ACADEMICS.web.id – Jangan hanyut dalam emosi dari pengalaman pahit yang dilalui. Cobalah latih diri untuk mendengarkan jeritan luka. Belajarlah perlahan memahami pesan yang dibawa oleh kesedihan dan duka tersebut. Dengarkanlah pesan yang ada dan raihlah hikmah yang pasti terselip di dalamnya.
Dalam salah satu bait puisinya, Jalaluddin Rumi menulis:
“Biarlah sang pencinta menjadi tercela, menjadi gila, menjadi linglung,
orang yang sadar akan khawatir tentang hal-hal buruk,
biarlah sang pecinta saja.”
Di sini, Rumi ingin menyampaikan bahwa saat seseorang benar-benar mencintai, tenggelam dalam rasa cinta yang dalam, ia tidak akan peduli dengan anggapan orang lain. Tidak peduli dianggap tercela, gila, linglung, atau segala hal buruk lainnya. Ia tak akan peduli.
Meskipun konteks puisi Rumi ini adalah cinta Ilahiyah, cinta kepada Allah, tetapi cinta kepada pasangan terkadang juga membawa seseorang ke level “tidak peduli” seperti ini. Bagi orang normal, pasti tidak suka disebut gila, bingung, atau tidak waras. Menurut Rumi, hanya pecinta sejati yang rela dicap dengan anggapan-anggapan buruk itu karena orang normal tidak akan sanggup. Bagi pencinta, tegas Rumi, kegalauan, kegelisahan, patah hati adalah sesuatu yang biasa. Hal-hal tersebut sama sekali tidak merisaukannya karena ia tidak merasakan kehilangan atau kekurangan apapun dari cintanya.
Gambaran di atas merupakan kondisi di mana jika seseorang mampu melakukannya, ia akan bahagia. Inilah yang disebut dengan kemampuan untuk menikmati penderitaan.
Selain sebagai seorang filsuf dan sastrawan, Jalaluddin Rumi juga dikenal dengan tarian putarnya, Dervishes Whirling (Tarian Darwis). Mengenai tari Darwis ini, Rumi mengatakan:
“Menarilah saat lukamu terbuka. Menarilah saat kamu telah merobek perbannya. Menarilah di tengah pertempuran. Menarilah dalam darah, dan menarilah pula saat kamu benar-benar bebas.”
Melalui bait ini, Rumi menggambarkan betapa terjalnya jalan cinta itu. Seorang akan terluka berkali-kali saat mencinta. Tapi tetaplah menari, menari, dan menari. Bahkan di tengah “pertempuran” sekalipun. Menarilah dalam genangan darah karena pada akhirnya ketika mampu menikmati segala penderitaan itu, sang pencinta akan merasakan kebebasan tanpa batas.
Sesungguhnya, ini merupakan pengalaman pribadi Rumi sendiri. Tarian Darwis yang terkenal itu pertama kali dilakukan Rumi ketika beliau terpuruk ke dalam kesedihan yang mengguncang akibat kematian gurunya, Syekh Syamsuddin Tibriz. Saat itu, beliau berada di sebuah tempat pandai besi yang dipenuhi suara tempaan besi. Suara berisik itu seakan mengiringi kesedihannya. Tanpa terasa, tubuhnya bergerak sendiri, menari dan berputar-putar tanpa henti. Inilah yang beliau sebut dengan bergerak (menari) dalam kesedihan. Kesedihan yang membekap jiwa dibawanya menari dan dihantarnya terbang naik menghadap Allah. Akhirnya, penderitaannya itu pun beliau nikmati.
Dengan memahami pesan-pesan yang terkandung dalam karya Rumi, kita diajak untuk tidak hanya menerima penderitaan, tetapi juga menemukan makna dan kebahagiaan di baliknya. Menikmati penderitaan bukan berarti menyerah, tetapi belajar menemukan keindahan dalam setiap luka, dan menjadikannya kekuatan untuk terus bergerak maju.@