KENAPA BERCIUMAN SEMPAT DILARANG DALAM SEJARAH ABAD PERTENGAHAN?

banner 468x60

ACADEMICS.web.id – Pada tahun 1439, Raja Henry VI mengeluarkan larangan berciuman di Inggris, suatu keputusan yang dicatat dalam sejarah Abad Pertengahan dan dipicu oleh wabah Black Death atau Kematian Hitam. Keputusan ini mencerminkan kondisi sulit yang dihadapi Inggris pada periode tersebut, terutama selama Perang Seratus Tahun yang telah berkecamuk sejak tahun 1337.

Perang tersebut, awalnya membawa kemenangan besar bagi Inggris, namun pada tahun 1430-an, situasinya mulai berubah, dan negara ini menghadapi tantangan kehilangan wilayah dan tekanan terhadap sumber daya manusia. Era ini ditandai oleh ketegangan politik, di mana monarki di bawah kepemimpinan Raja Henry VI yang masih muda, menghadapi konflik internal dan ancaman eksternal.

banner 336x280

Dalam lanskap politik yang sulit ini, Gereja memainkan peran kunci dalam membentuk norma dan perilaku masyarakat. Otoritas gerejawi bertujuan untuk menjaga ketertiban moral dan seringkali mengambil peran aktif dalam menerapkan peraturan terkait masalah pribadi. Larangan berciuman dapat dipandang sebagai ekspresi dari pengaruh Gereja yang berkembang, mencerminkan kekhawatiran akan kesehatan masyarakat dan moralitas.

Keputusan Raja Henry VI untuk melarang berciuman bisa dilihat sebagai upaya untuk merespons kondisi darurat yang dihadapi negara pada saat itu, serta sebagai tindakan preventif untuk melawan penyebaran penyakit yang mematikan. Larangan ini juga mencerminkan peran kuat Gereja dalam membentuk norma sosial pada masa itu, dengan fokus pada menjaga kesehatan dan moralitas masyarakat.

Salah satu tantangan paling mendesak pada saat itu adalah ancaman berkelanjutan dari Black Death, wabah mematikan yang melanda Eropa sejak muncul pertama kali pada tahun 1347.

Pada tahun 1439, Raja Henry VI mengambil langkah drastis dengan mengeluarkan proklamasi yang melarang ciuman. Keputusan tersebut diambil karena Raja merasa bahwa larangan berciuman adalah langkah terbaik untuk melindungi nyawa rakyatnya. Dalam situasi di mana berbagai upaya ilmiah untuk mencegah penyakit ini telah gagal, larangan berciuman dianggap sebagai solusi yang paling tepat.

Larangan ini diberlakukan di seluruh Inggris, dan dengan adanya aturan ini, masyarakat dilarang untuk berciuman sebagai bentuk sapaan.

Wabah Kematian Hitam pertama kali muncul melalui kutu yang menyerang tikus sebelum menyebar di Inggris. Kasus pertama penyakit ini pada manusia tercatat pada bulan Juni 1398. Ketika banyak keluarga terinfeksi, kematian mereka menjadi tak terhindarkan.

Sebanyak 30-40 persen orang yang terinfeksi penyakit ini mengalami kematian. Bagi mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, penyakit ini dapat menyebar dan mematikan lebih cepat.

Gejala Kematian Hitam melibatkan muntah, keringat berlebihan, bercak memar di bawah kulit, kehilangan kendali atas fungsi otot, dan munculnya nanah hitam di bawah lengan dan selangkangan. Situasi tersebut menciptakan kondisi yang membutuhkan tindakan drastis, seperti larangan berciuman, sebagai bagian dari upaya menyelamatkan nyawa dan memerangi penyebaran penyakit yang mematikan.

Banyak korban Black Death meninggal dalam rentang waktu empat hingga tujuh hari setelah terinfeksi, dan dengan penyebaran wabah ke seluruh Inggris, tingkat kematian mencapai 80 hingga 90 persen. Diperkirakan sekitar 25 juta orang di Eropa tewas akibat wabah ini, dan sekitar 1000 desa hilang.

Dalam menghadapi lonjakan angka kematian dan eskalasi krisis, Raja Henry VI dari Inggris merasa terpaksa untuk merancang rencana guna melindungi rakyatnya. Ketakutan akan penularan menyebabkan pihak berwenang bersikeras menerapkan langkah-langkah yang dapat mengekang penyebaran penyakit ini.

Larangan berciuman, suatu tindakan yang pada pandangan umum tampak intim dan tidak berbahaya, dianggap sebagai strategi pencegahan untuk menghentikan penularan wabah, meyakini bahwa penularan dapat terjadi melalui tindakan tersebut. Selain dari aspek kesehatan, otoritas gerejawi juga berusaha menjaga moralitas dalam masyarakat dan seringkali terlibat dalam mengatur perilaku pribadi dan hubungan.

Berciuman, terutama di depan umum, dianggap sebagai tindakan yang berpotensi melanggar norma kesopanan dan tata krama, dan oleh karena itu, larangan ini dilihat sebagai langkah yang diperlukan untuk menjaga tatanan sosial dan moralitas di tengah pandemi yang mengancam.

Larangan tersebut sebagian besar merupakan usaha untuk menegakkan standar moral tertentu dan mengendalikan perilaku yang dianggap tidak pantas atau kurang senonoh. Pihak berwenang, baik yang bersifat agamis maupun kerajaan, berupaya mempertahankan kendali dan menjaga ketertiban di tengah periode yang ditandai oleh perang, ketidakstabilan politik, dan konflik sosial.

Larangan terhadap berciuman diartikan sebagai alat untuk memperkuat otoritas dan mengatur perilaku masyarakat, mencerminkan sejauh mana pemerintah dapat campur tangan dalam hal ini.

Hukuman yang dijatuhkan jika aturan tersebut dilanggar dirancang secara khusus untuk memberikan rincian tentang sanksi yang akan diterima pelanggar. Jika ada warga yang melanggar larangan tersebut, hukumannya dapat mencakup denda hingga hukuman yang bersifat mempermalukan di hadapan publik. Tujuan dari hukuman ini adalah untuk mencegah individu melakukan tindakan yang melanggar larangan dan untuk menegaskan seriusnya pelanggaran tersebut.

Dalam catatan sejarah Abad Pertengahan, penegakan larangan tersebut dipercayakan kepada otoritas lokal dan pejabat gereja. Tugas mereka melibatkan pemantauan perilaku masyarakat dan memberikan hukuman kepada mereka yang melanggar larangan tersebut.

Beberapa anggota masyarakat menerima larangan ini sebagai tindakan yang diperlukan untuk mengendalikan penyebaran penyakit dan menjaga ketertiban moral. Dengan rela, mereka menyesuaikan perilaku mereka dengan kondisi saat itu untuk mematuhi norma baru yang diberlakukan.

Namun, sebagian lainnya memandang larangan ini sebagai pelanggaran terhadap kebebasan pribadi dan dianggap melampaui batas kewenangan pemerintah. Pandangan ini mencerminkan ketidaksetujuan terhadap campur tangan pemerintah dalam urusan pribadi dan menyoroti ketegangan antara kebebasan individu dan tindakan otoritas dalam menghadapi krisis kesehatan dan sosial.

Tindakan pembangkangan dan ciuman rahasia menjadi simbolis sebagai isyarat perlawanan, di mana individu berusaha untuk menavigasi batasan antara kepatuhan dan kebebasan. Kenyataannya, larangan tersebut hampir tidak mungkin ditegakkan secara konsisten karena pihak berwenang tidak dapat berada di mana-mana sekaligus.

Dampaknya, hanya sedikit orang yang dihukum karena tidak patuh terhadap larangan tersebut. Seiring berjalannya waktu, hukum tersebut pun tidak lagi ditegakkan dalam catatan sejarah Abad Pertengahan. Hal ini mencerminkan tantangan nyata dalam menerapkan larangan semacam itu secara efektif di tengah masyarakat yang mungkin merasa tidak setuju atau sulit diawasi.@

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *