PERSOALAN ANAK PUNGUT/ANGKAT DALAM ISLAM | Fais Ramadhan

Mahasiswa Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau

banner 468x60

ACADEMICS.web.id – Imam Al-Ghazali tidak secara khusus membahas konsep anak pungut dalam karyanya. Namun, dalam ajaran Islam, adopsi atau anak pungut diperbolehkan asalkan hukum-hukum Islam terpenuhi, seperti menjaga adab, perlakuan yang adil terhadap anak tersebut, dan menjaga hubungan dengan orang tua kandung anak tersebut. Pemahaman dan pendekatan terhadap anak pungut dapat bervariasi di antara ulama Islam, tetapi inti dari Islam adalah menjaga keadilan dan kasih sayang terhadap anak-anak tersebut, sebagaimana diatur dalam ajaran agama Islam.

Menurut Imam Asy-Syafi’i, seperti juga dalam ajaran Islam pada umumnya, anak pungut atau adopsi diperbolehkan, tetapi ada beberapa hukum yang perlu diperhatikan:

banner 336x280
  1. Nama dan Keturunan: Anak pungut tetap mempertahankan nama dan keturunan biologis mereka. Mereka tidak mengganti nama atau keturunan mereka dengan nama atau keturunan pengadopsi. Ini adalah prinsip penting dalam Islam untuk menjaga keaslian dan identitas keturunan.
  2. Perawatan dan Perlindungan: Orang yang mengadopsi harus memberikan perawatan dan perlindungan yang baik kepada anak pungut, sebagaimana yang diamanahkan oleh Islam.
  3. Mahram: Meskipun anak pungut tidak menjadi mahram (anggota keluarga yang terlarang menikah) secara otomatis terhadap orang yang mengadopsi mereka, mereka masih harus menjaga aturan tentang mahram dalam Islam. Ini berarti, misalnya, anak pungut laki-laki dan anak pungut perempuan tidak boleh hidup dalam satu rumah setelah mencapai usia baligh (dewasa).
  4. Warisan: Dalam hal warisan, anak pungut tidak memiliki hak warisan dari keluarga yang mengadopsi. Warisan tetap berdasarkan keturunan biologis.

Selain itu, ada perbedaan pendapat di antara ulama tentang detail-detail tertentu dalam masalah adopsi. Namun, inti dari ajaran Islam adalah menjaga adab, keadilan, dan perhatian terhadap anak pungut serta mematuhi prinsip-prinsip Islam yang mendasari perlakuan terhadap mereka.

Kebiasan mengadopsi anak adalah tradisi yang sudah ada sejak jaman Jahiliyah dan dibenarkan di awal kedatangan Islam1. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri melakukannya, ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadopsi Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus Allah Ta’ala sebagai nabi, kemudian Allah Ta’ala menurunkan larangan tentang perbuatan tersebut dalam firman-Nya,

{وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ}

“Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (QS al-Ahzaab: 4).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Sesungguhnya ayat ini turun (untuk menjelaskan) keadaan Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum diangkat sebagai Nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai anak, sampai-sampai dia dipanggil “Zaid bin Muhammad” (Zaid putranya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka Allah Ta’ala ingin memutuskan pengangkatan anak ini dan penisbatannya (kepada selain ayah kandungnya) dalam ayat ini, sebagaimana juga firman-Nya di pertengahan surah al-Ahzaab,

{مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا}

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al-Ahzaab: 40)”.

Ada beberapa hak dan hal yang mungkin tidak diberikan kepada anak angkat

  1. **Warisan**: Anak angkat biasanya tidak berhak atas warisan dari keluarga orang tua angkatnya seperti anak kandung.
  2. **Nasab dan Keturunan**: Anak angkat tidak memiliki hubungan darah atau nasab dengan orang tua angkatnya. Ini berarti dia tidak akan memiliki hubungan keluarga darah dengan saudara-saudara orang tua angkatnya.
  3. *Nama Keluarga**: Anak angkat biasanya mempertahankan nama keluarga orang tua kandungnya, bukan nama keluarga orang tua angkatnya.
  4. **Hak Keuangan**: Anak angkat mungkin tidak memiliki hak legal untuk menerima dukungan finansial atau warisan dari orang tua angkatnya, kecuali ada perjanjian khusus atau hukum yang mengatur hal ini.
  5. **Hubungan Darah dan Kesehatan**: Anak angkat mungkin tidak memiliki akses ke informasi tentang sejarah kesehatan keluarga darahnya, yang bisa menjadi informasi penting untuk masalah kesehatan genetik.
  6. **Hubungan Emosional**: Meskipun orang tua angkat dapat merawat anak angkat dengan kasih sayang dan cinta, anak angkat mungkin tetap merasa perlu untuk mengetahui tentang orang tua kandungnya dan bisa mengalami perasaan terkait identitas dan keingintahuan tentang asal-usulnya

Penting untuk dicatat bahwa hukum dan hak anak angkat dapat bervariasi berdasarkan yurisdiksi hukum dan perjanjian yang mungkin ada antara orang tua angkat dan anak angkat. Ini juga dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan agama dalam masyarakat tertentu.

Larangan yang berkaitan dengan anak angkat atau anak pungut dapat berasal dari berbagai sumber dalam ajaran Islam, terutama dari hadis Nabi Muhammad SAW dan interpretasi para ulama. Namun, dalam Islam, konsep dan hukum mengenai anak angkat adalah kompleks dan dapat bervariasi dalam berbagai mazhab (aliran) Islam. Ada perbedaan pendapat antara para ulama tentang apakah anak angkat memiliki status yang sama dengan anak kandung atau tidak.

Sebagai contoh, dalam beberapa mazhab, seperti Mazhab Maliki dan Hanbali, anak angkat dianggap tetap memiliki hak-hak tertentu dan hubungan keluarga tertentu. Namun, dalam beberapa kasus, ada anjuran untuk menjaga transparansi tentang asal-usul anak angkat.

Penting untuk diingat bahwa praktek dan pandangan mengenai anak angkat dapat bervariasi di berbagai komunitas Muslim dan budaya. Oleh karena itu, jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang pandangan dan hukum spesifik dalam konteks tertentu, disarankan untuk berkonsultasi dengan seorang ulama atau pakar hukum Islam yang dapat memberikan pandangan yang lebih rinci dan sesuai dengan mazhab atau pandangan tertentu.@

Penulis:

Fais Ramadhan:
Mahasiswa Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau
banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *