ACADEMICS.web.id – Kemunculan filsafat Islam merupakan hasil dari proses dan gerakan penterjemahan naskah ilmiah karya non-muslim ke dalam Bahasa Arab. Proses serta pergerakan penterjemahan ini sudah kita bicarakan pada pertemuan sebelum ini.
Akibat dari gerakan besar-besaran penterjemahan buku-buku ilmiah Yunani, India, dll, lahirlah filsuf-filsuf muslim di berbagai Kawasan Islam. Di belahan dunia Timur Islam, filsuf itu berpusat di Bagdad dan ini merupakan kemunculan yang pertama. Lalu kemudian muncul selanjutnya di belahan dunia Barat Islam, yang berpusat di Cordoba, Spanyol.
Pengkajian, pembelajaran dan pendidikan yang massif dari buku-buku non-muslim tersebut, yang merupakan warisan dari peradaban bangsa-bangsa kuno itu, mengakibatkan munculnya 3 kelompok ilmuwan di kalangan sarjana muslim: 1) Kelompok yang memusatkan perhatiannya pada cabang-cabang ilmu pengetahuan saja yang disebut dengan ilmuwan. 2) kelompok yang selain mengkaji dan mengembangkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, juga memusatkan perhatian pada bidang filsafat, mereka disebut dengan filsuf. 3) kelompok yang berupaya mengembangkan cabang-cabang ilmu pengetahuan dan filsafat untuk keperluan beragama (baca: berteologi), mereka ini disebut dengan para teolog.
Sebagaimana yang tadi diungkapkan bahwa yang pertama kali melahirkan filsuf dari sarjana muslim adalah dunia Islam bagian timur yang berpusat di Bagdad. Baru kemudian 3 abad setelahnya, lahirlah para filsuf di kalangan sarjana muslim di belahan dunia Islam bagian Barat, yang berpusat di Cordoba, spanyol.
Keterlambatan dunia bagian Barat terjadi karena buku-buku yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab baru masuk ke dunia Islam Barat pada pertengahan abad 10-11 masehi.
Para filsuf muslim sangat menghargai filsafat Yunani sejauh tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam. Contohnya bisa dalam filsagat Aristoteles Tuhan dipahami sebagai penggerak pertama bagi gerakan alam materi, maka dalam filsafat Islam, Tuhan dipahami sebagai pencipta alam semesta.
Contoh lain, jika di dalam ajaran Aristoteles, Tuhan dipahami sebagai wujud yang hanya mengetahui diriNya sendiri, maka dalam filsafat islam, Tuhan di pahami tidak hanya mengetahui diriNya sendiri namun Tuhan mengetahui segenap alam yang diciptakanNya.
Bila dalam epistimologi Yunani tidak ada pemikiran tentang wahyu atau kenabian, maka dalam filsafat Islam, dapat dijumpai kajian tentang potensi kudus yang hanya dimiliki oleh para nabi.
Jika dalam fisalat Yunani didapati paham hancurnya jiwa manusia bersama hancurnya badan, seperti dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus, maka dalam filsafat Islam tidak.
Jadi, filsafat Klasik Islam bukanlah sekedar filsafat Yunani yang diberi baju Islam namun filsafat Yunani mengalami pengembangan atau islamisasi di tangan para sarjana/filsuf muslim.
Namun, muncul juga kecurigaan kalangan sebagaian ulama hadist, fikih, usuluddin dll terhadap para filsuf muslim tersebut. Filsuf muslim dicurigai lebih mementingkan filsafat dari pada ajaran Islam, bahkan dicurigai sebagai kaum yang lebih percaya kepada akal daripada kepada wahyu. Imam Alghazali (wafat 1111 masehi) yang pada awalnya membela para filsuf muslim pada akhirnya juga ikut mencurigai mereka.
FILSUF MUSLIM BAGIAN DUNIA TIMUR
Al-Kindi (796-873 Masehi)
Filsuf muslim pertama yang terkenal adalah ABU YUSUF YA’KUB BIN ISHAQ AL-KINDI. Ia adalah keturunan bangsawan Arab dari suku Kindah. Ia terlibat dalam gerakan penterjemahan banyak naskah ilmu pengetahuan dan filsafat untuk disimpan di perpustakaan pribadinya, perpustakaan al-Kindiyyah.
Jumlah karya tulisnya 241 buah buku (risalah) dalam bidang filsafat, logika, psikologi, astronomi, kedokteran, kimia, matematika, politik, optic dll. Namun sayang sekali karena banyak yang hilang dan lenyak. Hingga akhirnya ditemukan 25 buah bukunya yang dijadikan 2 jilid. Jilid pertama diterbitkan tahun 1950 dan jilid ke dua diterbtikan tahun 1953 di Kairo. Dibikin judul baru Rasa’il al-Kindi al’Falsafiyyah.
Alkindi dijuluki dengan sebutan filsuf arab karena dia satu-satunya filsuf muslim yang murni berdarah arab.
Salah satu pemikiran filsafat Alkindi yang paling kontroversial adalah pendapatnya tentang keabadian alam semesta. Alkindi berpendapat bahwa alam semesta abadi dan tidak memiliki awal atau akhir. Pendapat ini bertentangan dengan keyakinan mayoritas orang Islam pada masa itu, yang percaya bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan akan berakhir pada suatu saat.
Argumentasi filosofis mendukung pendapat Alkindi tentang keabadian alam semesta. Ia berpendapat bahwa Tuhan adalah sesuatu yang tidak dapat berubah dan sempurna, jadi jika alam semesta diciptakan oleh Tuhan, maka Tuhan harus berubah setelah alam semesta diciptakan. Ini tidak mungkin terjadi karena Tuhan adalah sesuatu yang sempurna.
Beberapa ulama Muslim menentang pendapat Alkindi tentang keabadian alam semesta karena mereka menganggapnya bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an yang menyatakan bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan akan berakhir pada suatu hari.
Meskipun pendapat Alkindi tentang keabadian alam semesta kontroversial, pendapat ini sangat berpengaruh pada kemajuan filsafat Islam. Para filsuf Islam seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina menggunakan pandangan ini sebagai dasar untuk membangun teori-teori mereka tentang alam semesta.
Untuk mendukung pendapat Alkindi tentang keabadian alam semesta, dia menggunakan beberapa argumen berikut: Tuhan adalah wujud yang sempurna dan tidak dapat berubah; jika alam semesta diciptakan oleh Tuhan, maka Tuhan harus berubah setelah alam semesta diciptakan; hal ini tidak mungkin terjadi karena Tuhan adalah wujud yang sempurna; Alam semesta adalah sesuatu yang ada, yang tidak mungkin muncul dari ketiadaan, jadi tidak mungkin diciptakan dari ketiadaan; Alam semesta juga adalah sesuatu yang tertib, yang tidak mungkin muncul dari kekacauan, jadi tidak mungkin muncul dari kekacauan.
Hingga hari ini, keyakinan Alkindi tentang keabadian alam semesta masih menjadi subjek perdebatan. Pandangan ini, bagaimanapun, memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan pemikiran dan filsafat Islam.
Ar-Razi (864-925 Masehi)
Setelah Alkindi, muncullah ABU BAKAR MUHAMMAD BIN ZAKARIA AR-RAZI. Ia adalah dokter terbesar yang dilahirkan dunia Islam zaman klasik. Ia pernah menjadi direktur rumahsakit Rayy dan pernah pula menjadi direktur rumah sakit Bagdad.
Karya ilmiah nya berjumlah 232 buku/risalah yang kebanyakan dalam bidang kedokteran. Karyanya yang terbesar adalah al-Hawi (himpunan). Ini merupakan sebuah ensiklopedi kedokterran yang terdiri dari 20 jilid. Ensiklopedi tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin tahun 1279 dan sejak tahun 1486 di pakai di universitas eropa sampai saat ini.
Karyanya tentang campak dan cacar (fil juudari wal hasbah) di terjemahkan ke Bahasa Latin berpuluh-puluh kali. Terlebih tatkala eropa diserang oleh wabah campak dan cacar pada abad pertengahan dulu. Pada abad ke-14, wabah cacar untuk kesekian kali menyerang Eropa. Wabah ini dikenal sebagai “Wabah Hitam” dan menyebabkan kematian sekitar 25 juta orang di Eropa (60% populasi rakyat eropa saat itu, untuk lebih jelas tentang peristiwa ini, silahkan browsing di internet dengan kata kunci BLACK DEATH). Wabah cacar ini juga menyebabkan kematian banyak orang di negara-negara Eropa lainnya. Pada abad ke-16, wabah campak untuk kesekian kali menyerang Eropa. Wabah ini menyebar dengan cepat dan menyebabkan kematian sekitar 400.000 orang di Inggris. Wabah campak ini juga menyebabkan kematian banyak orang di negara-negara Eropa lainnya. Buku Ar-Razi menjadi rujukan untuk melepaskan eropa dari wabah-wabah tersebut.
Namun, karyanya dalam bidang filsafat belum dijumpai hingga saat ini karena diperkirakan bahwa karya filsafat beliau dilenyapkan oleh lawan-lawannya yang telah menuduhnya sebagai seorang yang mulhid (memyimpang dari ajaran islam).
Al-Farabi (872-950 Masehi)
Setelah ar-Razi, muncullah ABU NASR MUHAMMAD BIN MUHAMMAD BIN UZLAGH BIN TURKHAN AL-FARABI. Sejarawan banyak menulis bahwa ia keturunan Turki tapia da juga yang menyebutkan ayahnya adalah seorang jenderal perang asal Persia. Ia lahir di Asia Tengah, Samarkhand.
Gelar kehormatan al-Farabi adalah GURU KEDUA. Orang-orang menganggap bahwa guru pertama adalah Aristoteles. Maka gelar guru kedua disematkan kepadanya sebagai penghormatan dan pengakuan bahwa beliau adalah tokoh paling terkemuka setelah Aristoteles di bidang logika. Bahkan berkat tulisannya, Ibnu Sina akhinrya dapat mengatasi kesulitan yang ia dapati dalam memahami metafisika Aristoteles.
Al-farabi mengembangkan teori tentang negara ideal, yang disebutnya sebagai “Madinah al-Fadilah” (Kota yang Sempurna). Teori ini adalah kontribusi penting dalam sejarah pemikiran politik Islam dan memiliki pengaruh yang cukup besar pada pemikiran politik dan filosofi di dunia Islam.
Al-Farabi percaya bahwa tujuan Madinah al-Fadilah adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera yang memungkinkan individu mengembangkan potensi intelektual dan moral mereka secara maksimal. Inilah konsep dasar filsafat politik Farabi yang bersifat utopis dan negara merupakan pengatur dan penyelenggara utama kehidupan bermasyarakat.
Al-Farabi percaya bahwa Madinah al-Fadilah harus memiliki pemerintahan yang bijaksana dan adil. Pemimpin negara ideal ini, yang dikenal sebagai “Raja-Filosof” atau “Hakim-Filosof”, haruslah seorang filsuf yang bijaksana dan bermoral. Para filosof ini akan memahami prinsip-prinsip moral dan ilmiah dan mereka akan memimpin secara bijaksana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Al-Farabi menekankan pentingnya hukum dan keadilan di Madinah al-Fadilah. Hukum harus didasarkan pada nilai-nilai moral universal dan harus diterapkan secara adil kepada seluruh warga negara. Undang-undang tidak hanya mengatur hubungan antar individu, tetapi juga mengatur hubungan antara individu dan negara.
Filsuf-hakim yang mendirikan Medina al-Fadilah harus memimpin dengan memberi contoh dan menaati etika. Mereka akan menggunakan pengetahuan filosofis dan ilmiah untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi masyarakat. Farabi percaya bahwa pemimpin yang bijaksana harus melayani komunitasnya dan tidak mencari keuntungan pribadi.
Al-Farabi menganggap pendidikan sebagai sarana utama terciptanya Madinah al-Fadilah. Pendidikan harus mencakup pelatihan moral, etika dan intelektual untuk menghasilkan warga negara yang bijaksana dan bertanggung jawab. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan individu yang dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik dan sosial.
Al-Farabi mendorong toleransi dan keberagaman beragama di Madinah Al-Fadilah. Ia percaya bahwa warga negara harus diizinkan untuk menjalankan agama mereka sendiri dan bahwa negara harus menghormati keragaman budaya dan agama.
Al-Ghazali (1058 – 1111 Masehi)
Kemudian, muncul pula Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’I yang lebih dikenal dengan nama IMAM AL-GHAZALI. Al-Ghazali adalah seorang filosof, teolog, dan sufi Muslim yang hidup pada abad ke-11 dan ke-12. Lahir di Tus, Iran, ia belajar filsafat, teologi dan tasawuf di bawah bimbingan guru-guru terkenal.
Al-Ghazali dianggap sebagai salah satu filsuf Muslim paling berpengaruh sepanjang masa. Ia banyak menulis karya penting di berbagai bidang filsafat, termasuk logika, metafisika, etika, dan teologi.
Al-Ghazali mempunyai kedudukan yang unik dalam sejarah filsafat Islam. Ia adalah seorang kritikus keras terhadap filsafat Yunani, namun ia juga seorang pemikir yang orisinal dan kreatif. Ia berusaha mendamaikan filsafat dan agama, dengan alasan bahwa keduanya dapat saling melengkapi.
Al-Ghazali mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Ide-idenya juga memberikan pengaruh besar terhadap filsuf Barat seperti Thomas Aquinas dan René Descartes.
Beberapa posisi terpenting al-Ghazali dalam filsafat Islam:
Pembaru: Ghazali dikenal sebagai pembaharu filsafat Islam. Ia mengkritik filsafat Yunani yang saat itu sangat populer di dunia Islam, dan berusaha mengembangkan filsafat yang lebih orisinal dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Pembawa Perdamaian: Ghazali berupaya mendamaikan filsafat dan agama. Ia percaya bahwa keduanya dapat saling melengkapi dan berusaha menunjukkan bahwa filsafat dapat digunakan untuk meningkatkan keimanan.
Sufi: Ghazali juga seorang sufi terkenal. Ia menulis banyak buku tentang tasawuf, yang diyakininya sebagai cara terbaik untuk mencapai kebenaran.
FILSUF MUSLIM BAGIAN DUNIA BARAT
Ibnu Bajjah (1095-1138)
Ibnu Bajjah (Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin ash-Shayigh at-Tujibi bin Bajjah) dikenal sebagai “Avempace” di dunia Barat. Ia adalah seorang filsuf dan ilmuwan yang mengembangkan teori tentang jiwa yang berpengaruh.
Ibnu Bajjah adalah seorang filsuf dan ilmuwan Muslim yang hidup pada abad ke-12. Ia lahir di Zaragoza, Spanyol dan meninggal di Fez, Maroko. Ibnu Baja adalah salah satu filsuf Muslim terkemuka pada masanya, dan ia mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Kekhususan Ibnu Bajjah antara lain:
Ia adalah seorang polimatik yang fasih dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, termasuk filsafat, logika, matematika, astronomi, dan musik. Ibnu Bajjah adalah orang yang sangat berbakat dan memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang tersebut.
Dia adalah seorang filsuf orisinal dan kreatif. Ibnu Bajjah tidak hanya mengulangi apa yang dikatakan pendahulunya. Dia mengembangkan ide-ide unik dan orisinalnya sendiri.
Dia adalah seorang pemikir yang kritis dan bebas. Ibnu Bajjah tidak segan-segan mengkritik gagasan para filosof terdahulu, termasuk para filosof Yunani yang sangat disegani.
Salah satu sumbangan Ibnu Bajjah yang sangat sifnifikan adalah teorinya tentang jiwa. Ibnu Bajjah berpendapat bahwa jiwa adalah substansi yang terpisah dari batang tubuh. Jiwa adalah entitas yang abadi, dan ia akan terus hidup setelah tubuh itu mati. Teori Ibnu Bajjah tentang jiwa tersebut berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan filsafat dan teologi di dunia Islam.
Berikut adalah beberapa karya Ibnu Bajjah yang paling terkenal:
Tadbir al-Mutawahhid (Pemerintahan Sang Penyendiri): Karya ini membahas tentang bagaimana seorang filsuf dapat mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan secara spiritual.
Risalat al-Ittisal (Risalah tentang Hubungan): Karya ini membahas tentang hubungan antara jiwa manusia dengan Tuhan.
Risalat al-Wada’ (Risalah Perpisahan): Karya ini membahas tentang kematian dan kehidupan setelah kematian.
Kitab al-Nafs (Buku tentang Jiwa): Karya ini membahas tentang teori Ibnu Bajjah tentang jiwa.
Karya-karya Ibnu Bajjah telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Latin, Spanyol, dan Inggris. Karya-karyanya masih dipelajari dan didiskusikan hingga saat ini, dan ia tetap menjadi salah satu tokoh paling penting dalam sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan Islam.
Ibnu Thufail (1105-1185)
Ibnu Thufail memiliki nama lengkap Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul Malik bin Muhammad bin Thufail al-Qaisi al-Andalus. Ibnu Thufail juga dikenal sebagai “Abubacer” di dunia Barat, adalah seorang filsuf dan penulis Muslim yang hidup pada abad ke-12. Ia lahir di Wadi Ash, Spanyol, dan ia meninggal di Marrakesh, Maroko. Ibnu Thufail adalah salah satu filsuf Muslim paling terkemuka pada masanya, dan ia memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Ia menjabat sekretaris untuk penguasa Granada, dan kemudian sebagai wazir dan dokter untuk Abu Ya’qub Yusuf, penguasa Spanyol Islam (Al-Andalus) di bawah pemerintahan Muwahhidun, pada yang mana ia menganjurkan Ibnu Rusyd sebagai penggantinya sendiri saat ia beristirahat pada 1182.
Karya Ibnu Thufail yang paling terkenal adalah novel filosofisnya, Hayy ibn Yaqzan. Novel ini menceritakan kisah seorang anak laki-laki yang dibesarkan di pulau terpencil tanpa kontak dengan manusia lain. Anak laki-laki ini, yang diberi nama Hayy ibn Yaqzan, menemukan segala sesuatu yang ia butuhkan untuk bertahan hidup di pulau tersebut, termasuk makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Ia juga belajar tentang berbagai ilmu pengetahuan, seperti astronomi, matematika, dan filsafat, melalui pengamatan dan penalarannya sendiri.
Novel Hayy ibn Yaqzan memiliki makna filosofis yang mendalam. Novel ini membahas tentang berbagai topik, termasuk asal usul manusia, sifat Tuhan, dan hubungan antara akal dan agama. Novel ini juga membahas tentang proses pendidikan dan bagaimana manusia dapat mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan spiritual.
Hayy ibn Yaqzan memiliki pengaruh yang signifikan pada filsuf René Descartes. Buku ini memberikan dasar bagi gagasannya tentang metode keragu-raguan dan pemisahan tubuh dan pikiran dalam pemikirannya. Descartes mengacu pada kisah Hayy sebagai contoh orang yang mencapai pengetahuan dengan meragukan semua yang ada, yang memengaruhi konsepnya tentang metode keragu-raguan.
Ibnu Rusyd (1126-1198)
Nama lengkapnya Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd, sering dilatinkan sebagai Averroes, adalah seorang filsuf dan pemikir dari Al-Andalus yang menulis dalam bidang disiplin ilmu, termasuk filsafat, akidah atau teologi Islam, kedokteran, astronomi, fisika, fikih atau hukum Islam, dan linguistik. Karya-karya filsafatnya termasuk banyak tafsir, parafrase, dan ringkasan karya-karya Aristoteles, yang membuatnya dijuluki oleh dunia barat sebagai “Sang Penafsir” (Bahasa Inggris: The Commentator). Ibnu Rusyd menulis tafsir atau uraian pada hampir semua karya Aristoteles yang ada pada masa hidupnya. Yang tidak ia tulis tafsirnya hanya Politika, karena ia tidak bisa mendapatkan buku tersebut, dan ia menggantinya dengan menulis tafsir buku Republik karya Plato. Ibnu Rusyd juga semasa hidupnya mengabdi sebagai hakim dan dokter istana untuk Kekhalifahan Muwahhidun.
Ibnu Rusyd lahir di Kordoba dari keluarga yang notabene melahirkan hakim-hakim terkenal; kakeknya merupakan qadhi al-qudhat (hakim kepala) dan ahli hukum terkenal di kota itu. Pada tahun 1169 ia bertemu dengan khalifah Abu Yaqub Yusuf, yang kagum dengan pengetahuan Ibnu Rusyd. Sang khalifah kemudian mendukung Ibnu Rusyd dan banyak karya Ibnu Rusyd adalah proyek yang ditugaskannya. Beberapa kali Ibnu Rusyd menjabat sebagai hakim di Sevilla dan Kordoba. Pada 1182, ia diangkat sebagai dokter istana dan hakim kepala di Kordoba. Setelah wafatnya Abu Yusuf pada tahun 1184, ia masih berhubungan baik dengan istana, hingga 1195 saat dia dikenai berbagai tuduhan dengan motif politik. Pengadilan memutuskan bahwa ajarannya sesat dan Ibnu Rusyd diasingkan ke Lucena. Setelah beberapa tahun di pengasingan, istana memanggilnya bertugas kembali, tetapi tidak berlangsung lama karena Ibnu Rusyd kemudian wafat.
Ibnu Rusyd adalah pendukung ajaran filsafat Aristoteles sejati (Aristotelianisme). Ia berusaha mengembalikan filsafat dunia Islam ke ajaran Aristoteles yang asli. Ia mengkritik corak Neoplatonisme yang terdapat pada filsafat pemikir-pemikir Islam sebelumnya seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, yang ia anggap menyimpang dari filsafat Aristoteles. Ia membela kegiatan berfilsafat dari kritik yang dilancarkan para ulama Asy’ariyah seperti Al-Ghazali. Ibnu Rusyd berkeyakinan bahwa dalam agama Islam berfilsafat hukumnya boleh, bahkan bisa jadi wajib untuk kalangan tertentu. Ia juga berpendapat bahwa teks Quran dan Hadis dapat diinterpretasikan secara tersirat atau kiasan jika teks tersebut terlihat bertentangan dengan kesimpulan yang ditemukan melalui logika dan filsafat. Dalam bidang fikih, ia menulis Bidayatul Mujtahid yang membahas perbedaan mazhab dalam hukum Islam. Dalam kedokteran, ia menghasilkan gagagan baru mengenai fungsi retina dalam penglihatan, penyebab strok, dan gejala-gejala penyakit Parkinson, serta menulis buku yang kelak diterjemahkan menjadi sebuah buku teks standar di Eropa.
Pengaruh Ibn Rusyd terhadap dunia Barat jauh lebih besar dibandingkan dengan dunia Islam. Ibn Rusyd banyak menulis komentar atas karya Aristoteles, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani dan Latin dan diedarkan di Eropa. Penerjemahan karya Ibn Rusyd mendorong para pemikir Eropa Barat untuk memperbarui kajian mereka terhadap karya-karya Aristoteles dan pemikir Yunani lainnya, yang telah lama terbengkalai setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi. Pandangan Ibn Rusyd juga menimbulkan kontroversi di dunia Kristen Latin dan mengilhami gerakan filosofis yang disebut Averoisme. Salah satu doktrinnya yang paling kontroversial di dunia Barat adalah apa yang disebut teori “kesatuan akal” (bahasa Latin unitas intellectus), yang menyatakan bahwa semua manusia memiliki satu akal atau “kecerdasan”. Karya-karyanya dinyatakan sesat oleh Gereja Katolik Roma pada tahun 1270 dan 1277, dan pemikir Kristen Thomas Aquinas juga mengkritik tajam ajaran Ibn Rusyd. Sekalipun demikian, Averroisme tetap memiliki pengikut di dunia Barat hingga abad ke-16.@
Prepared by Sofiandi