ACADEMICS.web.id – Salah satu kaedah hukum Romawi yang terkenal adalah Actus dei nemini facit injuriam, atau – dalam bahasa Hukum Perikatan kita – sering dirumuskan sebagai “Keadaan Kahar”. Apa itu keadaan kahar?
Secara umum, keadaan kahar diterjemahkan sebagai suatu keadaan atau kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindari sehingga butir-butir kesepakatan tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Arti sebenarnya dari kaedah Actus dei nemini facit injuriam adalah “The act of God causes injury to no one” atau kehendak Allah tidak ada siapapun yang bisa dipersalahkan. Contoh sederhana, gempa bumi. Bila terjadi gempa bumi, maka sesuatu yang sudah diperjanjikan dalam perikatan tidak dapat dilaksanakan. Pada kondisi seperti ini, Para Pihak dalam suatu perjanjian harus saling memaklumi keadaan tersebut.
Sekilas, keadaan kahar ini mudah kita terima. Tetapi, dalam Hukum Pembuktian, keadaan kahar bukanlah serta merta atau mutatis mutandis dari suatu peristiwa. Misalnya, ketika kita melakukan perjanjian jual beli nikel ke luar negeri. Disepakati, nikel sebanyak lima puluh ribu ton akan dikirimkan menggunakan kapal besar (mother-vessel). Namun, di tengah perjalanan, terjadi gelombang ombak yang sangat besar sehingga kapal yang membawa nikel tersebut mengalami keterlambatan. Demurrage atas keterlambatan akibat ombak besar itu menjadi tanggung jawab siapa? Apakah serta-merta dapat diterima bahwa ombak besar sebagai keadaan kahar, atau perlu pembuktian?
Membuat perjanjian dalam suatu jual-beli seperti di atas memang sangat diperlukan untuk menciptakan kepastian hukum. Tetapi, sebagai manusia, memastikan sesuatu untuk yang akan datang adalah sebuah kemustahilan. Karena itulah, kita berserah diri kepada Allah untuk menentukan apa yang akan terjadi selanjutnya. Lalu, dikenalah istilah “keadaan kahar” atau “force majeure” itu. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pun diajarkan untuk jangan memastikan sesuatu, tetapi katakanlah “insya Allah”.
Rasulallah ﷺ sendiri pernah diingatkan oleh Allah SWT agar tidak mendahului kehendak-Nya. Suatu hari sekelompok orang bertanya kepada Rasulallah ﷺ tentang tiga hal: siapa ashabul kahfi, bagaimana ruh manusia dan siapa dzul qornain, Rasulallah ﷺ menjawab, “Besok aku jelaskan”. Rupanya, wahyu tentang ketiga hal itu tak kunjung turun. Imam Al-Qurtubi mengatakan, wahyu tentang hal tersebut baru turun lima belas hari kemudian. (Lihat tafsir al-Qurtubi surah al-Kahfi ayat 23-24). Maka, Allah SWT berfirman:
وَلَا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَٰلِكَ غَدًا إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَىٰ أَن يَهْدِيَنِ رَبِّي لِأَقْرَبَ مِنْ هَٰذَا رَشَدًا
Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan hal itu besok”, kecuali (dengan mengatakan), “Insyaallah.” Ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (QS Al-Kahfi: 23-24)
Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas dengan mengutip keterangan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Sulaiman pernah berkata, “Aku akan gauli tujuh puluh orang istri-istriku malam ini. Setiap dari mereka akan melahirkan seorang anak laki-laki yang kelak akan berperang di jalan Allah”. Nabi Sulaiman diingatkan oleh malaikat untuk berkata, “Insya Allah”, tetapi itu tak dilakukannya. Sehingga, walaupun telah benar dia menggauli semua wanita itu, ternyata hanya satu wanita yang hamil dan melahirkan.
Untuk itulah, segala sesuatu perlu diucapkan insya Allah. Jika Anda ingin melakukan hal seperti Nabi Sulaeman, misalnya, dan kebetulan Anda punya empat orang istri, ucapkanlah Insya Allah. Sebab berbeda dengan Nabi Sulaeman yang gagah perkasa hingga mampu menggauli tujuh puluh wanita dalam satu malam, boleh jadi Anda baru menggauli satu orang istri saja sudah kehabisan tenaga, loyo. Maka itu, ucapkanlah insya Allah.
Wallahua’lam bis-showwab.