Hukum Khitan Bagi Perempuan Dari Perspektif Islam | Muhammad Ghaits

Mahasiswa Sem 1 Prodi Hukum Keluartga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau

banner 468x60

ACADEMICS.web.id – Berbicara  mengenai  sunat  perempuan,  tidak lepas  dari  pembahasan  sunat  pada  laki-laki.  Terkait  bagaimana  hukum  keduanya  ulama  memiliki  pendapat  yang  berbeda.  Pendapat mengenai hukum sunat secara umum dibedakan menjadi tiga, yaitu:

  1. Pendapat pertama

Baik bagi laki-laki maupun perempuan sunat hukumnya sunnat, bukan wajib. Pendapat ini dijadikan pegangan oleh Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i yang didasari pada hadis yang diriwayatkan al-Hajjaj dan Abi Muslih yang berbunyi:

banner 336x280

أَنَّ أَبِيْهِ أُسَامَةَ بْنِ الْمَلِيْحِ أَبِي عَنْ الْحَجَّاجِ عَنِ الْعَوَّامِ ابْنَ يَعْنِيْ عَبَّادٌ حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ حَدَّثَنَا لِلنِّسَاءِ مَكْرُمَةٌ لِلرِّجَالِ سُنَّةٌ الْخِتَانُ قَالَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللهُ صَلَّى النَّبِيَّ

Telah menceritakan kepada kami Suraij, telah menceritakan kepada kami’Abbad yaitu Ibnu Awwam dari Al Hajjaj dari Abul Malih bin Usamah dari Ayahnya bahwa Nabi Shallalahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Khitan itu hukumnya sunnah bagi kaum laki-laki dan kemuliaan bagi kaum wanita.”

Makrumah yang disebutkan dalam hadis tersebut berarti kemuliaan, kehormatan. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, sebagaimana dikutip oleh Susi Liana, bahwa yang dimaksudkan makrumah dalam sunat perempuan adalah tradisi yang dinilai baik apabila dikerjakan. Tidak ada dalil agama yang menghukumi wajib atau sunnah bagi sunat perempuan. Oleh karena itu, makrumah bukan dimaksudkan sebagai kualifikasi hukum seperti hukum yang lima, hanya saja dimaksudkan untuk menghormati tradisi dan perempuan.

  1. Pendapat kedua

Hukum sunat bagi laki-laki maupun perempuan adalah wajib. Pendapat ini dikeluarkan oleh mazhab Syafi’i dalam riwayat yang kuat serta pendapat dari kalangan mazhab Hanbali. Pendapat ini menafsirkan Q.S. An-Nahl ayat 123 sebagai perintah Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengikuti ajaran Nabi Ibrahim, termasuk khitan. Adapun bunyi Q.S. An-Nahl ayat 123 sebagaimana berikut:

ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik

  1. Pendapat ketiga

Sunat wajib bagi laki-laki dan makrumah bagi perempuan. Makrumah berarti mulia untuk dilakukan. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dalam salah satu riwayatnya. Dalam kitab “Nail al-Autar” telah tercantum bahwa Imam Nashi dan Imam Yahya berpendapat sunat wajib bagi laki-laki, sedangkan bagi perempuan tidak.

Pendapat ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Utsaim bin Kulaib yang bunyinya:

وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللهُ صَلَّى النَّبِيِّ اِلَي جَاءَ اَنَّهُ كُلَيْبٍ بْنِ عُثَيْمِ جَدُّ الْجُهَنِّيِّ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ اَخْبَرْنِيْ وَقَالَ احْلِقْ : يَقُوْلُ الْكُفْرِ شَعْرِ عَنْكَ اَلْقِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللهُ صَلَّى النَّبِيِّ لَهُ فَقَالَ اَسْلَمتُ قَدْ: فَقَالَ وَخْتَتِنْ الْكُفْرِ شَعْرَ عَنْكَ اَلْقِ مَعَهُ خَرَ لاَ قَالَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللهُ صَلَّى النَّبِيِّ اَنَّ اَخَرُ

“Dari Kulaib Al Juhani dia adalah kakek ‘Utsaim bin Katsir bin Kulaib bahwasanya dia pernah datang kepada Nabi SAW, lalu berkata, “Saya telah masuk Islam”. Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, “Tanggalkanlah (cukurlah) rambut kafirmu,” dalam riwayat lain Kulaib berkata, “Dan sahabat lain juga memberitahukan kepadaku, bahwasanya Nabi SAW bersabda kepada orang lain yang bersama beliau, ‘Cukurlah rambut kafirmu dan berkhitanlah!

Imam An-Nawawi r.a mengatakan, “Yang wajib bagi laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutupi kepala penis sehingga kepala penis terbuka semua. Sedangkan bagi wanita, maka yang wajib hanyalah memotong sedikit daging yang berada pada bagian atas farji. Dalam istilah medis, khitan disebut sirkumsisi. Kata sirkumsisi berasal dari bahasa Latin circum berarti “memutar” dan caedere berarti “memotong”. Sirkumsisi pada wanita (female circumsion) yaitu istilah umum yang mencakup eksisi (pemotongan) suatu bagian genetalia eksternal wanita.

Menurut Ibnu Qayyim, alat kelamin perempuan terdiri atas dua bagian. Bagian pertama merupakan simbol kegadisannya, dan yang kedua adalah bagian yang harus dikhitan. Bentuknya seperti jengger ayam, bagian ini terletak di bagian farji, posisinya yaitu di antara dua tepinya. Adapun tatacara memotongnya itu tidak boleh berlebihan dan tidak perlu memotong semua bagian itu.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

إِخْفِضِى وَلاَ تَنْهَكِيْ فَإِنَّهُ أَسْرَى لِلْوَجْهِ

“Berkhifadhlah kamu dan jangan sampai berlebihan, maka sesungguhnya (berkhifadh tidak berlebihan) dapat menjadikan wajah lebih ceria dan lebih nikmat dalam berhubungan badan”.

Menurut Syaikh Sayyid Sabiq, khitan laki-laki dilakukan dengan memotong kulit yang menutupi khasyafah agar tidak menyimpan kotoran, mudah dibersihkan ketika kencing, dan dapat merasakan kenikmatan jima’ dengan tidak berkurang. Sedangkan untuk perempuan adalah dengan memotong bagian teratas dari farajnya. Menurutnya khitan merupakan tradisi kuno (sunah qadimah).

Pendapat Sayyid Sabiq diatas dijabarkan oleh sebuah artikel dari Agus Hermanto mengutip perkataan Husain Muhammadyang mengatakan bahwa khitan laki-laki yang dilakukan dengan memotong kulup merupaan tindakan positif. Karena kulup, selain berpotensi menyimpan penyakit kelamin, dia juga menyebabkan terjadinya pemancaran dini (ejaculitio seminis), sebab kepala penis berkulup lebih sensitif terhadap yang tidak berkulup.

Khitan yang sudah ada sejak lama masih menimbulkan polemik hukum yang beragam, para ulama dalam menentukan hukum khitan para ulama masih berselisih pendapat, ada yang menghukumi sebagai wajib, sunnah, ada juga yang berpendapat cuma sekedar kemuliaan, di antaranya sebagaimana yang diungkapkan oleh Zain al-Dīn al-Malībārī dalam kitab Fath al-Mu’īn: Artinya : Wajib melakukan khitan bagi wanita dan laki-laki selama tidak dilahirkan dalam keadaan telah dikhitan, dengan sebab baligh dan berakal karena tidak ada pemberatan hukum sebelum baligh dan berakal, maka wajib melakukan khitan seketika itu juga setelah baligh dan berakal.

Sedangkan menurut Zarkasyi kewajiban khitan adalah terhadap walinya anak yang sudah mumayyiz yang terhalang sahnya shalat karena tertahan najis di dalam qulfah (kulit yang menutupi kepala penis) dan tidak mungkin dicuci najis yang ada di bawah qulfah. Adapun tentang anak yang sudah terlahir dalam keadaan telah di khitan maka menurut ulama kalangan Syāfi’iyyah terhadap anak tersebut gugur kewajiban berkhitan jika sempurna terkhitannya, jika tidak sempurna maka wajib menyempurnakannya, dan ada satu pendapat yang menyatakan bahwa khitan hukumnya wajib terhadap anak laki-laki dan sunnah terhadap anak wanita, dan pendapat ini merupakan pendapat yang dinukil dari kebanyakan para ulama.

Selanjutnya Syaikh Muhammad Khatīb Al-Syarbainī, dalam kitab Mugnī Muhtāj menyatakanWajiblah khitan wanita pada bagian daging yang terletak di bagian teratas kemaluan, dan kewajiban khitan laki-laki dengan memotong sesuatu yang menutupi kepala penis sesudah baligh. Kemudian Imam al-Nawawi menerangkan bahwa Wajib terhadap wali untuk mengkhitan anak kecil sebelum tiba masa baligh, karena demikian lebih mudah. Namun pada pendapat Imam Nawawi tersebut masih ada peninjauan, adapun pendapat yang shahih adalah kewajiban khitan tetap setelah mencapai usia baligh.  Wahbah Zuhailī dalam kitab Fiqh al-Islam Wa Adillatuh menyatakan bahwa:: Menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah khitan hukumnya sunat untuk laki-laki dan wanita, dan menurut Fiqh Syāfi’iyyah dan Hambali hukum khitan adalah wajib bagi lakilaki dan wanita.

Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Hajj menyatakan bahwa: Apabila telah Islam orang dewasa tidak akan sempurna keislamannya sehingga dia melakukan khitan. Ada sebagian pendapat dari kalangan Syāfi’iyyah dalam al-Mughni menyatakan bahwa tidak wajib bagi wanita untuk melakukan khitan, lalu sebagian ulama dari kalangan Syāfi’iyyah juga menyatakan baik bagi laki-laki maupun wanita tidak wajib melakukan khitan karena berpegang pada hadits yang diriwayatkan oleh Hajjaj yaitu: Khitan sunnah untuk laki-laki dan kemuliaan bagi wanita.

Begitu juga dengan Imam Haramain yang menyatakan bahwa: “Dan yang menjadi sasaran utama untuk melakukan khitan terhadap wanita yaitu dengan satu ketentuan telah terbenar telah melakukan khita”

Bisa dipahami dari pendapat di atas bahwa khitan pada wanita sudah dianggap terlaksana ketika sudah terjadi pemotongan yang menurut kebiasaan sudah dianggap cukup. Al-Mawaridiy menambahkan, Melakukan khitan wanita yaitu dengan memotong kulit yang terdapat pada bagian atas kemaluan wanita di atas tempat memasukkan kemaluan laki-laki, seperti bijik kurma ataupun seperti jengger ayam jantan.

Selanjutnya Al-‘Asqalānī menyatakan bahwa: “Dan yang wajib dilakukan pada khitan wanita yaitu memotong kulit yang terdapat pada bagian atas dari pada kemaluan bukan kulit yang paling atas kemaluan” Hal itu berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW kepada Ummu ‘Athiyyah “sesungguhnya seorang wanita melakukan khitan di Madinah, maka Nabi SAW bersabda kepadanya janganlah berlebihan, karena demikian lebih nikmat bagi wanita.”

Menurut Imam Haramain mendefinisikan sebagai berikut: “Khitan adalah memotong qulfah, yaitu kulit yang menutupi kepala penis sehingga tidak ada lagi sisa kulit yang menjulur. Sementara Said Abu Bakar mendefinisikan khitan sebagai berikut: “Khitan adalah memotong bagian yang menutupi hashafah (kepala kemaluan) sehingga kelihatan semuanya, apabila kulit yang menutupi hashafah tumbuh kembali maka tidak ada lagi kewajiban untuk memotongnya kembali”. Khitan dari segi bahasa berarti memotong sedangkan dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa khitan bermakna hasil pekerjaan seseorang yang mengkhitan atau merupakan tempat khitan.

Menurut M. Ali Hasan tradisi khitan pada anak perempuan sekurang-kurangnya dilakukan dengan empat cara: pertama, memotong sedikit kulit sebelah atas ”vulva” (farji). Kedua, memotong badhr (praeputium clitoridis) kulit penutup klentit. Ketiga, memotong labia minora (bibir kecil). Keempat, memotong bagian klitoris yang tampak keluar. Umar Mujtahid membagi khitan perempuan menjadi 3 jenis yaitu : 1). Khitan sederhana/ringan dengan menghilangkan sebagian klitoris atau secara keseluruhan. 2). Khitan sedang dengan menghilangkan klitoris, kedua labia minora dan sebagian kecil labia mayor. 3). Khitan sulit menghilangkan klitoris, kedua labia minora, dan sebagian besar labia minor.

Menurut hadis Abu Hurairah posisi khitan sejajar dengan posisi sunah lain yang kita dituntut untuk melaksanakannya. Hanya saja tidak ada ulama yang memahami tuntutan tersebut sampai kepada level wajib. Hal itu disadari karena hadis tersebut hanya membuat informasi diskriptif yang bersifat global. Karenanya dalam rangka mendudukkan hukum khitan, khususnya khitan wanita, ulama berpaling kepada hadis lain yang bersifat parsial menyentuh praktek dimaksud. Di antara hadis yang secara parsial membawa informasi tentang khitan wanita ini adalah sebagai berikut :

 “(Hadis diriwayatkan) dari al-Hajjaj Ibn Arthah al-Malih Ibn Usamah, dari Bapaknya, dari Rasulullah Saw. beliau bersabda “khitan itu sunah terhadap laki-laki dan suatu kemuliaan bagi wanita”(H.R.Ahmad dan Baihaqy).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa khitan ialah kegiatan memotong bagian kemaluan laki-laki yakni memotong kulit kulup (kepala dzakar) sedangkan perempuan dengan memotong atau menggores sedikit selaput yang menutupi ujung klitoris (prepitium klitoris) atau membuang sedikit gumpalan yang terdapat pada ujung lubang vulva (alat kelamin bagian luar) bagian atas kemaluan perempuan. Bukan untuk memotong atau melukai klitoris melainkan selaput yang menutupi klitoris. Hukum sunat bagi wanita dalam Islam adalah suatu tindakan yang dianjurkan, tetapi bukan wajib. Sunat wanita dalam Islam dapat dibagi menjadi dua kategori: sunat mu’akkadah (yang sangat dianjurkan) dan sunat ghairu mu’akkadah (yang kurang dianjurkan). Berikut kesimpulan mengenai hukum sunat bagi wanita dalam Islam:

  1. Sunat Mu’akkadah: Sunat mu’akkadah adalah tindakan yang sangat dianjurkan dalam Islam, dan sebaiknya dilakukan oleh wanita. Contohnya adalah:
  • Khitan (sirkumsisi): Khitan pada wanita adalah sunat mu’akkadah, meskipun tidak diwajibkan. Beberapa ulama menyatakan bahwa itu adalah wajib, sementara yang lain menganggapnya sunat mu’akkadah.
  • Memotong kuku: Merawat kuku secara teratur dan menjaga kebersihan adalah sunat mu’akkadah.
  • Merapikan alis: Memperbaiki bentuk alis dengan merapikannya adalah sunat mu’akkadah asalkan tidak diubah secara berlebihan atau untuk tujuan kecantikan yang berlebihan.

Dalam Islam, sunat bagi wanita adalah suatu cara untuk menjaga kebersihan, kesehatan, dan penampilan yang baik. Namun, yang utama adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Selain itu, dalam berbagai mazhab dan pandangan ulama, terdapat perbedaan pendapat mengenai sunat-sunat ini, sehingga dapat bervariasi antara satu komunitas Islam dengan yang lain. Oleh karena itu, sebaiknya berkonsultasi dengan seorang ahli agama atau ulama yang diakui dalam mazhab Anda untuk mendapatkan pandangan yang lebih spesifik tentang hukum sunat bagi wanita dalam Islam.@

Penulis:

MUHAMMAD GHAITS:
Mahasiswa Sem 1 Prodi Hukum Keluartga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau
banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *