ACADEMICS.web.id – Imam Al-Ghazali adalah seorang cendekiawan Islam terkenal dari abad ke-11. Dia memiliki pendapat yang cukup jelas terkait bedah mayat. Menurut pandangan tradisional Islam, bedah mayat adalah suatu tindakan yang diperbolehkan jika ada kebutuhan medis yang mendesak dan jika tindakan tersebut dilakukan dengan penuh hormat terhadap mayat.
Imam Al-Ghazali, dalam karyanya yang terkenal “Ihya Ulum al-Din” (Pembaruan Ilmu-Ilmu Agama), menyatakan bahwa bedah mayat dapat dibenarkan jika tujuannya adalah untuk menyelamatkan nyawa atau mengidentifikasi penyebab kematian. Namun, dia menekankan bahwa tindakan ini harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, dan para pelaku harus menjalankannya dengan tulus dan dengan niat yang baik.
Pendapat Imam Al-Ghazali tentang bedah mayat sejalan dengan pandangan umum dalam Islam bahwa menjaga nyawa manusia adalah prioritas utama, dan tindakan medis yang diperlukan dalam situasi darurat dapat dibenarkan, bahkan jika itu melibatkan tubuh mayat.
Imam Jalaluddin al-Suyuti (1445-1505) adalah seorang ulama Islam terkenal dari Mesir, dan pandangannya terhadap bedah mayat juga mencerminkan pandangan umum dalam tradisi Islam. Imam al-Suyuti dalam karyanya yang terkenal, “al-Ashbah wa al-Nazair,” menyebutkan bahwa bedah mayat dapat dibenarkan dalam Islam dalam beberapa situasi.
Dia menganggap bahwa bedah mayat adalah diperbolehkan jika tujuannya adalah untuk kepentingan medis atau untuk mengidentifikasi penyebab kematian yang mungkin bermanfaat bagi masyarakat atau hukum. Namun, seperti dalam kasus Imam Al-Ghazali, Imam al-Suyuti juga menekankan perlunya menjalankan tindakan ini dengan penuh rasa hormat terhadap mayat dan niat yang baik.
Pandangan Imam al-Suyuti sejalan dengan pandangan umum dalam Islam bahwa menjaga nyawa dan kesejahteraan manusia adalah prioritas utama. Oleh karena itu, bedah mayat dapat dibenarkan dalam konteks tertentu yang berkaitan dengan tujuan medis atau hukum yang sah.
Imam Syafi’i (767-820 M) adalah salah satu pendiri dari salah satu mazhab fiqh Islam yang dikenal sebagai Mazhab Syafi’i. Meskipun Imam Syafi’i tidak secara khusus membahas bedah mayat dalam karya-karyanya, mazhab fiqh yang dia bentuk memiliki prinsip-prinsip umum yang dapat digunakan untuk merumuskan pendapat tentang masalah seperti bedah mayat.
Pandangan dalam Mazhab Syafi’i, seperti dalam mazhab-mazhab fiqh lainnya, mengutamakan menjaga nyawa manusia, kepentingan umum, dan prinsip-prinsip etika dalam tindakan medis. Oleh karena itu, dalam situasi darurat atau jika ada kebutuhan medis yang mendesak, Imam Syafi’i dan mazhabnya kemungkinan akan memperbolehkan bedah mayat jika tindakan tersebut dianggap sebagai satu-satunya cara yang memungkinkan untuk menyelamatkan nyawa atau mengidentifikasi penyebab kematian.
Penting untuk diingat bahwa tindakan bedah mayat dalam Islam harus dilakukan dengan penuh hormat terhadap mayat dan dengan niat yang baik. Keputusan akhir tentang perbolehan atau pelarangan bedah mayat dalam kasus tertentu dapat berbeda-beda dalam berbagai mazhab fiqh dan akan sangat bergantung pada penafsiran ulama yang ada di dalam mazhab tersebut.
Keputusan tentang perbolehan atau pelarangan bedah mayat dapat berbeda-beda di antara berbagai ulama Islam dan mazhab fiqh. Tidak ada ulama tunggal yang secara universal melarang atau memperbolehkan bedah mayat. Pandangan tentang masalah ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk interpretasi hukum Islam, etika, dan situasi kontemporer.
Dalam beberapa mazhab fiqh, seperti dalam Mazhab Maliki, pendekatan terhadap bedah mayat mungkin lebih konservatif dan cenderung melarangnya, terutama jika tidak ada kebutuhan medis yang mendesak. Mazhab Hanbali juga dapat memiliki pandangan yang lebih ketat terhadap masalah ini dalam beberapa kasus.
Namun, dalam mazhab-mazhab lain seperti Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i, pendekatan dapat lebih fleksibel dan memperbolehkan bedah mayat jika ada alasan medis atau kepentingan umum yang kuat.
Penting untuk diingat bahwa dalam Islam, ada ruang untuk berijtihad (berpendapat) dalam berbagai masalah hukum, termasuk tentang bedah mayat. Keputusan akhir tentang masalah ini akan sangat bergantung pada pandangan dan fatwa dari ulama atau otoritas Islam yang dihormati, serta konteks dan kebutuhan medis atau hukum yang spesifik.
Pendekatan Islam terhadap bedah mayat didasarkan pada prinsip-prinsip etika dan hukum Islam yang lebih luas, dan ada beberapa dalil dan pandangan yang mendukungnya. Beberapa dalil dan pandangan yang sering dikutip dalam konteks ini adalah:
1. *Prinsip Darurat*: Prinsip utama dalam Islam adalah menjaga nyawa manusia. Dalil ini berdasarkan pada banyak ayat Al-Quran yang menekankan pentingnya menyelamatkan nyawa, seperti QS. Al-Ma’idah (5:32) yang menyatakan bahwa menyelamatkan satu nyawa sama dengan menyelamatkan seluruh umat manusia.
2. *Kesaksian Para Sahabat*: Beberapa Sahabat Nabi, seperti Ali ibn Abi Talib, telah melakukan bedah mayat atau tindakan serupa. Tindakan mereka ini dianggap sebagai contoh yang dapat diikuti dalam situasi yang memerlukan.
3. *Pandangan Ulama*: Sebagian besar ulama Islam sepakat bahwa bedah mayat diperbolehkan dalam Islam jika tujuannya adalah untuk tujuan medis yang sah, mengidentifikasi penyebab kematian, atau untuk kepentingan umum yang sah. Pandangan ini sering didukung oleh analogi (qiyas) dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang sudah ada.
4. *Hadis*: Meskipun tidak ada hadis yang secara langsung mengenai bedah mayat, banyak hadis yang menekankan pentingnya berbuat baik terhadap mayat dan menjaga kehormatan mereka. Ini mengindikasikan perlunya menjalankan tindakan semacam itu dengan penuh hormat.
Penting untuk diingat bahwa dalam Islam, pendekatan terhadap masalah seperti bedah mayat harus dilakukan dengan hati-hati, dengan pertimbangan etika dan hukum yang kuat, serta dengan niat yang baik untuk kepentingan umat manusia. Keputusan akhirnya bisa bervariasi berdasarkan interpretasi hukum Islam oleh berbagai mazhab dan ulama.
Tidak ada hadis yang secara spesifik dan langsung membahas bedah mayat dalam konteks modern seperti yang kita kenal hari ini. Sebagian besar hadis yang berkaitan dengan tindakan medis atau mengenai mayat lebih menekankan pada etika dan tindakan baik terhadap mayat daripada memberikan persetujuan eksplisit untuk bedah mayat.
Namun, ada hadis-hadis yang memberikan petunjuk tentang pentingnya berbuat baik terhadap mayat dan perlunya melakukan tindakan medis dengan etika dan rasa hormat. Beberapa hadis tersebut termasuk:
1. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang membantu dalam pemakaman seorang Muslim, maka dia akan tetap mendapatkan pahala selama dia tinggal di dunia, dan dia juga akan tetap mendapatkan pahala selama dia masih hidup.” (Sahih Muslim)
2. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Hormatilah mayat dan berbuat baiklah terhadap mereka, karena mereka berbicara denganmu, meskipun kamu tidak bisa mendengarnya.” (Ibn Majah)
3. Dari Abdullah bin Abi Aufa, Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Ketika kamu menyembuhkan, janganlah kamu menyembuhkan dengan yang haram.” (Ahmad)
Meskipun hadis-hadis ini menekankan perlunya berbuat baik terhadap mayat dan menjalankan tindakan medis dengan etika, mereka tidak secara langsung membahas bedah mayat modern. Oleh karena itu, dalam Islam, permasalahan bedah mayat biasanya dievaluasi dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip etika dan hukum Islam yang lebih luas serta fatwa dari ulama yang kompeten dalam bidang ini.@
Penulis:
Mahasiswa Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau