ACADEMICS.web.id – Pada tanggal 3 Maret 2017, Ahmad Zakri, seorang warga negara Malaysia, dihukum 156 tahun penjara oleh Pengadilan Malaka Malaysia. Kesalahannya, Zakri terbukti mengubah data kependudukan warga pulau Sulu Filipina menjadi warga negara Malaysia. Sebagian kita mungkin berfikir, kok bisa “cuma” memalsukan data kependudukan dihukum sampai satu setengah abad.
Dalam sistem hukum Anglo-Saxon (Inggris dan negara-negara bekas jajahannya, termasuk Malaysia), pidana penjara bersifat kumulatif (concursus). Artinya, bila seseorang melakukan tindak pidana berkelanjutan dan terus diulanginya, kepadanya dihukum secara kumulatif. Pada kasus Ahmad Zakri ini, dia mengganti data kependudukan seseorang dimana ancaman hukumannya adalah tiga tahun penjara. Lalu, dia mengganti database di komputer dengan ancaman tujuh tahun penjara. Tetapi perbuatannya dilakukan sejak bulan Maret 2014 hingga April 2016. Maka, kepadanya dihukum secara kumulatif (concursus) sehingga total hukumannya adalah 156 tahun!.
Mengapa tidak hukuman mati atau seumur hidup saja, toh hampir tak ada lagi manusia hidup selama 156 tahun? Sebab, ancaman hukuman atas perbuatan pemalsuan data kependudukan tidak menyebutkan pidana mati atau seumur hidup, sehingga kepadanya diberikan kumulatif masa hukuman saja.
Dalam sejarah pemidanaan modern, Darron Bennalford Anderson adalah orang terlama yang dihukum penjara. Ia dijatuhi hukuman 2200 tahun penjara pada tahun 1994 oleh Pengadilan Oklahoma, Amerika Serkat. Anderson terbukti melakukan tindak pidana pencurian, perampokan, pemerkosaan dan penculikan. Teorinya, Anderson baru bebas nanti pada tahun 3944. Andai dia “bebas” nanti, bahkan kuburannya pun mungkin sudah sulit ditemukan.
Dalam sistem hukum nasional kita yang cenderung menggunakan sistem hukum kontinental, hukuman pidana dibagi dua: hukuman pidana mati dan hukuman pidana penjara. Nah, pidana penjara ini dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu pidana penjara untuk waktu tidak tertentu atau seumur hidup dan pidana selama waktu tertentu. Pidana waktu tertentu itu maksimal hanya dua puluh tahun. Pasal 12 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) menyatakan, “Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun”. Artinya, jika seseorang melakukan berbagai tindak pidana, dan kepadanya tidak dikenakan tuntutan mati atau penjara seumur hidup, maka kepadanya hanya boleh dihukum penjara maksimal dua puluh tahun.
Itulah yang kita saksikan pada kasus Gayus Tambunan beberapa tahun lalu. Gayus melakukan serangkaian tindak pidana; antara lain, pemalsuan paspor, penyuapan polisi, kejahatan pajak dan pencucian uang, tetapi semua tindak pidana itu diproses dalam kurun waktu yang bersamaan dan semua tindak pidana itu tidak diancam dengan hukuman mati. Maka, pada kasus mafia pajak, Gayus divonis tujuh tahun penjara. Kasus lainnya, misalnya, korupsi, dia diancam dua puluh tahun penjara, tetapi sistem hukum kita melarang seseorang dipenjara lebih dari dua puluh tahun sehingga Gayus hanya boleh dipindana penjara maksimal dua puluh tahun penjara.
Nah, lalu bagaimana kasus penyuapan polisi dengan ancaman enam tahun penjara dan pemalsuan paspor lima tahun penjara? Pada kasus-kasus itu, bila vonis kepada Gayus telah maksimal dua puluh tahun, dia tidak boleh dipidana penjara lagi. Hakim paling hanya memutuskan, Gayus bersalah dan tidak perlu ditambahkan penjara sebab hukumannya sudah maksimal.
Perbedaan dua sistem hukum (Anglo-Saxon dan Kontinental) itu menarik untuk dipahami agar kita mengerti mengapa suatu tindak pidana berbeda sistem pemenjaraannya. Mungkin ada di antara kita yang berfikir, enak yah orang seperti Gayus, dia terbukti melakukan banyak tindak pidana, tapi “hanya” dipenjara maksimal dua puluh tahun. Sementara ada terpidana lainnya yang melakukan satu tindak pidana divonis delapan belas tahun penjara. Itulah sistem hukum kita yang mengedepankan keadilan retributif atas suatu perbuatan pidana.
Lalu bagaimana dengan sistem Hukum Pidana Islam memandang masalah penjara? Hukum Pidana Islam – seperti telah saya bahas pada tulisan sebelumnya — mengadopsi teori keadilan retributif dan keadilan restoratif secara bersamaan. (Lihat: Hukum Pidana Islam dan Penistaan Agama). Secara sederhana, keadilan retributif adalah (seperti) balas dendam atas perbuatan pidana. Seorang pembunuh, misalnya, ia dihukum qishah sebab telah merampas nyawa orang lain. Sementara hukum had adalah hukum yang pidana dan hukumannya telah ditentukan dalam al-Qura’an.
Sedangkan penjara adalah bagian dari hukuman ta’zir yang ketentuannya tidak diatur dalam hukuman qishah, juga had. Namun ia diatur oleh negara sebagai hukuman ta’zir. Secara garis besar hukuman penjara disinyalir dalam al-Qur’an. Ketika Nabi Yusuf (AS) digoda oleh permaisuri kerajaan agar berbuat zina, dia berkata,
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ
(Dia) Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika Engkau tidak menghindarkan tipu daya mereka dariku, niscaya aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang-orang yang bodoh”. (QS Yusuf: 33)
Dan Rasulallah SAW menegaskan agar – dalam memenjarakan terpidana – seseorang diperlakukan secara manusiawi. Di zaman Nabi, seseorang yang “dipenjara” hanya diikat di masjid dengan diberikan makan dan minum sepantasnya. Bahkan beliau (SAW) menegaskan,
عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ حَبَسَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ جُوعًا، فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ
“Seorang wanita diazab dalam (urusan) kucing. Dia telah menahannya higga kucing itu mati kelaparan, maka niscaya (dengan sebab perbuatannya itu) dia masuk api neraka”
Lalu berapa lama orang boleh dipenjara? Dalam Hukum Pidana Islam, batasan waktu terpendek seseorang boleh dipenjara adalah sampai dengan masuk waktu shalat. Sedangkan untuk waktu terlama, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ahli hukum Islam (madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali) tidak menetapkan batasan maksimal pidana penjara, dan mereka melimpahkan hal tersebut kepada kewenangan hakim.
Sedangkan pendapat madzhab Syafii, pidana penjara terlama dibagi tiga: Pendapat pertama menyatakan maksimal enam bulan penjara. Pendapat kedua, adalah satu tahun penjara, sebagai analogi pengasingan atas hukuman tambahan terhadap orang yang berbuat zina (seratus kali cambuk dan pengasingan satu tahun). Pendapat ketiga adalah pendapat Imam al-Haramain Juwaini, bahwa kewenangan hakimlah yang menentukan berapa lama seseorang boleh dipenjara. Perlu dipahami bahwa hukum pidana Islam sangat menjunjung asas jurisprudensi sehingga hakim lebih terikat kepada jurisprudensi ketimbang set of rules atau kumpulan Undang-Undang.
Dalam jurisprudensi Hukum Pidana Islam, orang pertama yang dihukum penjara seumur hidup adalah Dhabi bin Harits pada zaman Ustman bin Affan (radiallahu anhu). Sebelum masuk Islam, Dhabi bin Harits adalah seorang penyair. Ia memiliki kekurangan penglihatan. Utsman bin Affan memenjarakannya karena dia terbukti membunuh seorang anak laki-laki dengan mebiarkan hewannya lepas, dan cacat penglihatannya menjadi pemaaf pembunuhan itu. Ketika dia hendak diberikan remisi, dia menyerang beberapa orang dari Bani Nahsyal, akhirnya dia dikembalikan ke penjara. Suatu hari dia menunjukkan kepada para narapidana bahwa dia telah menyiapkan pisau di sepatunya yang ingin dia gunakan untuk membunuh Utsman bin Affan. Maka, dia pun dipenjara sampai menemui kematiannya.
Keadilan memang harus ditegakkan, salah satunya lewat penjara. Sebab, seperti kata William E. Gladstone (1809-1898), “justice delayed is justice denied”. (Keadilan yang ditunda adalah kaadilan yang terabaikan).
Wallahua’lam bis showab.