PERSOALAN ISTILAH KAFIR | Faizul Muktar

Mahasiswa Semester 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau

banner 468x60

ACADEMICS.web.id – Kalau melihat pada sisi bahasa, Kafir berasal dari kata dasar yang terdiri dari huruf kaf, fa’ dan ra’, maka kafir yang berasal dari kata kafara mengandung arti menutupi atau menghalangi. Oleh karena itu, Al-Jirjani dalam At-Ta’rifat memberikan pengertian kata kafir dengan kufranun yang artinya “sebagai orang yang menutupi nikmat Allah.” Kafir berasal dari kata “Kafa Yakfuru Kufran” yang berarti: orang yang mengingkari Allah SWT, didalam KBBI diartikan “tidak percaya kepada Allah dan Rasulnya”. sedangkan menurut istilah adalah mengingkari agama Allah swt, mengingkari wahyu-wahyu-Nya, mengingkari Rasulullah Saw, serta mengingkari malaikat-malaikat-Nya, takdir, dan hari akhir termasuk kategori kafir. Kemudian, pengertian kafir ini tidak hanya dalam konteks keyakinan semata. Dalam konteks nikmat misalnya dapat dilihat dari QS. Ibrahim 14:7, “Lain syakartum laazidannakum wa lain kafartum inna ‘adzabii lasyadiid.” Kata kafara merupakan lawan kata syukur. Artinya kafir dalam konteks ayat tersebut adalah orang yang menutupi nikmat Allah. Jadi, bisa jadi ada Muslim yang kafir dan ada juga kafir yang muslim.

Sedangkan kata kafir dengan arti mengingkari yang ditujukan kepada orang-orang nonmuslim dapat diklasifikasikan kepada beberapa kelompok. Hal ini menjadi bahasan dalam Figh as-Siyasah, yang dijelaskan oleh Yusuf Qardlawi membaginya ke dalam 3 (tiga) kelompok;

banner 336x280
  • Pertama, Kafir Harbiy, yaitu nonmuslim yang terlibat permusuhan dengan kaum Muslimin dan ingin memecah belah orang-orang mukmin dan bekerja sama dengan orang-orang yang telah memeranginya sejak dahulu.
  • Kedua, Kafir Mu’ahad, yaitu nonmuslim yang terikat komitmen dengan kaum muslimin untuk tidak saling bermusuhan. Kafir Mu’ahad berasal dari Darul Harb, tetapi telah mengadakan perjanjian damai sehingga mereka harus dilindungi hak-hak dan kewajibannya.
  • Ketiga, Kafir Dzimmah, yaitu nonmuslim yang berdomisili di negara Islam. Mereka adalah kaum nonmuslim yang hidup di tengah masyarakat Muslim dan mendapatkan perlindungan dari masyarakat Muslim.”

Tiga tipe golongan kafir sebagaimana disebutkan di atas adalah pengelompokan kafir yang didasarkan atas perspektif teologis (akidah). Yang perlu kembali ditekankan, bahwa pemberlakukan istilah kafir harbiy, kafir mu’ahad, maupun kafir dzimmah tidak berlaku di Indonesia yang merupakan nationstate, karena kehidupan kebangsaannya tidak didasarkan atas agama tertentu, melainkan kehidupan bersama dengan berbagai agama.

Lalu, jika sesuai dengan pembagian term kafir berdasarkan akidah seperti di atas, maka apakah semua orang nonmuslim disebut kafir? Maka perlu membaca sebuah analisis dari Khalid Sheirazi. Pertama, kaum yang mengingkari risalah Nabi Muhammad terdi- ri dari beberapa kelompok yang dibeda-bedakan oleh Al-Qur’an. Saat risalah Islam didakwahkan, Nabi ditentang dan dimusuhi oleh kafir Quraisy. Dalam banyak kitab tafsir, mereka sering disebut se bagai kuffaru Makkah. Sementara pengikut Yahudi yang kebanyakan tinggal di Yatsrib (sebelum berganti Madinah), bersama suku Aus dan Khazraj dan orang-orang Nasrani yang kebanyakan tinggal di Yaman disebut sebagai Ahlul Kitab.

Kemudian, sebelum Nabi hijrah ke Madinah, kaum Yahudi sering mengharap kedatangannya dengan tujuan untuk menguat- kan kedudukan mereka sebagai pemeluk monoteisme. Tetapi, setelah Nabi hijrah ke Madinah, justru orang Yahudi menging- kari kenabian Muhammad. Mengapa? Mereka kecewa karena Nabi yang ditunggu-tunggu itu dan telah dijanjikan dalam kitab suci mereka, ternyata bukan berasal dari Bani Israel, melainkan dari keturunan Arab dari Bani Quraisy. Alhasil, mereka pun me- nentang Nabi dan bahkan berkomplot dengan kafir Quraisy untuk memusuhi Nabi.

Dalam QS. Al-Bayyinah 98: 1 dijelaskan “Orang-orang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.” Menurut Syeirazi, jika menggunakan analisis bahasa, dalam ayat itu tersebut kata ‘min’ yang oleh mufasir disebut lit tab’idz yang artinya sebagian. Artinya, orang kafir itu sebagian berasal dari Ahlul Kitâb dan tidak semua Ahlul Kitâb itu kafir.

Kedua, Ahlu Kitab menurut jumhur Ulama’ terdiri dari Yahudi dan Nasrani, yang keduanya memiliki karakteristik yang berbeda dalam menanggapi risalah kenabian. Kaum Yahudi, menolak risalah nabi bukan karena ajarannya, melainkan karena orangnya. Secara ajaran, Islam dan Yahudi sama-sama berpijak pada ajaran monoteisme. Namun, karena Nabi yang dijanjikan bukan berasal dari Bani Israel, maka mereka menolak risalah tersebut. Berbeda dengan Yahudi, Ahlu Kitab dari golongan Nasrani menolak ajaran Nabi karena keyakinan tentang trinitas yang ada pada ajaran Nasrani berbeda dengan monoteisme yang dibawa Islam. Namun, meski mereka menolak ajarannya, kaum Nasrani menerima orangnya. Namun, selain itu ada juga yang meno lak ajarannya dan memusuhi orangnya.

Kaum Nasrani yang menolak ajarannya tetapi menerima umat Islam dengan tangan terbuka, misalnya Raja Najasi, penguasa Ethiopia, yang melindungi muhajirin generasi pertama yang dipimpin oleh Ja’far ibn Abi Thalib, sepupu Nabi. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa istilah kafir dalam Al-Qur’an cakupan nya adalah kaum pagan (penyembah berhala), kaum atheis, dan sebagian Ahlu Kitab. Artinya, bahwa tidak semua Ahlu Kitab ada- lah kafir.”

Jika istilah kafir, seperti yang disebutkan di atas adalah berdasarkan atas teologi, maka Moh. Khoiron, malah lebih detail lagi menjelaskan masalah kafir dengan membaginya ke dalam 3 (tiga) golongan, yakni kafir teologis, kafir politis, dan kafir eko- nomis. Istilah kafir teologis, merujuk kepada manusia yang tidak mau mengakui Allah sebagai Tuhan. Adapun kafir politis ialah istilah kelompok kafir yang muncul pertama kali berbarengan dengan pertemuan para sahabat di balairung Bani Saidah pada hari ketika Rasulullah wafat. Saat itu, ada dua kelompok umat Islam yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Kaum Anshar yang saling berkompetisi untuk menentukan pemimpin tertinggi umat Islam sepeninggal Rasulullah. Kaum Muhajirin menginginkan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai pengganti Rasulullah, karena ia adalah sahabat yang pertama masuk Islam.

Namun, kaum Anshar menginginkan Saad bin Ubadah un-tuk menjadi pemimpin umat Islam menggantikan Rasulullah. Inilah yang menurut Khoiron menjadi awal dari perselisihan umat Islam di bidang politik, karena memang pada saat Rasulullah wafat, beliau tidak memberikan isyarat mengenai siapa yang akan menggantikannya dan bagaimana model/sistem pemerintahan yang akan dipergunakan oleh penerusnya.

Pertemuan tersebut cukup panas, di mana hampir terjadi peperangan antara Umar bin Khaththab yang mewakili kaum Muhajirin dan Hubab bin Munzir yang mewakili Kaum Anshar. Dan hasil dari pertemuan di Balairung Bani Sa’adah yang “cukup panas” tersebut, terpilihlah Abu Bakar AshShiddiq sebagai Khalifah.

Sayangnya, meski Abu Bakar AsShiddiq telah terpilih dan kemudian dibaiat oleh umat Islam yang hadir di Balairung Bani Sa’idah saat itu, namun rupanya dianggap tidak mewakili umat Islam secara keseluruhan. Kelompok yang kecewa berang- gapan bahwa proses pemilihan Abu Bakar bukan pada mufakat seluruh umat Islam, namun hanya berdasar pada suara terbanyak yang hadir saat itu.

Disinilah awal mula penyebab sebagian umat Islam menjadi ingkar, hingga memilih murtad dan kafir. Bahkan, sebagian lagi tidak mau membayar zakat yang kemudian diperangi oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq karena dianggap telah kafir. Di sinilah kafir politis dan kafir ekonomis itu dipertautkan. Kafir politis adalah mereka yang tidak sejalan dengan political willnya Abu Bakar dan kafir ekonomis adalah mereka yang tidak mau mengeluarkan zakat.

Ahmad Marzuki bin Mirsad atau biasa disebut Guru Marzuki seorang Ulama Pendiri NU di Batavia pada tahun 1928, ia mengatakan orang yang disebut kafir adalah orang yang belum meyakini prinsip-prinsip keimanan. Orang yang kafir ini akan kekal di dalam neraka dan tidak berarti segala perbuatannya. Ia mencontohkan jenis kafir ini dengan penganut agama Nasrani (Kristiani) dan Yahudi. Namun ia memberikan peringatan bahwa jika sepanjang seseorang masih mengakui beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh mengkafirkan orang tersebut. Lebih jelas dan rinci lagi Guru Marzuki memberikan batasan mengenai kekafiran seseorang. Menurutnya tiga hal yang menyebabkan seseorang menjadi kafir adalah:

  • karena perkataan seseorang yang menunjukkan pengingkaran terhadap Allah rasul-Nya;
  • bisa juga karena mempermainkan hukum-hukum syariat dari Allah dengan tujuan menyepelekannya;
  • bisa juga karena perbuatan yang menunjukkan penyembahan kepada selain Allah;
  • bisa juga karena keyakinannya.

Seorang ulama klasik dan pemikirannya banyak menginspirasi radikalisme keagamaan di kalangan muda pada era 1980 an yang sebagai mana terdapat pada Ma’alim Ath-thoriq, yakni Sayyid Quthb mengungkapkan tentang konsep kufr. Menurutnya sistem kehidupan (sosial, ekonomi, dan politik, atau apa pun) yang tidak berasal dari Islam adalah kufur. Mereka menentang baik demokrasi (kekuasaan rakyat) maupun kekuasaan otoriter dengan dalih model kekuasaan tersebut tidak berasal dari Islam. Dalam Islam, hanya Allah yang berkuasa. Golongan Islamis menggunakan slogan-slogan, “syariah adalah solusi” dan “Alqur’an adalah konstitusi”.

Macam-macam Kufr di dalam alqur‘an

  1. Kufr al-inkar

Kufr ini mengandung pengertian pengingkaran atau pendustaan terhadap Allah swt, rasul-rasul-Nya, ayat-ayat-Nya, dan hari kemudian.

  1. Kufr al-juhud

Ungkapan kufr dalam juhud muncul sebanyak dua belas kali dalam alqur’an. Dari segi bahasa, juhud adalah lawan dari iqrar (pengakuan). Dalam pengertian ini, juhud memiliki kesamaan dengan inkar. Akan tetapi, berbeda dengan ingkar biasa, juhûd adalah pengingkaran terhadap sesuatu yag diketahui pasti kebenarannya (alinkar ma’a al-‘ilm).

  1. Kufr al-nifaq

Kata nifâq dan kata jadiannya muncul dalam Alqur„an sebanyak 37 kali. Kata yang berakar dari nun fa,qaf tidak selalu menunjukkan kemunafikan, melainkan ada makna lain: “nafkah” (nafaqah) atau “memberi nafkah” atau menggunakan harta (infaq) sebanyak 73 kali, dan “lobang” satu kali Ada pendapat yang mengatakan bahwa kata nifâq yang berarti kemunafikan diambil dari kata al-nafiqa’ yang bermakna lobang tikus.

  1. Kufr al-ilhad

Kata ilhâd berasal dari kata lahd yang bermakna “penyimpangan dari bagian tengah ke salah satu dari dua sisi”. Dari sini, kemudian kata ilhad dimaknai sebagai penyimpangan dari kebenaran.

  1. Kufr al-syirk

Jenis kekafiran ini menodai sifat yang paling esensial bagi Tuhan, yakni keesaan, yang berarti merusak kemahasempurnaan-Nya.

  1. Kufr al-niʻ mah

Kufr jenis ini bukanlah kufr yang berarti pengingkaran, melainkan tidak menyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah swt.

Masalah Takfir (Mengkafirkan Orang)

Takfir berasal dari kata kufur sebagai antonim kata Islam.  Sebenarnya, persoalan takfir yang dinyatakan (dengan maksud kufur aqidah) dalam Alqur’an adalah bersifat umum yaitu tidak menyentuh secara khusus kepada individu atau golongan tertentu.

Takfir dengan maksud tuduhan “Kafir-Mengkafir” sesama umat Islam tidak pernah berlaku kecuali selepas kewafatan Baginda Rasullah saw.

Permasalahan takfiir (yaitu menjatuhkan vonis kafir terhadap seseorang, yaitu yang dikenal dengan masalah takfiirul muʻ ayyan) itu ada dua sisi yang dapat dikaji dari beberapa buku, yaitu:

1) Sisi Iʻ tiqo>diy (keyakinan): berkaitan dengan hakekat dan macammacam kekafiran, dan tempat pembahasannya adalah pada bab-bab iman dan pembatal-pembatalnya dalam buku aqidah.

2) Sisi Qodlooʻ iy (hukum pengadilan) dan tempat pembahasannya adalah ada dua macam:

  1. Pertama: Al Umuur Al Mukaffiroh yaitu hal-hal yang menjadi penyebab kekafiran dan hukuman bagi orang kafir, dan tempat pembahasannya adalah pada bab-bab riddah (murtad) dalam buku-buku fiqih.
  2. Kedua: cara menetapkan adanya hal-hal yang mukaffir yaitu penyebab kekafiran pada seseorang dan melihat tidak adanya mawaani‟ (hal-hal yang menjadi penghalang) untuk menjatuhkan hukum, yang bisa diterima secara syarʻiy. Hal ini untuk menjatuhkan hukum apakah dia kafir atau tidak. Dan tempat pembahasannya adalah pada bab-bab al qodloo‟ (pengadilan), ad da‟aawaat (pengaduan) dan al bayyinaat (pembuktian) dalam buku-buku fiqih.@

PENULIS:

FAIZAL MUKTAR: Mahasiswa Sem 1 Prodi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah & Hukum UIN SUSKA Riau

 

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *