ANALISIS KRITIS TERHADAP PRAKSIS PEMBEBASAN DALAM KURIKULUM MERDEKA

Oleh Sofiandi

banner 468x60

ACADEMICS.web.id – Problematika pendidikan yang masih belum teratasi sejatinya manifestasi dari bentuk penjajahan dalam dunia pendidikan. Pendidikan di Indonesia masih memiliki kekurangan yang menghalangi tujuannya sebagai sarana pembebasan setiap individu. Sistem pendidikan di Indonesia hanya fokus pada menciptakan manusia sebagai produk, dengan manusia dijadikan alat untuk mencapai tujuan ekonomi dalam industri. Oleh karena itu, standar produk yang tidak sesuai akan dianggap gagal, sebagaimana siswa yang dianggap gagal jika tidak berhasil bersaing dalam era Revolusi Industri 4.0.

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat konsen terhadap pendidikan, dari zaman dahulu. Lihatlah sejarah serambi Mekkah-nya Aceh yang menjadi pusat gerbang ilmu pengetahuan di Nusantara. Lihat juga sejarah berdirinya organisasi Taman Siswa yang lahir akibat kerisauan terhadap pendidikan anak-anak bangsa. Namun, pendidikan di Indonesia secara umum, masih menggunakan indikator penilaian 3P, yaitu Pelayanan, Penilaian, dan Prestasi, yang tidak selaras dengan kenyataan yang sering terjadi di tengah masyarakat. Kurangnya motivasi belajar siswa, kasus perundungan, dan kurangnya ruang untuk menggali keunikan setiap siswa merupakan akibat dari ketidakseimbangan antara penilaian 3P dan realitas sosial di Indonesia. Masalah yang lebih luas juga timbul akibat komersialisasi pendidikan yang terstruktur, kekerasan dalam pendidikan, dan beban yang besar bagi para guru dalam mengikuti perubahan kurikulum yang terus berubah.

banner 336x280

Sejatinya, kurikulum pendidikan harus mampu menghubungkan manusia dengan pengetahuan yang dipelajarinya sehingga ia dapat memahami betul apa itu esensi kehidupan. Hasil dari kurikulum tersebut kemudian diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Inilah yang seharusnya menjadi pedoman dalam pengembangan kurikulum pendidikan di Indonesia di mana orientasi system pendidikan yang dibangun mengarah kepada pemahaman terhadap hakikat hidup dan peningkatan kualitas hidup manusia. Namun, apakah Kurikulum Merdeka yang resmi diluncurkan oleh Menteri Pendidikan Nadiem Makarim benar-benar membidik orientasi tersebut?

Dalam sebuah wawancaranya, Mas Menteri menyatakan bahwa penerapan Kurikulum Merdeka akan memberikan otonomi dan kebebasan bagi siswa dan sekolah. Kurikulum ini dirancang dengan lebih sederhana dan fleksibel sehingga meningkatkan keterlibatan siswa, berbeda dengan Kurikulum 2013 yang dianggap terlalu padat, membosankan, dan kurang variatif.

Akan tetapi, kebijakan Kurikulum Merdeka ini masih memiliki kelemahan dan anomali. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah mengapa solusi pendidikan di Indonesia harus berupa kurikulum alternatif daripada merombak isi kurikulum, mengatur materi pembelajaran, dan menyederhanakan administrasi guru? Tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan efektivitas Kurikulum Merdeka. Hal ini hanya akan menyebabkan pendidikan di Indonesia tidak mengalami transformasi, melainkan terjebak dalam pola pendidikan yang masih menindas seperti masa kolonial. Artinya, tidak akan ada harapan untuk “menyongsong pagi yang baru”.

Konsep Kurikulum Merdeka bahkan masih menempatkan sekolah sebagai lembaga yang melatih siswa untuk bekerja. Isu Revolusi Industri 4.0 yang ditekankan dalam kurikulum nasional saat ini seolah-olah menjelaskan atau bahkan mengafirmasi betapa pentingnya status seseorang dalam masyarakat dan harapan yang ditujukan kepada mereka. Akibatnya, sekolah hanya mencerminkan kepentingan penjajah atau, dalam konteks kekinian, kepentingan elit dan kelangsungan kepentingan kapital. Aspirasi dan kebutuhan para pelaku pendidikan, seperti guru, kepala sekolah, dan siswa sering diabaikan. Hal ini membuat pelaku pendidikan bernasib sebagai objek yang diarahkan ke sana ke mari oleh sistem dengan kepentingan masing-masing, sehingga mereka tidak terlatih untuk mengembangkan pemikiran mereka sendiri.

Pendidikan, menurut pandangan Paulo Freire, merupakan alat untuk mencapai “praktik pembebasan” dari belenggu “praktik penindasan”. Pendidikan merupakan alat yang digunakan manusia untuk, secara kritis dan kreatif, berinteraksi dengan realitas sebagai partisipasi manusia dalam mengubah dunia. Paulo Freire berjuang melalui pendidikan untuk membebaskan masyarakat Brasil dari penindasan. Ia menyadari betul bahwa pendidikan merupakan salah satu cara untuk menghormati martabat manusia sebagai manusia. Latar belakang hidup dan perjuangan Paulo Freire, yang mengalami penindasan dalam hidupnya, membuatnya sangat sadar betapa pendidikan ideal harus berpusat pada nilai-nilai humanisme. Nilai humanisme di sini dimaknai sebagai nilai-nilai yang membuat manusia menjadi subjek-aktor dalam pendidikan, bukan sebaliknya, objek-pasif.

Di Indonesia, teori dan praktik pendidikan umumnya dilakukan dengan penjelasan verbal. Selain itu, pendidikan juga sering menampilkan kesenjangan antara guru dan murid, serta bahan bacaan yang telah ditentukan. Sebagai contoh, beberapa guru mungkin menentukan daftar bacaan yang harus dibaca oleh murid, dengan pandangan bahwa mereka adalah “dewa penolong” bagi muridnya. Pendekatan semacam ini hanya akan menghambat kemampuan berpikir bahkan memagari cakrawala intelijensia para murid.

Memang, Kurikulum Merdeka menggantikan kurikulum sebelumnya dengan tujuan menyederhanakan isi pembelajaran. Namun, para pakar menganggap standar dan isi pencapaian pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka tidak jauh berbeda dengan kurikulum sebelumnya, karena materi pembelajaran tetap padat. Dengan demikian, tugas guru hanya akan kembali terpaku pada proses pembelajaran yang memenuhi murid dengan informasi yang mereka anggap mewakili pengetahuan. Pendekatan seperti ini tidak akan dapat disebut sebagai pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang membebaskan seharusnya bersifat manusiawi dan mampu membuka kesadaran manusia terhadap situasi dan kondisi realitas dunia. Proses pembelajaran seharusnya berbentuk investigasi terhadap realitas tersebut dengan melibatkan proses identifikasi permasalahan yang ada dalam masyarakat. Untuk menjadi seperti ini, pendidikan harus bersifat dialogis, bukan satu arah.

Dalam bukunya ‘Pedagogy of the Opressed’, Paulo Freire mengajukan sebuah teori yang menggambarkan eksistensi dikotomis yang gamblang antara peran guru dan murid, yang ia sebut sebagai pendidikan gaya bank (banking education). Teori pendidikan gaya bank menganggap manusia sebagai makhluk yang mudah diatur-atur dan diubah-suaikan. Pendekatan gaya bank ini menggunakan proses pengajaran yang terbatas pada nilai-nilai dan variabel empiris-subjektif realitas, yang acap kali menjadi proses yang kaku dan tidak hidup serta membosankan. Sekarang, metode pendidikan menderita penyakit naratif semacam ini di mana guru memberikan materi yang asing bagi pengalaman eksistensial yang dialami murid dalam kesehariannya. Menurut Paulo Freire, tugas guru dalam pendekatan ini adalah “mengisi” murid dengan narasi yang berbeda dari realitas dan asing sehingga kata-kata yang disampaikan menjadi kosong dan tidak familiar bagi murid. Mirisnya lagi, kondisi semacam ini malah menjadi “prestasi” bagi guru, di mana semakin asing yang disuap oleh guru, semakin dianggap “hebat” dan orang tua pun tanpa ragu menyematkan gelar kepada institusi pendidikan tersebut sebagai “sekolah favorit”.

Itulah konsep bank education yang ditentang habis oleh Paulo Freire. Pendidikan menjadi seperti kegiatan menabung, di mana murid berperan sebagai tempat penyimpanan dan guru berperan sebagai penabung. Murid hanya terlibat dalam aktivitas penerimaan dan penyimpanan informasi yang diajarkan oleh guru. Murid menjadi pencari atau pengumpul informasi yang mereka simpan, tetapi dampaknya adalah kurangnya kreativitas, pemikiran, dan pengetahuan yang terjadi pada jiwa murid. Seorang murid tidak akan pernah menjadi manusia yang utuh tanpa ia diberikan ruang untuk berusaha, mencari dan berpraktik.

Praktik pendidikan seringkali hanya dipandang sebagai sarana untuk mentransfer pengetahuan. Pendidikan tidak memperhatikan proses perkembangan pemikiran dan tidak mampu mengkritisi realitas sosial di sekitar murid. Dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan dianggap sebagai hadiah yang diberikan oleh mereka yang menganggap diri mereka berpengetahuan, kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan sama sekali. Oleh karena itu, murid diperlakukan sebagai “gelas kosong” yang akan diisi sebagai simpanan yang akan diambil hasilnya di masa depan.

Konsekwensinya, para murid mendapatkan treatment sebagai objek yang tidak sadar atau bahkan buta terhadap realitas sekitarnya. Justru, penyadaran terhadap para murid esensial dilakukan dalam upaya mencapai perubahan atau transformasi pada diri mereka yang melibatkan lingkungan sekitar. Proses penyadaran tersebut tidak menyebabkan seseorang menjadi fanatik yang destruktif. Sebaliknya, hal ini akan mendorong para murid untuk mencari afirmasi diri dan menghindari fanatisme dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam proses sebagai subjek yang bertanggung jawab dan keberadaan mereka yang “dianggap”. Bagi seorang humanis, seorang pendidik revolusioner tidak akan menunggu perjuangan kebebasan dalam pendidikan datang dengan sendirinya. Sebaliknya, mereka akan berupaya mendorong para murid terlibat dalam pemikiran kritis dan mengarahkan upaya-upaya menuju humanisasi satu sama lain.

Yang menarik dari kekuatan Paulo Freire dalam konsep pendidikannya adalah bahwa pendidikan menjadi kekuatan penyadaran dan pembebasan bagi umat manusia. Pembebasan adalah tindakan praktis yang melibatkan aksi dan refleksi manusia terhadap dunianya dengan tujuan mengubahnya menjadi lebih baik. Mereka yang sungguh-sungguh ingin mencapai kebebasan harus menolak konsep pendidikan gaya bank secara keseluruhan, dan mengadopsi konsep manusia sebagai makhluk yang hidup. Mereka harus meninggalkan tujuan pendidikan yang menjadikan murid sebagai tempat penyimpanan pengetahuan, dan menggantinya dengan memberikan peran murid dalam konteks masalah umat manusia dan hubungannya dengan kehidupan. Tugas seorang pendidik dalam mengajar adalah membantu murid menjadi diri mereka sendiri sehingga potensi yang dimiliki oleh murid dapat berkembang, bukan mengarahkan mereka secara satu arah yang memberikan kesan sempit dan itu-itu saja.

Jika kita menerapkan argument Paulo Freire dengan relevansi yang tepat, kurikulum Merdeka Belajar masih belum dapat dianggap sebagai bentuk praksis pembebasan yang ideal. Penggantian kurikulum nasional ini masih didasarkan pada pendekatan kurikulum berbasis konten (content-based curriculum), yang hanya menekankan aspek konten atau materi dalam proses pengajaran. Bagi Freire, pembelajaran sebagai tindakan kultural dan pembebasan adalah dasar yang diperlukan untuk menjalankan sistem pendidikan secara sesuai dengan pandangannya. Menurut Freire, kesadaran manusia, kontekstualitas materi pembelajaran, dan penghapusan hierarki antara guru dan murid merupakan beberapa aspek dari sistem pembelajaran yang ideal.

Guru dan kepala sekolah masih mempunyai kebebasan untuk mengembangkan kurikulum sekolah mereka sendiri dalam menginterpretasikan kurikulum nasional. Harapan kita, semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan akan memiliki semangat kemerdekaan sejati yang tercermin dari jiwa-jiwa yang merdeka, bukan hanya sekadar kurikulumnya saja yang merdeka.@

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *