Hukum Mengawini Wanita Hamil | Dimas Aulul Azim

Mahasiswa Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau

banner 468x60

ACADEMICS.web.id – Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, dalam hukum Islam ada perselisihan mengenai wanita yang boleh untuk dinikahi, di antaranya ialah wanita yang sedang hamil, baik itu hamil dari hubungan yang halal atau bukan (zina).

Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang boleh atau sah/ tidaknya pernikahan seorang wanita yang sedang hamil. Beberapa pendapat para ulama mengenai mengawini wanita yang sedang hamil adalah sebagai berikut :

banner 336x280
  1. Disampaikan oleh Yusuf Omar Ali As Shamaly, menyatakan dari Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah mengatakan bahwa Wanita yang sedang hamil baik dari hubungan yang halal maupun bukan (hubungan zina) tidak boleh dinikahi sampai dia suci atau sampai dia melahirkan kandungannya. Hal tersebut berlandaskan firman Allah azza wa jalla yang artinya : “Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. “ (QS. At-Thalaq: 4). Dari pendapat ini menyatakan jika wanita hamil akibat perceraian oleh suaminya atau kematian suaminya, maka dia tidak boleh menikah hingga melahirkan. Sedangkan jika seorang wanita hamil karena perbuatan berzina, maka dia tidak diizinkan menikah, baik dengan pasangan berzinanya atau dengan orang lain, hingga melahirkan.
  2. Menurut pandangan Imam Abu Hanifah, wanita yang hamil akibat zina diizinkan untuk menikahi laki-laki yang menghamilinya atau laki-laki lain. Wanita hamil karena zina tidak memiliki iddah (periode tunggu) dan dapat melangsungkan perkawinan. Namun, dalam pernikahan tersebut, tidak boleh terjadi hubungan seksual sampai wanita tersebut melahirkan kandungannya. Imam Hanafi berpendapat bahwa pernikahan wanita hamil tersebut tetap sah, hanya saja hubungan seksual harus ditunda sampai wanita tersebut melahirkan bayi hasil dari perbuatan zina tersebut.
  3. Menurut Imam Malik, jika seorang laki-laki yang akan menikahi wanita hamil akibat zina bukanlah laki-laki yang menghamilinya, pernikahan tersebut dianggap tidak sah. Imam Malik berpendapat bahwa wanita yang terlibat dalam perbuatan zina memiliki status hukum yang sama dengan wanita yang terlibat dalam hubungan syubhat (keraguan). Wanita tersebut harus menjalani iddah (periode tunggu) yang sama dengan iddah yang dijalani oleh wanita yang ditalak suaminya, kecuali jika dikehendaki dilakukan hukuman had atas perbuatan zina tersebut. Dalam hal ini, saat hukuman had dijatuhkan, wanita tersebut akan dianggap telah mensucikan dirinya dan iddahnya akan selesai. Bagi wanita yang hamil akibat zina, iddahnya akan berlangsung hingga dia melahirkan anaknya. Dengan kata lain, dalam pandangan Imam Malik, iddah wanita hamil karena zina sama dengan iddah wanita hamil hasil dari pernikahan yang sah atau hasil dari hubungan yang dicurigai.
  4. Dalam Impres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga (3) ayat, yaitu: 1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya. 2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya. 3) Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Pendapat-pendapat yang mengijinkan pernikahan wanita yang hamil di luar nikah dengan laki-laki yang menghamilinya merujuk kepada salah satu hadits berikut:

Aisyah ra menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang melakukan perzinaan dengan seorang wanita dan bermaksud untuk menikahinya. Beliau menjawab, “Pada awalnya, itu adalah perbuatan tercela, tetapi akhirnya menjadi sebuah pernikahan. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal.” (HR Tabarani dan Daruquthuny).

Sedangkan pendapat yang melarang untuk menikahi seorang wanita yang sedang hamil anak dari orang lain didasarkan pada pertimbangan mengenai kepentingan dan keturunan anak tersebut. Dasar-dasarnya mencakup hadits berikut:

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Janganlah disetubuhi (dikawini) seorang wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan.” (HR Abu Daud dan dishahihkan oleh AlHakim). Dalam hadits ini, ada penekanan pada pentingnya menunggu hingga anak dilahirkan sebelum pernikahan dilangsungkan, mungkin untuk menghindari konflik mengenai nasab anak yang mungkin timbul.@

PENULIS:

DIMAS AULUL AZIM:
Mahasiswa Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau
banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *