيب احق بنفسها من وليها
” ;yang mencakup semua janda, baik yang sudah baligh maupun yang belum baligh. Begitu juga sabda Rasulullah SAW
لا تنكح الايم حت تستاء مر ولا تنكح حت تستاء ذن
” , ;” Menunjukkan keumumannya, seperti pendapat Imam Asy – Sayafi’i.
Ikhtilaf para ulama dalam dua masalah ini juga disebabkan sebuah hal ini, yaitu:mengambil qiyas dari ijma. Itu terjadi karena ketika para ulama berijma’ bahwa ayah boleh memaksa anak perempuannya yang perawan belum baligh untuk menikah dan tidak boleh memaksa anak perempuannya yang janda sudah baligh, kecuali ada sebuah pendapat syadz yang menyimpang dari kedua pendapat ini, seperti yang sudah kami katakan.
Para ulama berikhtilaf mengenai apakah yang membolehkan dilakukannya pemaksaan itu”kondisi perawan “ataukah ” Kondisi belum baligh”?
Mereka menjawab :”kondisi belum baligh “, berpendapat bahwa perawan yang sudah baligh tidak boleh dipaksa menikah. Sedangkan mereka yang menjawab :” Kondisi perawan “, berpendapat bahwa perawan baligh boleh dipaksa menikah, tetapi janda yang belum baligh tidak boleh dipaksa.
Mereka yang berpendapat bahwa keduanya boleh dipaksa jika menyendiri, menyatakan :perawan baligh dan janda yang belum baligh boleh dipaksa menikah.
Adapun yang pertama adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Yang kedua adalah pendapat Imam Syafi’i. Yang ketiga pendapat Imam Malik. Adapun hukum asal masalah ini lebih membenarkan pendapat Imam Abu Hanifah.
Para ulama berikhtilaf mengenai kondisi janda yang menghilang di bolehkannya pemaksaan dan mewajibkan pengucapan baik atas kerelaan maupun atas penolakan. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa kondisi janda yang dimaksud di sini adalah yang terjadi melalui pernikahan yang benar, nikah syubhat, atau kepemilikan, bukan terjadi disebabkan perzinaan atau pemerkosaan. Imam Syafi’i berpendapat bahwa semua kondisi janda menghilangkan di bolehkannya pemaksaan.
Sebab ikhtilaf, apakah hukum yang berdasarkan sabda Rasulullah SAW” “, berhubungan dengan kondisi janda menurut syariat atau menurut bahasa?
Para ulama bersepakat bahwa ayah boleh memaksa anak perempuannya yang belum baligh untuk menikah. Begitu juga dengan anak perempuan perawan yang belum baligh, tanpa perlu meminta pendapat darinya, berdasarkan hadist yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menikahi Aisyah ketika usianya baru enam tahun atau tujuh tahun,. Dan beliau bercampur dengannya ketika ia berusia sembilan tahun;melalui pernikahan yang dilakukan Abu Bakar yang merupakan ayahnya. Kecuali perbedaan pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Syubrumah.
Para ulama berikhtilaf apakah perwalian merupakan syarat sah pernikahan ataukah bukan?
Imam Malik berpendapat bahwa pernikahan tidak sah tanpa wali. Perwalian adalah syarat sah nikah, sebagaimana diriwayatkan Ashab darinya.
Pendapat yang sama juga disampaikan Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Zu’far, dan Az – Zuhri mengatakan bahwa jika seorang perempuan melakukan akad pernikahannya tanpa wali, tetapi dengan suami sekufu, maka itu dibolehkan.
Daud membedaka antara perawan dan janda. Ia menyatakan bahwa wali menjadi syarat sah nikah bagi perawan, tetapi tidak menjadi syarat sah nikah bagi janda.
Dari riwayat Ibnu Al – Qosim dari Malik mengenai perwalian muncul pendapat keempat, yaitu bahwa wali adalah sunnah bukan wajib. Itu terjadi karena diriwayatkan darinya bahwa ia berpendapat adanya hak waris antara pasangan suami istri yang menikah tanpa wali, dan juga seorang wanita yang tidak terhormat boleh menunjuk seorang laki – laki manapun untuk menikahinya.
Tetapi mustahil jika janda mengajukan walinya untuk melakukan akad nikah atas dirinya. Jadi menurut nya seakan – akan wali adalah bagian dari syarat penyempurna bukan dari syarat nikah.
Ini berbeda dengan pernyataan para ulama Baghdad yang menjadi pengikut Imam Malik. Maksudnya, mereka berpendapat bahwa wali adalah syarat sah dan bukan syarat penyempurna.
Di antara dalil paling menonjol dalam hal ini yang dipakai oleh ulam yang menjadikan wali sebagai syarat sah nikah adalah firman Allah SWT
واذا طلقتم النساء فبلغن اجلهن فلا تعضلوهن ان ينكحن ازواجهن
” , , ( ) – … “(Al – Baqarah ;232)
Mereka menyatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada para wali, karena kalau mereka tidak memiliki hak perwalian, tentulah mereka tidak dilarang untuk menghalangi.
Adapun dalil yang dipakai ulama yang tidak menjadikan wali sebagai syarat sah nikah, yang berasal dari Al – Quran dan Sunnah, diantaranya adalah firman Allah SWT
فلا جناح عليكم فيما فعلن في انفسهن با لمعروف
” ( ) . ” (Al – Baqarah ;234).
Mereka menyatakan bahwa ini adalah dalil dibolehkannya perempuan untuk bertindak dalam akad atas dirinya sendiri. Mereka menyatakan bahwa perbuatan itu telah disandarkan kepada beberapa ayat yang lain. Allah SWT berfirman ” – – … ” (Al – Baqarah ;232). Dan Allah SWT berfirman ” . ” (Al – Baqarah ;230).
Sementara dari hadist mereka berhujah dengan hadist Ibnu Abbas yang disepakati keshahihannya;yaitu sabda Rasulullah SAW
الا يم احق بنفسها من وليها، والبكر تستاءمر في نفسها و اذ نها
” , , . “
Dengan hadist ini Daud berhujah atas pembedaan yang dilakukannya antara janda dan perawan dengan pengertian ini. Inilah naqli yang masyhur yang dijadikan hujah oleh kedua pihak.@
Penulis:
Mahasiswi Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau