Waduh, Indonesia Terancam Jebakan Middle Income Trap

Peringatan dari Guru Besar IPB

banner 468x60

ACADEMICS.web.id – Seorang Guru Besar Ekonomi Politik dari Fakultas Ekonomi Manajemen Universitas IPB Didin S Damanhuri mengingatkan bahwa Indonesia terancam untuk terjebak dalam middle income trap atau jebakan pendapatan menengah. Hal ini sangat mungkin terjadi jika Indonesia menerapkan paradigma pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tinggi (GDP Oriented). Bahkan tak hanya itu, ia juga mewanti-wanti bahwa GDP Oriented ini juga berdampak pada kebocoran dan korupsi.

“Dampak jika Indonesia menjadikan pertumbuhan ekonomi tinggi atau GDP Oriented tanpa memperhatikan faktor-faktor lain bisa berdampak, salah satunya Indonesia terancam Middle Income Trap,” ujar Didin dalam diskusi ‘Refleksi Dinamika Perjalanan Bangsa Tahun 2023 dan Proyeksi 2024

banner 336x280

Didin memaparkan tiga model orientasi pembangunan ekonomi yang biasa diterapkan oleh negara-negara berkembang. Pertama, model PDB hanya sebagai faktor indikatif atau pertumbuhan Ekonomi tersebut dicapai melalui Pemerataan growth through Equity. Kedua, model Pertumbuhan Ekonomi Bersama Pemerataan (Growth with Equity) dimana Indonesia pada masa Orde Baru menerapkan model tersebut dengan rata-rata pertumbuhan 7,5 persen.

Sementara itu, Indonesia di era reformasi hingga saat ini justru mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi dengan menerapkan model ketiga yakni Model Orientasi Pertumbuhan Ekonomi at all cost (GDP Oriented). Hal ini tercermin dari program privatisasi besar-besaran pada 2000 – 2014 dan melalui utang luar negeri dan pembangunan Infrastruktur fisik besar-besaran mulai tol, pelabuhan udara dan laut, LRT, MRT, IKN dan lain-lain pada 2014-2023.

Menurutnya, pembangunan yang sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi justru dinilai tidak berpihak kepada kesejahteraan rakyat dan malah justru makin menajamkan ketimpangan. Hal ini disebabkan karena penyusunan RAPBN dan RAPBD akan tetap memilih alokasi Fiskal, moneter dan perbankan yang sensitif terhadap pertumbuhan PDB/PDRB. Karena makin padat modal dan teknologi dan makin rendah penyerapan tenaga kerja.

Selain itu, Model GDP Oriented juga berdampak pada ekosistem yang menyuburkan oligarki bisnis. Dengan sistem politik dan Pemilu yang “High Cost” menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan yang semakin tidak menyejahterakan rakyat. Tak hanya itu, GDP Oriented ini juga berdampak pada kebocoran dan korupsi.

Oleh karena itu, diperlukan langkah perubahan, salah satunya orientasi pembangunan harus lebih inklusif dan berkeadilan sosial dalam paradigma pembangunan. “Menggeser orientasi pembangunan yang terlalu GDP Oriented ke arah sustainable growth (ekonomi, sosial, dan ekologi) with equity,” ujarnya.

Selain itu, Didin juga menilai perlunya memperbaiki kelembagaan institusi sosial-ekonomi seperti Bulog, KPPU dan KPK. Ditambah dengan tujuan mengurangi ketimpangan dalam rangka mencapai pemerataan serta menciptakan pasar yang lebih sehat.

Ia menilai GDP sebagai faktor indikatif yang harus diikuti oleh tujuan mencapai keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi serta target pemerataan dengan indikator yang kongkrit dan terukur dari waktu ke waktu. Hal ini juga harus sejalan dengan kebijakan fiskal, moneter, perbankan dan tata ruang  secara nasional dan daerah-daerah.

“Reforma pengelolaan fiskal dan moneter yang terlalu terkonsentrasi di kementrian keuangan perlu direform dengan dipisah di mana Bappenas sebagai perencana peereonomian nasional sekaligus sebagai pengelola otoritas fiskal bersama kemenkeu, Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter dan ada badan penerimaan pendapatan negara,” ujarnya.@

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *