ACADEMICS.web.id – Pada penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa pembentukan badan arbitrase syariah atau badan arbitrase muamalah bertujuan untuk mengantisipasi munculnya sengketa dalam transaksi muamalah sejak beroperasinya bank dan lembaga keuangan berbasis syariah. Kenyataannya, perselisihan dan sengketa dalam transaksi muamalah memang terjadi.
Dalam setiap akad transaksi yang dilakukan di bank dan lembaga keuangan syariah, diwajibkan untuk mencantumkan satu klausula yang menyatakan bahwa jika terjadi sengketa atau perselisihan dalam pelaksanaan akad transaksi tersebut, penyelesaiannya akan dilakukan melalui musyawarah. Apabila jalan musyawarah tidak berhasil, penyelesaian sengketa akan dilakukan melalui arbitrase syariah. Sebagai contoh, klausula ini dapat dilihat pada akad syariah di Bank Syariah Mandiri Pekanbaru sebagai berikut:
“Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam memahami atau menafsirkan bagian-bagian dari isi, perselisihan dalam melaksanakan akad ini, maka NASABAH dan BANK akan berusaha untuk menyelesaikan secara musyawarah dan mufakat”.
“Apabila usaha menyelesaikan perbedaan pendapat atau perselisihan melalui musyawarah untuk mufakat tidak menghasilkan keputusan yang disepakati oleh kedua belah pihak, maka dengan ini NASABAH dan BANK sepakat untuk menunjuk dan menetapkan serta kuasa kepada BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS) untuk memberikan putusannya, mnurut tata cara dan prosedur berarbitrase yang ditetapkan oleh dan berlaku di badan tersebut”.
“Putusan BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS) bersifat final dan mengikat”.
Namun demikian, masih terdapat bank dan lembaga keuangan syariah yang tidak atau belum mencantumkan klausula arbitrase pada setiap akad transaksi yang dilaksanakan. Hal ini memungkinkan terjadinya perselisihan di masa mendatang yang dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase dengan menggunakan akta kompromi, yaitu kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan mereka melalui arbitrase syariah.
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, baik di Bank Muamalat Indonesia maupun Bank Syariah Mandiri cabang Pekanbaru, dalam menjalankan aktivitas perbankannya, tidak terlepas dari permasalahan yang terkait dengan hubungan bank dengan para nasabah yang dapat menimbulkan sengketa muamalah. Permasalahan yang sering dihadapi oleh bank-bank syariah di cabang Pekanbaru adalah terkait dengan tunggakan pembayaran pinjaman nasabah, baik dalam bentuk mudharabah maupun murabahah.
Untuk menentukan adanya tunggakan bermasalah, bank-bank syariah di cabang Pekanbaru mengacu pada ketentuan Bank Indonesia (BI) tentang Kualitas Aktiva Produktif (KAP) yang didasarkan pada keteraturan pembayaran angsuran. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
- Lancar –> tunggakan 0 hari
- Dalam perhatian khusus –> tunggakan 1-90 hari
- Kurang lancar –> tunggakan 91-180 hari
- Diragukan –> tunggakan 181-270 hari
- Macet –> 271-…. hari.
Upaya yang dilakukan pihak bank syariah cabang pekanbaru untuk menyelesaikan masalah atau perselisihan tunggakan tersebut, sebagaimana yang tercantum dalam klausula akta akad, adalah dengan musywarah dan jalan damai (as-sulh) untuk mufakat antara pihak bank dengan para nasabah dengan pola restrukturisasi pembiayaan. Hal ini dapat dilakukan dengan dua pola yaitu:
- Rescheduling (penjadwalan ulang)
- Reconditioning (mengkondisikan ulang)
Rescheduling adalah suatu tindakan yang diambil dengan cara memperpanjang jangka waktu angsuran, yaitu memberikan keringanan kepada nasabah dengan perpanjangan waktu angsuran misalnya dari enam bulan menjadi satu tahun sehingga nasabah mempunyai waktu yang lebih lama untuk membayar angsurannya. Atau dapat juga terjadi memperpanjang jumlah angsuran misalnya dari 36 kali menjadi 48 kali, dalam hal ini tentu saja jumlah angsuran pun menjadi lebih kecil dari seiring dengan penambahan jumlah masa angsuran.
Adapun reconditioning yaitu upaya pihak bank dengan cara mengubah pola akad pinjaman dari murabahah menjadi mudharabah atau dengan mengubah pola angsuran, syarat-syarat transaksi dan memperpanjang waktu pembayaran angsuran. Dalam kondisi demikian, sesuai dengan kesepakatan pihak bank dan nasabah dibuatlah perjanjian baru dimana pihak bank memberikan tambahan dana kepada nasabah dengan pola mudharabah untuk menghidupkan kembali usaha pihak nasabah. Kemudian dengan musyawarah bank dengan nasabah disepakati adanya perubahan transaksi dari murabahah menjadi mudharabah dengan terlebih dahulu menghitung jumlah angsuran yang sudah dilunasi. Sisa tunggakan itulah kemudian diadakan perubahan transaksi mudharabah dan perubahan jangka waktu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Data lapangan menunjukkan bahwa masalah dan perselisihan yang terjadi antara pihak bank dengan nasabah seperti yang disebutkan di atas, dapat diselesaikan melalui jalur musyawarah dengan jalan damai. Selama ini, belum terdapat masalah atau perselisihan yang tidak bisa diselesaikan secara musyawarah dengan jalan damai sehingga belum ada kasus-kasus yang diselesaikan melalui badan arbitrase syariah. Sebenarnya ada juga kasus-kasus yang seharusnya diselesaikan melalui badan arbitrase syariah, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang sekarang menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) baru ada di Jakarta sehingga penyelesaiannya akan memakan waktu yang relatif lama dan biaya yang besar, karena semua sengketa harus dikirim ke Jakarta untuk diproses, sehingga semua kasus atau masalah yang terjadi diupayakan diselesaikan melalui pendekatan persuasif dengan cara musyawarah untuk mufakat.
Namun demikian, BASYARNAS yang berpusat di Jakarta telah banyak menyelesaikan sengketa-sengketa muamalah dimaksud salah satu contoh kasus yang diselesaikan oleh BASYARNAS adalah sengketa antara Bank Muamalat Indonesia (BMI Tbk) yang berkedudukan di Jalan Jendral Sudirman No. 2 Jakarta Pusat sebagai PEMOHON dengan Perseoran Terbatas (PT) yang beralamat di Jalan Otsita III Komplek I No. G.99 Cipinang Cempedak Jakarta Timur 13340, sebagai TERMOHON. Kasus yang diperselisihkan adalah pembiayaan mudharabah, dimana pemohon memberikan pembiayaan kepada termohon sebesar Rp.1.700.000.000,- (satu milyar tujuh ratus rupiah) dalam masa pengembalian 48 bulan terhitung dari tanggal 10 Juni 1997 sampai dengan 10 Juni 2001.
Bahwa memasuki tahun 1998, termohon telah mulai tidak kewajibannya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dan sejak tahun 2000 termohon telah tidak pernah memenuhi kewajibannya kepada pemohon, sehingga termohon telah melakukan inkar/cedera janji sebagaimana dimaksud dalam perjanjian mudharabah yang telah disepakati.
Berdasarkan hal tersebut BMI sebagai pemohon mengajukan permohonan kepada BASYARNAS untuk minta diselesaikan perkaranya. Setelah melaksanakan persidangan sesuai dengan prosedur berarbitrase, maka BASYARNAS memutuskan dengan putusan No.13/tahun 2004/Basyarnas/ka.jak memutuskan:
- Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.
- Menyatakan sah semua yang telah disepakati dalam perjanjian mudharabah di antara kedua belah pihak.
- Menyatakan sebagai hukum termohon telah melakukan kelalaian, cidera janji, atau wanprestasi terhadap pemohon.
- Menghukum kepada termohon untuk melunasi kewajibannya.
- Memberi izin kepada pemohon untuk menjual hak gadai saham atau mengoper surat-surat saham baik secara lelang atau dibawah tangan dan pemohon berhak mengambil uang penjualan saham tersebut.
- Menyatakan bahwa putusan ini bersifat final dan mengikat bagi kedua belah pihak.
Memperhatikan hal tersebut BASYARNAS telah berupaya mengembangkan sayapnya dengan membentuk perwakilannya di setiap provinsi yang telah beroperasi bank-bank syariah, termasuk Provinsi Riau yang telah diresmikan dengan Surat Keputusan Nomor: 01 Tahun 2005 tanggal 25 Mei 2005 dan telah pula ditetapkan para arbiternya dengan Surat Keputusan No. 01 Tahu 2006 yang dilantik tanggal 21 Januari 2006.
Dengan usia yang relatif muda, BASYARNAS perwakilan Riau tentunya belum maksimal melakukan sosialisasi ke lembaga perbankan dan keuangan syariah, sehingga untuk masa yang akan datang lembaga ini diharapkan dapat berperan lebih banyak dalam hal menyelesaikan perselisihan dan sengketa muamalah yang terjadi di lembaga-lembaga keuangan syariah.
Berfungsinya Arbitrase Syariah dalam penyelesaian sengketa muamalah seperti di perbankan syariah karena lembaga peradilan agama menurut UU Pengadilan Agama Nomor 7 tahun 1989 belum memiliki kewenangan menyelesaikan kasus sengketa muamalah. Memperhatikan perkembangan perbankan syariah yang semakin pesat, maka pemerintah melakukan amandemen pertama UU Pengadilan Nomor 7 tahun 1989 menjadi UU Pengadilan Agama Nomor 3 Tahun 2006. Dengan hasil amandemen pertama Pengadilan Agama diberi kewenangan menyelesaikan sengketa muamalah sebagaimana tertuang dalam pasal 49: Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a.perkawinan;
b.waris;
c.wasiat;
d.hibah;
e.wakaf;
f.zakat;
g.infaq;
h.shadaqah; dan
i.ekonomi syari’ah.”
Kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu itu. hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari’ah. Penyelesaian sengketa mengenai ekonomi syariah tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya kemudian yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai halhal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.
Dengan diberikannya kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa muamalah, maka ada kecenderungan masyarakat penggiat usaha ekonomi syariah lebih memilih jalur litigasi melalui Pengadilan Agama dari pada jalur non-litigasi melalui Badan Arbitrase Syariah dengan pertimbangan ada kepastian hukum, dapat mengajukan banding maupun kasasi dan mudah lebih mudah dieksekusi. Kelemahan mendasar dari Badan Arbitrase Syariah adalah eksekusinya mesti atas perintah pengadilan.@