ACADEMICS.web.id – Pakaian adalah simbol kebudayaan dan peradaban. Bagi Quraish Shihab pakaian merupakan produk budaya yang sekaligus menjadi tuntutan agama dan moral.’ Disamping berfungsi untuk menutup aurat, pakaian juga memiliki banyak alasan lainnya. Menurut Jalaludin Rakhmat, pakaian selalu berkaitan dengan perilaku tertentu. Umumnya pakaian yang kita pakai menjadi wadah untuk menunjukkan identitas, termasuk juga untuk menunjukkan kepada orang lain tentang diri kita. Lewat pakaian juga identitas ditunjukkan sebagai alat komunikasi demi menunjukkan kepada orang lain sepatutnya memperlakukan kita. Pakaian sebagai sebagai produk budaya akan senantiasa bersesuaian dengan perkembangan zaman dan tradisi yang ada. Untuk itu, pakaian akan selalu mengalami daur ulang, bertransformasi, dan variatif mengikuti perkembangan zaman. Melalui pakaian yang dikenakan juga seringkali dapat diketahui identitas diri pemakainya. Dengan demikian, masalah pakaian dan busana terkait erat dengan masalah kemanusiaan melingkupi harkat dan martabat manusia, lebih dari itu berpakaian juga terkait kewajiban umat Islam menutup aurat.”
Fenomena pakaian yang paling menarik dasawarsa ini yakni meningkatnya religius itas yang ditandai dengan maraknya penggunaan jilbab di ruang publik. Membicarakan jilbab seakan tidak pernah selesai menjadi topik yang dikaji oleh para akademisi. Beberapa diantaranya telah berhasil mengeluarkan karya tulis yang membahas tentang fenomena jilbab di Indonesia ini. Di antara karya tersebut ada yang membahas dari perspektif sejarah, agama, antropologi, sosiologi, politik ataupun dari perspektif hukum. Kondisi ini berbeda dibandingkan era akhir 90-an yang mana jilbab tidak terlalu mendapat perhatian luas sebagai bahan kajian. Bahkan dalam beberapa tahun belakangan, jilbab berkembang menjadi salah satu trend fashion yang menarik minat pasar sehingga turut menumbuhkan sektor-sektor baru dalam bidang ekonomi.
Perempuan yang memakai jilbab masih jarang dijumpai sebelum tahun 1990-an, hingga mencapai titik puncaknya pasca bergulirnya era reformasi. Sebab sebelum itu perempuan yang memakai jilbab seringkali menjadi pusat perhatian orang karena dianggap tabu oleh masyarakat. Kemudian pada awal tahun 1990-an kesadaran wanita muslim untuk mengenakan jilbab sebagai penutup aurat juga semakin meningkat disertai dengan pemahaman agama yang kian meningkat. Larangan terhadap perempuan Muslim mengenakan jilbab di sekolah dan pekerja (terutama pegawai negeri) pada tahun 1980-an telah protes dalam komunitas Muslim, dianggap bahwa pemerintah telah bertentangan dengan definisi Islam tentang hak asasi manusia dan “banyak aktivis mencemooh Soeharto sebagai pemerintah anti-Islam.”
Meskipun di masa awal Suharto berkuasa pelarangan jilbab dan diskriminasi terhadapnya tidak mengurangi pengguna jilbab untuk mengekspresikan identitas Islam mereka, justru tujuan berjilbab sebagai media perlawanan budaya telah mengubah jilbab menjadi komoditas komersial Islam. Temuan Ariel Heryanto (2011) tentang “popularisasi dan stilisasi jilbab” di antara “urbanis perempuan berpendidikan tinggi” menunjukkan bahwa simbol-simbol Islam telah menjadi populer di kelas menengah Muslim. Sama halnya dengan pakaian barat, gaya jilbab dan gaun juga telah berubah dari gaya “tradisional” menjadi gaya modern karena dampak global modernisasi.
Meski demikian pemakaian jilbab tidak selalu karena dorongan agama. Kajian Muhammad Ansor tentang fenomena pengguna jilbab di Langsa, Aceh menarik dijadikan perbandingan. Dimana terdapat komunitas Kristiani yang juga menggunakan jilbab dengan alasan kondisi lingkungan. Selain regulasi syariat Islam Aceh tidak secara eksplisit mengharuskan perempuan Kristen berjilbab, tetapi sebagian perempuan Kristen Langsa memilih berjilbab ketika tampil di tempat umum.” Pengidentitasan perempuan Kristen Langsa berlangsung dinamis. Meski perempuan non-muslim di Aceh tidak diharuskan berjilbab, tetapi konteks sosial budaya yang melingkupi mereka sehari-hari seringkali menuntut berjilbab ketika di ruang publik. Bagi sebagian perempuan Kristen Langsa, rumusan Qanun No. 11 Tahun 2002 yang mengatakan “setiap orang Islam wajib mengenakan busana Islam” (Pasal 13 ayat 1) dan “setiap instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha, dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami” (Pasal 13 ayat 2), dipahami sebagai tuntutan agar mereka beradaptasi. Salah satu bentuk adaptasi adalah berjilbab ketika tampil di ruang publik, baik tempat kerja, ataupun lingkungan pendidikan bagi mahasiswi dan siswi.
Tren jilbab muncul tidak terlepas dari pesilangan antara globalisasi, modernisasi, dan gaya hidup wanita. Para sosiolog seperti Berger dan Huntington mendefinisikan empat proses budaya yang terjadi secara simultan dalam globalisasi; budaya bisnis internasional, budaya intelektual dunia, budaya pop global dan budaya keagamaan populer. Persinggungan antara kekuatan-kekuatan globalisasi dan budaya lokal menyebabkan sejumlah konsekuensi, di antaranya penggantian budaya lokal dengan budaya global, koeksistensi budaya lokal dan global, sinbuku budaya global dengan budaya lokal, dan resistensi budaya lokal terhadap budaya global. Sedangkan antropolog seperti Fadwa El Guindi yang meneliti tentang jilbab ini mengemukakan bahwa “jilbab mempunyai fungsi dan makna sesuai dengan kondisi dan budaya yang melingkupinya. Guindi menyimpulkan ada lima pola tradisi kultural menyangkut penggunaan jilbab di beberapa daerah. Diantara pola-pola tersebut adalah, pertama komplementer sebagaimana di daerah Sumeria. Kedua, eksklusif sebagaimana di daerah Persia dan Mesopotamia. Ketiga, egalitarian sebagaimana di daerah Mesir. Keempat, hierarkis, sebagaimana di daerah Hellenis, dan kelima, seklusionaris, sebagaimana dalam budaya Bizantium.”
Meski demikian, penampilan fisik seseorang dipengaruhi oleh nilai- nilai agama, kebiasaan, lingkungan, kenyamanan, dan tujuan pencitraan. Misalnya dalam mengenakan pakaian, banyak orang yang berbusana khas sebagai simbol sebuah kelompok. Seorang muslimah memakai jilbab sebagai manifestasi ajaran Islam. Pemakaian jilbab merupakan salah satu pesan arti faktual. Begitu pula jilbab tidak bisa dilepaskan dari apa yang melatarinya sebagai simbol agama. Jilbab sebagai simbol keislaman sejalan dengan pendapat Clifford Geertz yang mendefinisikan agama sebagai: “sebuah sistem simbol yang bertujuan untuk menciptakan perasaan dan motivasi kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang dengan cara membentuk konsepsi tentang sebuah tantanan. umum eksistensi dan melekatkan konsepsi ini kepada pancaran-pancaran faktual, dan pada akhirnya perasaan dan motivasi ini akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik.” Geertz menyimpulkannya bahwa agama menyebabkan seseorang merasakan atau melakukan sesuatu. Bagi Geertz seseorang memperlihatkan simbol-simbol keagamaan dalam perilakunya akibat dari motivasi tertentu yang muncul dalam dirinya.
Motivasi ini tentunya memiliki tujuan tertentu dan orang yang termotivasi tersebut akan dibimbing oleh seperangkat nilai tentang apa yang penting, apa yang baik dan buruk, apa yang benar dan salah bagi dirinya. Meski jilbab erat kaitannya dengan simbol identitas keislaman, namun saat ditinjau lebih dalam kenyataannya tidak sebatas pada dimensi agama saja. Jilbab juga melibatkan dimensi antropologi, sosiologi, dan psikologi. Misalnya dari sisi sosiologis, berjilbab karena perintah orang tua, berjilbab karena kondisi sosial masyarakat yang islami, ada juga yang berjilbab hanya sebatas fesyen saja. Bahkan bagi Zuly Qodir maraknya penggunaan jilbab di ruang publik dalam perspektif sosiologi agama bisa dikategorikan gejala sosial sebab terkait erat dengan dimensi sosial.
Menariknya, pemakaian jilbab yang telah menjadi gejala sosial saat ini ternyata tidak selamanya bersumber dari kebangkitan agama. Temuan Carla Jones” bahwa pemakaian jilbab pada kurun waktu 1980-an sampai 1990-an bukanlah bersumber dari kebangkitan beragama setelah pulang dari haji, akan tetapi meningkatnya penggunaan jilbab pada kurun masa itu akibat dari ekspresi dari resistensi sekaligus sebagai sarana yang aman untuk mengkritisi pemerintahan yang korup di masa Orde Baru.
Hal senada ditemukan Deny Hamadani dalam buku Anatomy of Muslim Veils bahwa dalam perkembangan jilbab- penutup kepala- di Indonesia lahir dari respon terhadap perubahan konstelasi sosial dan politik yang diproduksi oleh keberlanjutan negosiasi ruang di antara lembaga religius. Kemudian pengalaman dalam kulminasi pemakaian jilbab ini, dikontestasi melalui produk ke-shalehan beragama yang dihadapkan dengan kepentingan menunjukkan kekuatan politik kontra pemerintah. Dengan demikian, meluasnya penggunaan jilbab pada wanita muslimah saat itu disebabkan oleh adanya perubahan sosial yang lahir lewat proses islamisasi di ruang publik yang terjadi di Indonesia pada awal 90-an. Di era tersebut, kebijakan pemerintah banyak mendukung agenda-agenda publik umat Islam, termasuk didalamnya persoalan jilbab.
Sejalan dengan terjadinya perubahan sosial pada awal tahun 2000- an, jilbab tidak lagi menjadi sesuatu yang khusus milik kelompok sosial tertentu, tetapi sudah merupakan gejala yang bersifat umum dan menjadi perbincangan (disaurse) yang menarik di kalangan berbagai kelompok. Buku Fadwa El Guindi misalnya memberikan penjelasan bahwa penggunaan jilbab bisa dikaitkan melalui wujud simbol-simbol keagamaan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Menurut El Guindi, jilbab memberikan pandangan tentang kewanitaan dan kesalehan, dengan melihat berbagai perspektif agama-agama samawi.
Nancy J. Smith-Hefner dalam risetnya tentang jilbab bagi wanita Jawa menemukan bawah jilbab berupa kerudung, cadar, fongki atau berbagai bentuk jilbab yang dipakai wanita Jawa justru mewakili visi Islam yang berbeda, konstruksi komunitas yang berbeda, dan sebagai cara menampakkan pluralisme modern. Kenyataanya hampir tidak ada simbol pengasingan di wilayah pengguna jilbab. Justru bagi banyak orang Jawa kelas menengah Jilbab adalah simbol muslimah modern sebagaimana tampak dalam berbagai lingkungan modern: kampus universitas, kantor pemerintah, kota besar dan pasar kerja. Tanpa membatasi sudut pandang ajaran agama atau pengaruh dari eksistensi kultur masyarakat Arab, fenomena penggunaan jilbab telah menjelma menjadi persoalan eksistensi identitas sosial maupun individu dalam komunitasnya. Ekpansi penggunaan jilbab ini bahkan memberi dampak besar pada persoalan gaya hidup perempuan perkotaan dari pelajar, mahasiswi, pekerja sampai ibu rumah tangga.
Saat seseorang memilih menggunakan jilbab adalah sebuah keputusan yang kompleks. Keputusan yang dibuat bukan hanya berdasarkan kesadaran kewajiban beragama atau kepatuhan terhadap perintah agama, tetapi bisa juga merupakan respon atas sistem-sistem norma sosial dan harapan-harapan masyarakat dimana jilbab meningkat kehadirannya sebagai sesuatu yang lebih diinginkan bahkan sebagai kewajiban menjadi perempuan Muslim yang baik. Periode pasca Soeharto, harapan-harapan sosial keagamaan semacam itu diterjemahkan menjadi kewajiban hukum dalam setting kelembagaan tertentu, dan akibatnya melakukan pengaturan suatu wilayah publik yang mulanya bersifat private (menjadi kewajiban publik).
Pada masa kekinian, jilbab menjadi sesuatu 21 yang dianjurkan secara sosial. Bahkan dalam beberapa kasus, jilbab dipaksakan secara kelembagaan, dan menjadi bagian yang integral dari wacana publik, tentang moralitas individual dan komunal (masyarakat), juga identitas dan pembangunan sosial. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, perubahan-perubahan sosial dan kelembagaan berimplikasi pada persepsi perempuan Muslim Indonesia tentang pilihan berjilbab dan menutup aurat.
Hakekat jilbab hingga kinipun masih menimbulkan perdebatan. dan perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan para ulama. Maka keadaan ini yang mengantarkan masyarakat pada pemaknaan yang beragam pula. Pada dasarnya perdebatan ini melingkupi suasana batin dan kedalaman Simbolisme Islam Di Ranah Publik mengenai pemahaman terhadap realitas teks dan konteks dari para ulama itu sendiri. Sejatinya tidak perlu dipertentangan sebab ketika dipertanyakan alasan yang melatarbelakangi penggunaannya, pada akhirnya berpangkal pada keyakinan yang juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya setempat.
Bryan S. Turner dalam kerangka studi agama menyampaikan gagasan bahwa agama dewasa ini tampaknya berkaitan erat dengan persoalan politik identitas, etnisitas dan gender, teknologi medis dan persoalan keamanan.” Pakaian seragam menggunakan jilbab di sekolah dan perkantoran sudah banyak mendapat perhatian para sarjana. Namun pakaian seragam tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit belum mendapatkan porsi buku yang seimbang. Studi ini mencoba melihat betapa masalah pakaian seragam tenaga kesehatan juga tidak sepi dari persoalan dan perdebatan. Sebuah ilustrasi kasus yang menarik dan patut dicermati adalah, ketika ada perawat mengajukan protes keberatan terhadap kebijakan pakaian seragam jilbab di lingkungan kerjanya.
Fakta penerapan kebijakan penggunaan jilbab di lingkungan kerja juga seringkali justru menimbulkan permasalahan sendiri. Pada 24 Agustus 2009, tiga karyawati medis Rumah Sakit Mitra Internasional (RSMI) Jatinegara Jakarta Timur, (Sutiyem, Wiwin Winarti, dan Suharti) mendapat surat teguran, karena menolak mengenakan seragam sesuai dengan standard operational procedure (SOP) untuk seragam karyawati medis berjilbab seragam RSMI. Warno Hidayat, Manajer Sumber Daya Manusia RSMI, menyatakan bahwa persyaratan seragam sudah dicantumkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang disusun manajemen bersama pihak pekerja. Kriteria seragam yang demikian menurutnya untuk meminimalisasi infeksi yang terjadi antara paramedis dan pasien. Bagi Hidayat hal ini juga karena kami bagian dari perusahaan multinasional yang berkomitmen pada International Infection Control Standard.
Menurut Warno Hidayat, pihak RS sebenarnya membolehkan pegawainya mengenakan jilbab dengan kriteria tertentu. Di antaranya kerudung harus dimasukkan ke dalam baju dan panjang seragam tidak lebih lengan tiga jari di bawah siku. Seragam semacam ini telah mendapat sertifikasi sesuai syariat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Sementara itu, Chief Executive Officer RSMI, dr Handayani mengatakan, “pertimbangan membatasi panjang lengan seragam hingga tiga jari di bawah siku setelah melakukan serangkaian ujicoba. Panjang lengan hingga tiga jari di bawah siku menurutnya paling moderat untuk mencegah resiko infeksi dan tetap menutup aurat. Kami juga berkonsultasi dengan Hospital Infection Control Management Resources (HICMAR) dari Australia soal kontrol infeksi ini.”
Terkait dengan kasus karyawati medis yang berjilbab dan mendapat teguran di atas, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memberikan fatwa syariah atas seragam jilbab paramedis dengan pertimbangan karena faktor al-hajah atau keperluan. Tingkatan al-hajah memang satu tingkat di bawah darurat, namun sudah memungkinkan untuk mentoleransi menggunakan baju yang panjang lengannya seperti yang ada itu (tiga jari di bawah siku). Sebelumnya, MUI mengeluarkan sertifikasi atas pakaian tenaga kesehatan yang telah memenuhi syarat kesesuaian syariah. Pakaian seragam yang sudah diakui MUI sesuai syariah itu sempat menuai pertentangan dikalangan karyawati Rumah Sakit Mitra Internasional (RSMI) yang berjilbab, sebab mengharuskan jilbab dimasukkan ke dalam baju dan lengan pakaian hanya sepanjang tiga jari di bawah siku. MUI menerangkan bahwa dalam mengeluarkan fatwa tersebut telah terlebih dahulu melakukan buku yang komperehensif dengan melibatkan ahli kesehatan. Menurutnya, alasan memperpendek lengan baju karena alasan pencegahan kontaminasi dan infeksi dapat digolongkan dalam kategori al-hajah.
Fakta kasus kontroversi karyawati berjilbab yang terjadi pada tahun 2009 yang lalu memberikan gambaran bahwa problem jilbab di Indonesia masih jauh dari tuntas. Jilbab di Indonesia, bukan hanya sebuah alat penutup kepala perempuan, tetapi lebih dari itu merupakan simbol atau identitas keagamaan yang penting dan perlu diperlihatkan wujudnya di ruang publik sekalipun, sehingga larangan pembatasan ataupun perintah yang mewajibkan pemakainya tak pernah sepi dari protes.Meskipun telah sering didengar bahwa keberadaan jilbab tidak terlepas dari ajaran agama serta keyakinan seseorang, masalah ini tidak terlepas dari faktor sosial dan budaya dalam masyarakat. Sebab itu, walaupun jilbab telah menjadi bagian dari masyarakat (Muslim), ia juga melekat dalam kehidupan sehari-hari. Jilbab bisa menjadikan pembeda bagi individu dan komunitas atau kelompok, baik dilihat dari tingkat keberagamaannya ataupun aspek sosial lainnya. Beberapa kasus jilbab inilah yang menjadi research problem yang akan dianalisis jawabannya melalui buku di lingkungan rumah sakit negeri milik pemerintah, yang mencakup para pekerja wanitanya, yang terdiri dari dokter, staf rumah sakit dan juga para perawatnya yang memakai jilbab.@
Penulis:
Mahasiswa Sem. 1 Prodi Hukum Keluarga, Fak. Syariah & Hukum, UIN SUSKA Riau