ACADEMICS.web.id – Secara etimologi, kata “hak” memiliki berbagai macam arti, yaitu: milik, ketetapan, dan kepastian (Yasin [36]:7), kewajiban yang terbatas (al-Baqarah [2]:241), kebenaran sebagai lawan kebatilan (Yunus [10]:35).
Secara terminologi, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, hak adalah “suatu kekhususan yang padanya ditetapkan shara’ suatu kekuasaan”. Menurut Ibn Nujaim, hak adalah “suatu kekhususan yang terlindung”. Dalam terminologi ini, sumber hak adalah shara (Allah), bukan manusia ataupun alam.
Dalam ajaran Islam, asal hak berasal dari Allah. Hak-hak yang melekat pada manusia diberikan oleh Allah sebagai bagian dari fitrah manusia dan sebagai bentuk keadilan-Nya. Manusia memiliki hak-hak pribadi sejak masih dalam kandungan dan hak-hak ini dapat dimanfaatkannya dengan penuh setelah lahir dengan selamat
Dengan demikian, maka rukun hak ada dua, yaitu: pemilik dan obyek hak (baik yang berupa materi maupun hutang). Pemilik hak adalah Allah. Adapun manusia—menurut Islam—telah memiliki hak-hak pribadi sejak masih janin dan hak-hak itu dapat dimanfaatkannya dengan penuh apabila janin lahir dengan selamat, dan hak pribadi yang diberikan Allah ini akan habis dengan wafatnya pemilik hak.
Keterangan:
- Hak Allah: Merupakan asal segala hak, dimana manusia diharuskan untuk memenuhi hak Allah ini baik secara penyembahan ataupun secara hukum yang merupakan hukum dari ketetapan Allah. Hak Allah ini tidak bisa dilanggar, digugurkan, ditolerir, diubah, ataupun diwariskan.
- Hak manusia: Merupakan hak yang diberikan, dipinjamkan oleh Allah kepada manusia untuk digunakan dalam rangka memenuhi kehidupannya. Hak ini melekat sejak ia berada dalam kandungan, dilahirkan dan berakhir Ketika ia sudah dikubur.
- Hak mali—al-huquq al-maliyah, adalah hak yang terkait dengan harat benda dan manfaat, seperti hak penjual terhadap harga barang yang dijual dan hak penyewa terhadap sewaannya. Sebaliknya, hak ghair mali adalah hak yang tidak terkait dengan harta benda, seperti hak qisas, seluruh hak dasar manusia, hak wanita dalam talak karena suaminya tidak memberi nafkah, hak suami mentalak istri karena mandul, hak hadanah, hak perwalian, dan hak politik.
- Hak Shakhsi: merupakan hak yang ditetapkan Islam untuk seorang pribadi, berupa kewajiban terhadap orang lain, seperti hak penjual menerima harga barang dan hak pembeli menerima barang. Adapun hak aini adalah hak seseorang yang ditetapkan Islam terhadap zat sesuatu, sehingga dia memiliki kekuasaan penuh untk menggunakan dan mengembangkan haknya itu, seperti hak memiliki benda, dan hak terhadap benda jaminan.
- Hak mujarrad adalah hak murni yang tidak meninggalkan bekas apabila digugurkan melalui perdamaian atau pemaafan. Seperti dalam persoalan hutang, ketika si pemberi hutang membebaskan, maka tidak ada konsekuensi apapun bagi si penghutang. Sebaliknya hak ghair mujarrad jika digugurkan atau dimaafkan, maka masih meninggalkan bekas terhadap orang yang dimaafkan, seperti hak qisas. Apabila ahli waris korban memaafkan, maka pembunuh yang tadinya berhak untuk dibunuh, menjadi tidak berhak lagi dibunuh.
- Hak diyani merupakan hak yang tidak boleh dicampuri—diintervensi—oleh kekuasaan pengadilan. Misalnya dalam persoalan hutang yang tidak bisa dibuktikan oleh pemberi hutang karena tidak cukupnya alat bukti. Sekalipun tidak dapat dibuktikan di depan pengadilan, tanggung jawab yang berhutang di hadapan Allah tetap ada. Sedangkan hak Qadha’i adalah seluruh hak yang tunduk di bawah kekuasaan pengadilan, dan pemilik hak itu mampu untuk menuntut dan membuktikannya di depan hakim. Perbedaan keduanya terletak pada persoalan zahir dan batin. Hakim hanya menangani hak-hak zahir yang tampak nyata, sedang hak diyani menyangkut persoalan yang tersembunyi dalam hati dan tidak terungkap di depan pengadilan. Atas dasar ini ada kaidah: الحاكم يتولى بالظواهر والله يتولى بالسرائر “Hakim hanya menangani persoalan nyata, sedang Allah akan menangani persoalan yang tersembunyi (yang sebenarnya) dalam hati”.
Konsekuensi Hukum Suatu Hak
Ada 3 konsekuensi hukum terkait dengan keberadaan hak, yaitu berkenaan dengan:
- pelaksanaan dan penuntutan hak
- pemeliharaan hak
- penggunaan hak
Pada hakikatnya dalam melaksanakan, menuntut, memelihara, dan menggunakan hak, semua ini terikat dan tunduk dengan ketentuan syariah. Karena ia balik lagi kepada teori awal bahwa pemilik hak hanya Allah sehingga yang dipinjamkan hak tersebut tidak memiliki kekuasaan absolut di dalam penggunaan hak yang dipinjamkan itu. Maka, dalam penggunaan hak tidak boleh merugikan pihak lain. Misalnya membangun rumah, tidak boleh menghalangi akses jalan, cahaya, dan udara untuk tetangganya/orang lain. Perbuatan yang merugikan atau mencederai orang lain, sengaja atau tidak (dalam menggunakan haknya) disebut dengan “ta’assuf fi isti’mal al-haq”, sedang menggunakan sesuatu yang bukan haknya disebut “ta’addi”. Keharaman ta’assuf fi isti’mal al-haq disebabkan dua hal: 1. penggunaan hak tidak boleh sewenang-wenang, sehingga merugikan orang lain, dan 2. penggunaan hak pribadi tidak hanya untuk kepentingan sendiri, tapi harus mendukung hak-hak masyarakat.
Namun ada dua hal yang tidak termasuk ta’assuf fi isti’mal al-hak, yaitu:
- jika dalam menggunakan hak, menurut kebiasaan tidak mungkin menghindarkan kemudharatan bagi pihak lain. Misalnya tindakan dokter dalam operasi pasiennya.
- jika dalam menggunakan haknya telah dilakukan secara hati-hati, tetapi ternyata menimbulkan madharat bagi orang lain. Misalnya pukulan orang tua kepada anak dengan menggunakan lidi.
Oleh karena itu, jika sudah terlanjur terjadi ta’assuf, maka ada beberapa ketentuan berkaitan dengan itu:
- menghilangkan segala bentuk kemudharatan yang muncul. Seperti membongkar atau menghentikan pembangunan rumah yang menghalangi pihak tetangga menggunakan hak al-irtifaq mereka.
- memberi ganti rugi jika berkaitan dengan nyawa, harta, atau anggota tubuh seseorang.
- membatalkan, seperti membatalkan nikah anak dibawah umur dan atau wasiyat yang merugikan ahli waris.
- melarang, seperti melarang petani anggur menjualnya ke pabrik minuman keras.
- memberlakukan hukuman ta’zir atas kesewenangan pejabat dalam menggunakan haknya. Terkadang, karena jabatan tinggi, pejabat ada yang semena-mena dalam bertindak.
- memaksa pelaku untuk melakukan sesuatu agar kerugian/resiko yang ditimbulkan cepat berakhir. Misalnya memaksa pelaku ihtikar (penimbunan barang) untuk menjual timbunannya dengan harga yang normal.
Macam-macam Hak
Berdasarkan klasifikasi hak seperti dijelaskan di atas, maka ada jenis-jenis hak sbb:
- Hak al-Irtifaq, disebut juga dengan milk al-manfaat al-‘aini (pemilikan manfaat yang ada pada materi/benda). Secara terminology hak al-irtifaq adalah “Hak pemanfaatan benda tidak bergerak, baik benda itu milik pribadi atau milik umum”. Seperti pemanfaatan lahan tetangga untuk jalan dan pemanfaatan sumur tetangga untuk mengambil air minum. Disini, penyebab timbulnya hak al-Irtifaq adalah:
- perserikatan umum atau sejak semula barang tersebut untuk kepentingan umum (sarana public).
- Adanya perjanjian atau syarat yang disepakati ketika melakukan transaksi, seperti penjual mensyaratkan bahwa tanah yang dijual masih bisa dilewati bersama.
- At-Taqadum (memang sudah dari “sananya”); hak irtifak yang telah berlaku sejak lama (tidak ada yang tahu kapan mulainya.
Prinsip dasar: dalam pemanfaatan hak itu tidak boleh memberi mudharat kepada orang lain; sekalipun seseorang mempunyai hak, namun mereka tidak bebas mempergunakannya.
- Haq al-Intifa’; adalah kewenangan memanfaatkan sesuatu yang berada dalam kekuasaan atau milik orang lain, dan kewenangan itu terjadi karena beberapa hal yang disahkan Islam, yaitu pinjam-meminjam, sewa, waqaf, wasiyat manfaat, dan ijin. Disebut juga dengan milk al-manfaat ash-shakhsi(pemilikan manfaat pribadi), karena kelima sebab tersebut. Karena sebab tersebut juga yang membuat haq al-intifa’ bersifat tidak sempurna (al-milk an-naqis, karena hanya memiliki manfaat saja).
Sebab-sebab terjadinya Haq al-Intifa’:
- Al-i’arah (pinjam-meminjam)
- Al-Ijarah; tamlik al-manfaat bi ‘iwadhin.(Sewa menyewa). Penyewa boleh menyewakan lagi ke pihak ke-3 dengan syarat manfaatnya sama, misalnya mobil untuk penumpang, jika ada ijin pemilik.
- Wakaf
- Wasiat
- Izin
Aturan yang berkenaan dengan hak al-Intifa’:
- Dibatasi waktu, tempat, dan sifat
- Menurut Hanafiyah, tidak bisa diwariskan karena bukan materi; Namun menurut Jumhur bisa diwariskan
- Pemilik manfaat berfungsi sebagai pemegang amanat (maka ia berkewajiban memelihara dan merawat seakan milik sendiri). Jika ada kerusakan tidak mengganti selama bukan karena kecerobohannya. Meminjamkan berarti rela atas konsekuensi (rela dengan sesuatu, adalah kerelaan terhadap apayang terlahir daripadanya).
- Penerima manfaat berkewajiban memberi nafkah/biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan atau maintenance (jika pemanfaatannya gratis)
- Pemilik manfaat dengan carameminjam, harus mengembalikan jika pemiliknya meminta, kecuali bila pengembalian itu merugikan pemilik manfaat (bisa menahan, dengan imbalan sewa).
Berakhirnya haq al-Intifa’:
- Habis masanya
- Terjadi kerusakan pada benda, sehingga tidak memungkinkan lagi memanfaatkannyaMeninggalnya pemanfaat. Jika yang mati pemilik? Hanafiyah: berakhir; Syafi’iyyah dan Hanabilah akad yang mengikat bisa diwariskan. Malikiyyah, tergantung waktu. Jika ‘waktunya tanggung’ menunggu, contoh meminjam tanah untuk berkebun dan belum panen, maka menunggu sampai panen.@
Prepared by Sofiandi