PERSOALAN DINAR-DIRHAM SEBAGAI MATA UANG ISLAM, APA BEGITU…?

Sofiandi, Lc., MHI., Ph.D

banner 468x60

ACADEMICS.web.id – Begini.., kita awali dengan analogi simple sajalah. Sebab diskusi tentang hal ini terkadang sampai pada argumentasi yang justru illogic. Maka saya tidak ingin membuatnya semakin tidak jelas hingga akhirnya memilih sedikit mengambil shortcut untuk tidak banyak bertele-tele dan langsung pada point yang diangkat. Pasti (jika bukan mungkin) akan terkesan bagi sebagian orang sangat simplimatis namun saya coba untuk membuatnya tetap utuh dengan argumentasi yang tidak alakadarnya.

Tercatat dalam sejarah bahwa dinar-dirham (sebut saja dinar) memang terbukti digunakan  oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dalam semua jenis aktifitas dan transaksi ekonomi mereka sehari-hari pada masa itu. Yang ingin saya highlight disini, pertama, adalah kalimat “pada masa itu”. Kedua, jangan dulu kita ambil konklusi bulat disini bahwa dinar mutlak merupakan mata uang Islam, tidak mesti begitu. Sebab, hal ini sama saja dengan kuda atau unta yang notabene kendaraan yang jamak digunakan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau pada masa itu namun apakah cukup beralasan untuk kita labelkan kuda dan unta sebagai kendaraannya Islam. Disinilah titik dimana kita bisa beranjak dalam diskusi ini bahwa tidak mesti apa yang ada dan digunakan pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat harus dianggap sebagai “milik” nya Islam.

banner 336x280

Kenapa demikian? Logikanya sederhana, dinar dipakai Nabi Muhammad SAW karena sejatinya itu yang digunakan pada masa Beliau. Demikian halnya dengan kuda atau unta tadi, bahwa Nabi Muhammad SAW menunggang kuda sebagai alat transportasi karena memang kendaraan tercepat pada masa itu yang biasa digunakan adalah kuda. Seandainya saja pada saat itu sudah ada “kuda jingkrak” atau paling tidak gojeknya Mas Menteri, pastilah itu yang dimanfaatkan. Dan faktanya, semua itu (kuda, unta, dll) sudah dipakai bangsa dan umat agama lain jauh sebelum Islam diikrarkan oleh Nabi SAW.

Lantas bagaimana dengan pertanyaan diawal? Harus kita pahami bahwa Allah SWT tidak pernah secara eksplisit dan khusus mengeluarkan perintah kepada manusia untuk menggunakan mata uang dari jenis tertentu atau alat tukar menukar tertentu. Demikian juga Nabi SAW tidak pernah pula bersabda kepada sahabat-sahabatnya untuk menggunakan dinar dan tidak menggunakan alat jenis lain dalam aktifitas ekonomi mereka. Tidak pernah ada aturan semacam itu dalam Islam. Yang ada hanyalah Islam mengatur prinsip-prinsip aktifitas ekonomi yang berdasarkan role of play yang ada dalam Alquran, sunnah, qiyas, ijma dan logika. Dalam hal mata uang, Islam hanya mengatur prinsip-prinsip transaksi yang secara garis besar meliputi larangan riba, gharar, menipu, merugikan orang lain, dan larangan mendholimi atau mencuri/merampas hak orang lain, serta penegakan prinsip keadilan, prinsip keseimbangan serta  transaksi keuangan yang jelas dan tercatat. Begitulah kira-kira prinsip yang Allah SWT dan NabiNya kehendaki. Adapun soal teknisnya sendiri bisa berubah-rubah karena itu tergantung pada kondisi dan situasi yang berlaku.

Saat ini memang marak jargon “kembali seutuhnya kepada Alquran dan Sunnah” yang dipromosikan oleh orang-orang dari golongan tertentu. Mereka beranggapan bahwa apa yang ada dalam Alquran dan Sunnah harus diimplementasikan sesuai dengan yang tertulis dan tak ada ruang untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman.  Mereka inilah yang meneriakkan jargon kaffah sempit seperti itu dimana dinar dianggap suatu yang bersifat ta’abbudiyah sehingga wajib bagi muslim untuk kembali kepadanya. Adapun mata uang yang diakui penggunaannya pada masa ini dianggap bagian dari prilaku pembangkangan kepada wahyu yang oleh karenanya mesti dilawan.

Mereka sangat lihai menggambarkan kerugian pemakaian mata uang nominal (fiat money). Diilustrasikan bahwa seseorang yang bepergian melintasi berbagai negara, harus menukarkan uangnya. Setiap kali ditukar, nilai uangnya akan berkurang karena selisih kurs jual dan kurs beli yang ditetapkan. Setelah sekian kali melewati batas negara, uang itu akan habis tanpa dibelanjakan. Kalau memakai dinar, penukaran itu tidak diperlukan karena ia merupakan emas dan emas berlaku di mana saja dengan nilai yang relatif sama.

Kalau didengar sekilas, tanpa dicermati, memang indah dan ideal. Tapi fakta sejarah menunjukkan bahwa mata uang emas dan perak yang pernah digunakan dulu itu telah ditinggalkan. Hal ini tidak terjadi tanpa sebab. Justru ia ditinggalkan sama seperti sebab manusia meninggalkan kuda sebagai alat transportasi atau pedang sebagai senjata. Alasannya, karena sudah ada yang lebih baik. Sekarang sudah ada mobil di darat dan mobile (baca: mobail) di “atas darat”. Bahkan sekarang sudah ada pelatuk dan tombol yang tinggal ditekan dari jauh, musuh pun jatuh.

Demikian juga dengan mata uang intrinsic (emas perak) ini. Ia ditinggalkan dan tidak lagi dipakai karena sudah tidak patut dipakai pada zaman modern ini. Bahan bakunya saja semakin sulit didapat. Memecahnya menjadi pecahan yang lebih kecil juga repotnya bukan main. Apalagi membawa dan mengangkutnya, berat bro… Memangnya bisa santai langkah kaki ente bawa sekantong koin emas ke tanah abang?

Kita tidak bisa membelenggu diri sendiri karena saat ini dunia sedang bergerak meninggalkan mata uang intrinsik, menuju mata uang digital. Coba perhatikan betapa makin jarangnya kita pegang uang. Terkadang kalau dihitung kasar, paling uang dikantong kita cuma seberapa, sisanya digital. Bahkan prilaku ekonomi kita sekarang serba online, transfer dan e-money. Tak lama lagi, jangan kaget kalau uang kertas anda tak lagi laku dipakai.

Jangan berpikir saya anti ekonomi Islam. Justru latar belakang pendidikan saya adalah ekonomi Islam, santri pula lagi yang sudah terbiasa dengan bacaan kitab gundul nan kuning. Yang ingin saya hadirkan disini adalah pemahaman tentang the teachings of Islam dan pengamalannya yang tak lekang oleh zaman. Artinya, Islam adalah agama yang menzaman. Sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia dan fleksibel dalam menjawab kepentingan kehidupan sampai akhir zaman. Itulah kenapa ajaran Islam 14 abad lalu telah diikrarkan paripurna.

Sekarang terserah kita memahaminya, apakah wajib kembali ke dinar karena ia dianggap “mata uang Islam”, atau kita ikut berkembang sesuai dengan tantangan kehidupan? Saya lebih memilih beli tiket online dan naik pesawat dari Batam ketimbang menunggang kuda ke Jakarta, apalagi unta. Wallau a’lam bi Ashowab.@

Penulis:

Sofiandi, Lc., MHI., Ph.D

Research Fellow di beberapa lembaga seperti Fath Institute for Islamic Research Jakarta, IRDAK Institute of Singapore, Asia-Pacific Journal on Religion and Society, Institute for Southeast Asian Islamic Studies, Islamic Linkage for Southeast Asia, Dosen IAI Arrisalah, Anggota Dewan Masjid Indonesia, Ketua Dewan Pembina Badan Koordinasi Muballigh Indonesia Prov. Kepri, Anggota ICMI Prov. Kepri, Pemimpin Redaksi ACADEMICS TV, Direktur Swara Akademika Indonesia Foundation, Pembina Ikatan Wartawan Online Indonesia Prov. Kepri.

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *