ACADEMICS.web.id – Jual-beli dalam fikih muamalah disebut dengan terma BAI’ yang artinya secara etimologi ialah menerima sesuatu dan memberikan sesuatu yang lain, misalnya saya menerima sesuatu lalu saya memberikan anda sesuatu yang lain. Adapun secara terminologi (istilahan), bai’ mengandung makna praktek saling bertukaran harta dengan tujuan untuk memiliki. Ketika sebuah transaksi jual-beli sudah terjadi dengan adanya penerimaan barang oleh pembeli dan sah secara hukum, maka sah pula peralihan kepemilikan dari penjual menjadi miliknya pembeli.
Penerimaan barang dalam terma bai’ disebut dengan QABD. Namun yang mesti dipahami bahwa transaksi jual-beli yang sah akan berdampak kepada peralihan hak kepemilikan barang sekalipun belum terjadi qabd (penerimaan barang). Pada intinya, akad terjadi dan itu cukup membuat terjadinya peralihan kepemilikan barang. Disini, dapat dipahami bahwa akad (transaksi) lah yang menyebabkan terjadinya peralihan kepemilikan sehingga pemilik yang baru bisa memanfaatkan barang yang baru dimiliknya itu. Adapun qabd hanya sekedar prosesi penerimaan barang saja.
DASAR HUKUM
Hukum asal bai’ (jual-beli) adalah mubah. Namun seiring dengan pengaruh faktor lain seperti situasi dan kondisi yang berdasarkan asas maslahat, hukum asal yang mubah tadi bisa berubah menjadi wajib, haram, sunat dan juga makruh.
Adapun dalil yang terkait dengan hukum asal jual-beli bisa ditemukan dalam Alquran, Hadist, Ijma dan logika yang dikemukakan oleh alim ulama, antara lain:
- Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 275 yang artinya: “… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
- Sabda Nabi SAW yang artinya: “Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (pilihan untuk meneruskan atau membatalkan akad jual-beli) selama mereka belum berpisah” HR. Bukhari-Muslim.
- Sejak dulu hingga sekarang seluruh ulama sepakat bahwa jual-beli hukumnya mubah. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana bahwa seluruh ulama sepakat membolehkan praktek jual-beli.
- Ulama juga mengemukakan logika berpikir yang jelas bahwa manusia, sebagai makhluk social yang tidak bisa hidup sendiri, pasti membutuhkan benda/barang/dll yang dia tidak miliki tapi dimiliki oleh orang lain. Sehingga cara untuk meraih itu adalah dengan melakukan praktek jual-beli.
RUKUN JUAL-BELI
Ada 3 rukun jual-beli:
- Adanya penjual dan pembeli (pelaku transaksi)
- Adanya harga dan barang (objek transaksi)
- Akad (transaksi), apakah dalam bentuk perkataan atau perbuatan. Intinya adalah perkataan atau perbuatan kedua belah pihak yang menunjukkan bahwa mereka sedang melakukan transaksi.
Terkait dengan akad ini, ada 2 jenis akad:
- Akad dengan perkataan (Ijab-qobul) Ijab dengan kata-kata misalnya “saya menjual barang ini dengan harga sekian-sekian” dan qobul dengan kata-kata misalnya “saya terima/beli barang ini”.
- Akad dengan perbuatan (mu’athah). Contohnya pembeli memberi sejumlah uang sesuai dengan harga barang kepada penjual lalu mengambil barang tersebut dengan tanpa kata-kata dari keduanya. Ini yang biasa kita lakukan sehari-hari
SYARAT SAH JUAL-BELI:
Jual-beli dihukumi tidak sah (tidak legal) jika tidak memenuhi 7 syarat berikut ini:
- Saling rela, suka sama suka, saling setuju dan tidak ada paksaan. Jika seseorang dipaksa dengan cara yang tidak dibenarkan oleh Islam untuk menjual barang yang dia miliki, maka transaksi tersebut batal. Demikian jugan sebaliknya jika pembeli yang dipaksa untuk membeli. Transaksi tidak sah dan otomatis batal. Namun, jika seseorang dipaksa melakukan transaksi jual-beli atas dasar hukum, misalnya, keputusan hakim mengharuskan dia untuk menjual harta yang dimiliki untuk pelunasan beban hutang, maka transaksi ini sah.
- Pelaku transaksi adalah orang yang telah baligh, berakal dan mengerti cara berjual dan berbeli. Maka kebalikan dari ini semua, maka tidak sah transaksi jual-beli, KECUALI dengan izin walinya. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (An-Nisa: 5).
Anak kecil dikecualikan dalam hal ini, dia boleh melakukan transaksi jual-beli yang bernilai rendah seperti membeli permen.
- Barang yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh kedua belah pihak. Oleh karena itu, tidak sah hukumnya transaksi jual-beli barang yang belum dimiliki tanpa seizing pemiliknya. Dalam istilah fikih muamalah, transaksi ini disebut dengan TASHARRUF FUDHULI. Nabi SAW bersabda: “Jangan engkau jual barang yang bukan milikmu”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
- Objek transaksi (barang yang diperjual-belikan) harus objek yang halal. Berdasarkan hadist Nabi SAW: “Sesungguhnya Allah jika sudah mengharamkan sesuatu barang maka otomatis juga mengharamkan nilai jual barang tersebut”. (HR. Ahmad)
- Objek transaksi adalah barang yang bisa diserahterimakan. Haram menjual mobil hilang, burung diangkasa dll karena tidak mungkin dapat diserahterimakan.
- Objek transaksi juga harus yang diketahui kedua belah pihak saat akad. Haram menjual barang yang tidak jelas. Misalnya: Penjual berkata, “Aku jual motor kepadamu” dan dijawab oleh pembeli, “aku terima” sedangkan pada saat itu belum tampak dan belum diketahui spesifikasi mobil tersebut. Oleh karena itu, objek transaksi dianggap dapat diketahui dengan cara (1) barang dilihat langsung pada saat akad atau beberapa saat sebelumnya yang diperkirakan barang tersebut tidak berubah dalam jangka waktu itu. (2) spesifikasi barang dijelaskan dengan sejelas-jelasnya, seakan-akan pembeli, saat mendengar penjelasan penjual, melihat jelas barang tersebut.
- Harga harus jelas saat transaksi. Tidak boleh terjadi sebuah transaksi yang harganya tidak jelas dan belum disepakati.
KONSEKWENSI QABD
- Kewenangan menggunakan barang, termasuk menjual kembali barang yang baru dimiliknya tersebut. Maka, tidak sah hukumnya jual-beli suatu barang yang belum terjadi qabd atas barang tersebut. Nabi bersabda: “Barang siapa membeli makanan maka jangan dijual sebelum terjadi serah terima barang”. (HR. Bukhari-Muslim)
- Permindahan tanggung jawab dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Jika objek transaksi hilang setelah terjadi transaksi jual-beli tapi belum terjadi qabd maka barang yang hilang tersebut berada dalam tanggungan pihak penjual karena barang masih dalam jaminannya kecuali sebab hilangnya oleh si pembeli. Ada pengecualian dari terori di atas, bahwa jika penjual sudah bermaksud menyerahkan barang transaksi kepada pembeli namun pembeli mengulur-ulur waktu sehingga kemudian barang hilang, maka tanggung jawab jatuh kepada pembeli karena kelalaiannya.
MEKANISME QABD
Untk menentukan apakah sudah terjadi qabd atau tidak, dirujuk kepada kebiasaan yang berlaku. Caranya tergantung jenis barang, semisal:
- Qabd property dengan cara memberi peluang kepada pembeli untuk menempatinya
- Qabd makanan, pakaian dan perkakas dengan cara memindahkannya dari tempat semula
- Qabd emas, perak dan permata dengan cara mengambilnya dengan tangan
- Qabd uang dengan memegangnya atau dibukukan dalam rekening bank
- Qabd mobil dengan cara membawanya keluar dari tempat semula atau dengan cara menerima dokumen BPKB-STNK dengan nama si pembeli.
- Dan begitu seterusnya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku umum pada masyarakat
BERAGAM BENTUK JUAL-BELI
Dari berbagai sudut tinjauan, jual-beli dapat dibagi kepada beberapa jenis sebagaimana berikut ini:
Dari tinjauan objek transaksi
Jual-beli uang dengan barang. Ini praktek lazim dalam kehidupan kita.
Jual-beli barang dengan barang. Dalam istilah ekonomi disebut dengan praktek barter yang dalam istilah fikih muamalah disebut dengan MUQAYYADAH.
Jual-beli uang dengan uang. Praktek dalam jual beli valas misalnya. Dalam istilah fikih muamalah disebut dengan SHARF.
Dari tinjauan waktu serah-terima
Serah-terima barang dan uang secara tunai. Lazim dalam praktek dikehidupan kita sehari-hari.
Uang diterima dimuka dan barang menyusul pada waktu yang disepakati. Disebut dengan BAI’ SALAM.
Barang diterima dimuka dan uang menyusul. Disebut dengan BAI’ AJAL (Jual-beli tidak tunai). Contoh, kredit motor.
Barang dan uang tidak tunai. Disebut juga dengan istilah BAI’ DAIN BIDAIN (Jual-beli hutang dengan hutang)
Dari tinjauan cara menetapkan harga
Jual-beli MUSAWAMAH (dengan cara nego).
Jual-beli AMANAH: pihak penjual menyebutkan modal yang dikeluarkan untuk membeli barang tersebut lalu kemudian menyebutkan harga jualnya. Jenis jual-beli ini terbagi menjadi 3 macam:
Bai’ MURABAHAH: Penjual menyebutkan modal dan keuntungan yang ingin didapatkan. Misalnya, penjual berkata, “barang ini saya beli dengan harga Rp. 20.000 dan saya akan jual dengan harga Rp. 25.000 atau saya jual dengan marjin 10% dari modal”.
Bai’ WADH’IYYAH (Jual-beli diskon): Penjual menyebutkan modal dan menjual barang tersebut dibawah harga pokok. Contohnya, penjual berkata, “ini saya beli Rp. 20.000 dan akan saya jual dengan harga Rp. 15.000, atau diskon 10% dari modal”.
Bai’ TAULIYAH (Balik modal): Penjual menyebutkan modal dan menjual dengan harga tersebut, maka balik modal, tidak untung tidak rugi.@
Prepared by Sofiandi