PENDIDIKAN MODERASI BERAGAMA DALAM KURIKULUM PESANTREN | Zulham Afandi

Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, Prodi Hukum Keluarga Islam, UIN Suska Riau

banner 468x60

Dunia pendidikan Islam saat ini membutuhkan sikap moderat yang dimiliki oleh setiap orang yang mengaku dirinya memahami ajaran Islam khusunya dalam pendidikan pesantren. Fokus tulisan ini adalah bagaimana praktek moderasi Islam yang ada dalam pendidikan pesantren.Signifikasinya terletak pada penelusuran model pengajaran berbasis moderasi agama yang diterapkan di pesantren klasik/tradisionaldan pesantren modern. Hasil penelitianini menunjukkan bahwa model moderasiagama pada pesantren klasik menerapkan moderasi agama dari konsep washatiyahdan al-ghulu yang diajarkan melalui kitab-kitab turats.Setiap pembelajaran santri dengan kitab apapun, tidak dilepaskan dari konsep saling menghargai sesama agama,menghormati dan saling membantu sebagaimana dicontohkan rasulullah dalammenghargai kafir dzimmi.Pesantren modern tidak hanya mengajarkan pengetahuanagama saja,melainkan memberikan kebebasan kepada santri untuk mengambil konsentrasi sendiri namun penguasaan agama diharuskan.Konsep moderasi yangdiajarkan oleh Islam adalah bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Hadits,yangmenyebutkan bahwa umat Islam harus bersikap dan bertindak sebagai umatyang berada di tengah-tengah (ummatan wasatan),yang menegakkan kebenaran (haq)dan menghalau kekeliruan (batil).

ACADEMICS.web.id – Akhir-akhir ini kehidupan umat beragama di Indonesia mengalami dinamikayang cukup keras. Terutama karena munculnya kasus-kasus radikalisme danterorisme yang berlatarkan pemahaman dan ideologi agama. Padahal pemerintahIndonesia telah menerbitkan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang mengatur tata kehidupan beragama yang harmonis. Maraknya aksi radikalisme danterorisme tersebut telah menempatkan umat Islam yang dipersalahkan.

banner 336x280

Menurut Yenny Wahid bahwa masyarakat yang terpaparekstremisme danradikalisme di Indonesia, mencapai 7,7persendari total populasi penduduk yang lebih dari 200 juta jiwa.Jumlah terdampak yang cukup besar ini memahami ajaran jihad secara literlik, yaitu perang. Bahkan mereka membenarkan dan mendukung Tindakan dan gerakan radikal, mencakup pemberian dana, materi sampai melakukan penyerangan terhadap rumah agama. Padahal jihad tidak hanya soal perang sebagaimana didapati di beberapa hadis, jihad adakalanya berbentuk ibadah haji,bersungguh mencari keridhaan Allah swt., bersabar menahanhawa nafsu, berkatayang benar di hadapan penguasa dst.Dan dari sekian makna jihad1, justru menjaga dan mengalahkan hawa nafsu dalam diri dapat dikatakan lebih sulit dari berjuang menghadapi musuh yang nyata dalam peperangan.

Latar belakang bangsa Indonesia yang multikultural menjadikan moderasi Agama sebagai sebuah keharusan dalam menjaga persatuan dan kesatuan.Dalam konteks kekinian, Pesantren mampu memerankan diri sebagai benteng pertahanan dari imperialisme budaya yang begitu kuat mewarnai kehidupan masyarakat,khususnya di perkotaan.Perkembangan pesantren dengan system pendidikannya mampu menyejajarkan diri dengan pendidikan padaumumnya.Merujuk pada Undang-undang No. 20 tahun2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,posisi dankeberadaan pendidikan Pesantren memiliki tempat yang sama dengan pendidikan umum lainnya tanpa dikotomi.Ia merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional.

Pesantren adalah embrio pendidikan Islam yang telah lama mengakar di bumi Nusantara. Pesantren merupakan salah satu Lembaga pendidikan Islam khas di Indoensia yang memiliki reputasi global dalam mencetak manusia yang memiliki keseimbangan otak dan hati.Pesantren sebagai salah satu asset bangsa perlu moderasi yang menjadi penentu keberlanjutan sistem kerukunan etnis dan agama di Indonesia.

Kehadiran pesantren dikatakan unik karena dua alasan yakni pertama,pesantren hadir untuk merespon terhadap situasi dan kondisi suatu masyarakat yang dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral atau bisa disebut perubahan sosial. Kedua,didirikannya pesantren adalah untuk menyebarluaskan ajaran universalitas lslam ke seluruh pelosok nusantara.

Dinamika kehidupan pesantren pada umumnya secara tidak langsung menjadi subkultur pertumbuhan,perkembangan dan dinamika yang secara luas terjadi dalam kehidupan masyarakat.Pesantren tidak dapat menghindar dari segala bentuk perubahan,perbedaan bahkan pertentangan individu maupun kelompok yang terjadi dan menjadi bagian dari pesantren ataupun dalam hubungannya dengan masyarakat atau pihak luar.Oleh karena itu, pesantren dituntut untuk dapat menghadapi serta beradaptasi dengan situasi keragaman, perbedaan dan perkembangan tersebut.

Belakangan ini, sering kali banyak ditemukan munculnya situasi perbedaandan perdebatan yang terjadi di kalangan masyarakat. Salah satu contohnya adalah sering kali terjadi kekerasan, kerusuhan hingga bahkan kasus pertikaian antar masyarakat dan yang lebih mengenaskan lagi kejadian tersebut hanya sering kali dilatar belakangi ketidak tahuan dan ketidak sadaran mereka serta kesalah pahaman antara dua belah pihak dan ada pula yang dilatar belakangi oleh kepentingan politik semata. Oleh karena itu lahir danadanya pesantren seharusnya menjadi wadah utama dan menjadi suri tauladan bagi masyarakat dalam menanggulangi situasi seperti itu.

Disinilah peran pesantren menjadi benteng agama, budaya dan sosial dipertaruhkan.Bahkan pesantren diharapakan sebagai institusi yang memiliki basis kekuatan “Indegeanous cultural” atau bentuk kebudayaan asli dari kekayaanagama dan budaya.Menghahadapi era revolusi industri 4.0, tantangan yang akanterus dihadapi pesantren adalah bermetamorfosis menjadi lembaga yang memilikifungsi transformasi kultural baik dari dunia realitas maupun dunia maya.

Pada problem inilah, hendak ditempatkan dengan mengusungderadikalisasi agama melalui model pengembangan pada kurikulum Lembaga pendidikan Islam, utamanya pondok pesantren. Dalam penemuan ini sangatdiperlukan gerakan review kurikulum di pesantren untuk meneguhkan pengetahuan tentang moderasi beragama.

Paradigma Pendidikan Pesantren

Setiap agama memerlukan komunitas masyarakat untuk melestarikannilai-nilai moral yang dibawa agama tersebut. Hal itu akan membentuk suatutradisi yang akan terus berkembang. Karena itu, antara nilai-nilai moral yang dibawa agama dan tradisi masyarakat merupakan hubungan simbiosis yang salingmengisi satu sama lain. Dalam hal ini pesantren, merupakan simbiosis antara pelestarian nilai-nilai moral yang sudah menjadi tradisi dan bahkan menjadilembaga keagamaan (Islam) di tengah masyarakat.

Pada tataran realitas, potret pendidikan pesantren senantiasabersentuhan dengan realitas sosial. Karena itu, kehadiran pesantren sebagaiinstitusi pendidikan dan sosial di tengah-tengah masyarakat diharapkan dapatmemainkan perannya secara dinamis dengan membawa visi (rahmatanlil’alamin), yaitu mengedepankan prinsip saling menghargai, menjaga kerukunandan perdamaian dunia,namun terlepas dari konteks tersebut sistem pendidikanpesantren seringkali direduksi sekelompok yang berpahamkan radikal untukmenjustifikasi terjadinya kekerasan atas nama agama.

Pada konteks tersebut, pendidikan pesantren diharapkan dapat menjadigarda terdepan untuk mengembalikan ajaran Islam universal dengan mengambiljalan tengah (wasathiyah), dalam membangun moderasi Islam diIndonesia,dengan melalukan rekonseptualisasi terhadap nilai sosial dimaksud.Karena itu,kembali pada historisitas kultural dan menginternalisasikan nilai-nilai sosial di atas sebagai paradigma Pendidikan islam moderat.

Secara teoritik, pendidikan pesantren difahami sebagai pandangan Islamyang menyeluruh terhadap konsep pendidikan Islam bercirikan khas Islamuniversal (kaffah) yang dilandasi nilai-nilai ilahiyah dan insaniyah. Pandangantersebut secara holistik diharapkan dapat menjadi landasan konseptual dan operasional penyelenggaraan pendidikan Islam moderat sesuai dengan karakter kebangsaan ditengah keberagaman masyarakat Indonesia sehingga mampumengilhami tindakan individu. Karena itu, pendidikan Islam yang tertutup(eksklusif) tidak lain disebabkan oleh pemahaman terhadap keislaman secaraliteral dan tekstualis,sehingga mengakibatkan lahirnya pemahaman yang sempitdan berujung pada sikap anarkisme dan pengkafiran sampai dengan mengusung pesan suci atas nama Tuhan.

Padahal pada hakikatnya pesan-pesan keagamaan bagaikan samudra luas yang di dalamnya terkandung untaian perkalimat,perlambang dan tidak jarangdiungkapkan dalam kata-kata dan metafor atau makna bersayapnya. Suatu tekspesan keagamaan hanya dapat dimengerti teks kandungannya secara pasti olehWujud yang menciptakan-Nya. Karena itu, sejak beberapa dekadeterakhir,terjadinya tindakan sosial dengan atas nama agama dapat ditafsirkan oleh pemahaman mengenai keagamaan terutama di bidang pendidikan yang kuranginklusif, pandangan tersebut sebagaimana dijelaskan Charlene Tan dalam EdiSusanto,mempertanyakan kembali transformasi potret pendidikan IslamIndonesia, yang diklaim sebagai (penetration pacifique) bersifat dogmatis daneksklusif.Pemahaman tersebut, semakin menguat dengan masuknya pahamIslam transnasional, sebagaimana tindakan intoleransi yang menciderai keislamandi Tanah Air,melalui berbagai gerakan yang mengatasnamakan Islam danmengakibatkan terjadi berbagai tindakan kekerasan sosial.

Pandangan tersebut, menjadi dasar pijakan lahirnya karena padahakikatnya paradigma pendidikan Islam moderat meneguhkan kajiankelslaman. Karena itu model pendidikan Islam pesantren, dengan menghargaisegala bentuk perbedaan, demi menjaga perdamaian, dengan tetapberpedoman pada al-Quran dan al-Hadits, sebagai fondasi utama dalammembangun paradigma pendidikan dimaksud, sehingga dapat melahirkan(ukhuwah islamiyyah, ukhuwah wataniyyah, dan insaniyah) sebagaimanayang telah lama menggakar dalam kultur pesantren sebagai bagiandari sistempendidikan Islam. Demikian potret pendidikan Islam ini diharapkan dapatmenjadi (rahmatan lil’alamin), bukan sebaliknya difahami secara formalistikdan ideologis.

Karena itu, potret pendidikan Islam moderat melalui rekonstruksi nilai-nilai pesantren dipandang sebagai sebuah keniscayaan dan menjadi bagian dalammelahirkan pendidikan islam inklusif, pandangan ini disamping sebagai upayauntuk penjawentakan nilai-nilai ajaran Islam sesuai dengan kondisi sosial-dankultural masyarakat yang plural seiring dengan berkembangnya arus globalisasi dewasa ini.

Paradigma pendidikan Islam moderat lebih menempatkan nilai-nilaidalam Islam sebagai pilar (rahmatan lil’alamin) terhadap semua kalangandengan cara membangun kesadaran setiap personal dan mengangkat harkatkemanusiaan universal, disamping juga mengedepankan etika sosial danmembawa pesan-pesan perdamaian. Sebagaimana Rachman menjelaskan,pendidikan Islam di Indonesia membutuhkan cara pandang baru mengenaifaham-faham keagamaan yang lebih terbuka untuk membangunkemaslahatan sosial. Karena itu, sistem nilai pesantren diyakini sebagai nilaiuniversal dan menjadi core value(nilai inti) pendidikan Islam masa depan,dengan merefleksikan kembali pendidikan Islam yang acceptable di tengah-tengah keragaman masyarakat yang pluralistik.

Mengurai Model Pendidikan Pesantren Berbasis Moderasi

Menurut Dhofier, setiap pesantren berkembang melalui cara-cara yangbervariasi. Pesantren sendiri, menurut Dhofier, terbagi ke dalam dua kategori, yaitu salafi dan khalafi. Sedikit berbeda dengan Dhofier,Abdullah Syukri Zarkasyimengklasifikasikannya ke dalam tiga kategori, yaitu pesantren tradisional,pesantren modern, dan pondok pesantren perpaduan antara tradisional danmodern.Berdasarkan hasil survey Departemen Agama, jumlah pesantren diIndonesia mencapai 14.656 unit. Dari jumlah tersebut, pesantren tradisionalberjumlah 9.105 unit, pesantren modern 1.172 unit, dan pesantren terpadu 4.370unit.

Pada bagian iniakan dijelaskan model moderasi Agama pada pesantren tradisional dan modern.

1. Model Moderasi Agama pada Pesantren Tradisional

Istilah pesantren klasik memiliki dua bentuk pemahaman;pesantren tuayang telah lama eksis dan pesantren yang metode pembelajarannya menggunakancara-cara klasik. Pesantren klasik identik dengan metode pembelajaran turats dan menggunakan sistem ceramah. Santri difokuskan untuk belajar ilmu agama secaratotal yang bersumber dari kitab klasik, baik kitab tersebut berhaluan syafi’iyah,hanafiah, hanabilah maupun malikiyah.

Konsep”al-wasathiyah” yang dikembangkan pesantren klasik di Indonesia,berotasi tentang akidah(keyakinan), ibadah(pelaksanaan hukum dan ritualkeagamaan), dakwah (syiaragama), dan akhlak (etika). Keempat fremis ini diajarkandandisampaikan kepada masyarakat melalui kegiatan-kegiatan halaqah danpengajian umum sebagai bentuk tanggung jawab keilmuan. Fremis ini dikembangkan sedemikian rupa sampai membentuk pola pikir masyarakat yang moderat.

Sebagai cendikiawan yang diakuipemahaman keagamaannya di masyarakat,santri diajarkan metode pemahaman dan pengamalan teks-teks keagamaan yangditandai dengan beberapa ciri yaitu;

1) pemahaman terhadap realitas (fiqh al-waqi’);

2) pemahaman terhadap fiqh prioritas (fiqh alauwlawiyyat);

3) pemahamanterhadap konsep sunatullah dalam penciptaan mahluk (fiqh al-alam);

4) pemahamanterhadap tekstekskeagamaan secara komprehensif (fiqh al- Maqasid).

Pemahamanini merupakan bekal untuk menguasai budaya,watak masyarakat, tujuan syariah dankondisi eksternal dimasyarakat.

Dalam interaksi dengan masyarakat luas, terutama dalam pergaulan mereka sehari-hari, para santri di beberapa wilayah dituntut oleh lembaga pesantren yang mengirim mereka kedaerah-daerah untuk tidak mudah mendiskriminasi orang lain,terlebih mengkafirkannya tanpa sebab yang jelas. Dalam keyakinan mereka, hal tersebut dilarang dikarenakan akan menimbulkan kekacauan di kalangan masyarakat dan berimplikasi terhadap hukum yang menjadi lebih rumit dan berbuntut panjang.

Selain melarang untuk dengan mudah mengkafirkan orang lain dan menyeru untuk bekerja dan beraktifitas di muka bumi,para santri ini juga mangajak warga setempat untuk mempersiapkan diri dan berbekal menuju kehidupan akhirat,yaitudengan memperkuat keimanan, menjalankan ibadah, serta menjalin hubungandengan Tuhan mereka.

Hal ini membuktikan bahwa ajaran moderasi Islam dalam pendidikanpesantren mampu menghadirkan identitasnya sebagaiporos tengah yang terpusatdalam gerakan Islam moderat diantara dua kubu yang berbeda haluan, yaitu gerakanIslam kontemporer yang cenderung liberal dan gerakan Islam konservatif yang lebihradikal. Beberapa agenda utama dari pengembanganajaran ini adalah:

1) memperbaiki citra Islam sebagai rahmat bagi semesta alam yangdipandang negatif dimasyarakat internasional;

2)membangun keseimbangan (harmoni)dan membumikan kerukunan (toleransi) di antarakelompok-kelompok yang berbeda,baikdi luar Islam maupun didalam Islam itu sendiri;

3) memastikan bahwa pahammoderasitidak melampaui garis-garis primer (tsawabit) yang terdapatdalam ajaran Islam;serta

4) menebarkan perdamaian di mukabumi dengan membangun dialog intra-religiousdan inter-faith. Alasan beberapa agenda utama tersebut adalah bahwaperbedaan pahamkeagamaan adalah entitas yang patut dilindungi dan dihormati sesuai prinsip “menerimayang lain”.

2. Model Moderasi Agama pada Pesantren Modern

Beberapa pesantren modern menerapkan praktik moderasi agama dilembaganya berbeda dengan model penerapan di pesantren klasik. Pesantrenmodern lebih menekankan pada pembenahan kurikulum, sistem pembelajaran,tenaga pengajar serta santri itu sendiri. Dari aspek kurikulum, materi yang difokuskan memang padapembelajaran agama namun tidak menafikan pelajaranumumlainnya.

Pesantren jenis ini yang mengkombinasikan antara pesantren tradisionaldan juga model pendidikan formal dengan mendirikan satuan pendidikan semacamSD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA bahkan sampai pada perguruan tinggi. Kurikulumyang digunakan adalah kurikulum pesantren salaf yang diadaptasikan dengankurikulum pendidikan Islam yang disponsori oleh Departemen Agama dalamsekolah (Madrasah). Sedangkan kurikulum khusus pesantren dialokasikan dalammuatan lokal atau mungkin diterapkan melalui kebijaksanaan sendiri. Gambaran kurikulum lainnya adalah pada pembagian waktu belajar, yaitu mereka belajarkeilmuan sesuai dengan kurikulum yang ada di perguruan tinggi (madrasah) pada waktu kuliah. Sedangkan waktu selebihnya dengan jam pelajaran yang padat dari pagi sampai malam untuk mengkaji keilmuan islam khas pesantren (pengajian kitabklasik).

Kurikulum pendidikan pesantren modern yang merupakan akan mampumemumculkan output pesantren berkualitas yang sehingga santri bisa secaracepat dan beradaptasi dalam setiap masyarakat, karena bukan golongan ekslusifdan memiliki kemampuan yang siap pakai.

Sebagai wujud mengokohkan dan menguatkan peran pesantren dalammenangkal radikalisme dan ekstrimisme perlu adanya internalisasi moderasi beragama dalam kurikulum pesantren. Hal ini bertujuan untuk menengahi kedua kutub ekstrem ini, dengan menekankan pentingnya internalisasi ajaran agama secara substantif di satusisi, dan melakukan kontekstualisasi teks agamadi sisi lain.

Bentuk internalisasi dalam kurikulum pesantren yaitu pada hidden curriculum(kurikulum tersembunyi) dan core kurikulum(kurikulum inti). Pada hidden curriculum menjadi efek penggiring terhadap materi pelajaran. Dalam pengembangannya,kurikulum tersembunyi memainkan peran dari segi afektif pendidik yang ditiru/dijadikan contoh dan mengandung pesan moral serta niai-nila positif yang berkenaan dengan moderasi beragama.Misalnya dalam indicator moderasi beragama terdapat 4 hal;

1) komitmen kebangsaan;

2) toleransi;

3) antikekerasan; dan

4) akomodatif terhadap kebudayaan lokal.

Pada sikaptoleransi,santri selalu disertai dengan sikap hormat, menerima orang yang berbedasebagai bagian dari diri kita, dan berpikir positif. Implementasinya pada saatpelaksanaan pembelajaran berlangsung, pendidik berusaha memadukan materipembelajaran dengan nilai-nilai atau pesan-pesan moral dengan konteks moderasiberagama.

Core curriculum merupakan kurikulum yang memuat pengetahuan umum untuk semua santri sebagai pengalaman belajar.Konten atau materi pembelajaran memang diarahkan untuk membentuk karakter moderat bagi santri. Hal tersebut secara tersuratdiajarkan dalam setiap materi yang berhubungan langsung dengan pembentukan karaktersantri yang moderat. Hal ini jugatidak jauh beda dengan pelaksanaan dalam kurikulum tersembunyi,yaitu dalampelaksanaannya harus diawali pendidik terlebih daluhu, karena pendidik sebagai rolemodel, yaitu pendidik senantiasa dituntut menjadi sebuah model dalam Pendidikan karakter dan penanaman nilai-niai moral. Moderasi beragama dimasukkan dalam materi sebagaibahan ajar yang diintegrasikan dengan pendidikan multikultural, yaitu menurut Ainurrafiq Dawam adalah proses pengembangan seluruh potensi manusiayang menghargai pluralitas, dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragamanbudaya, etnis, suku dan aliran (agama). Dengan begitu,lembaga Pendidikan pesantren mampu berperan berperan dalam menyiapkan seperangkat pengetahuan praktis tentang moderasi beragama di dalam kurikulum dan setiap akademisi akanmemiliki acuan nilai yang eksplisit. Hal ini penting untuk dicapai karena memiliki sikapmoderat bagi santri sebagai sebuah keharusan dalam meminimalisir dampak negative dari bahaya radikalisme di pesantren.

Tidak hanya santri yang moderat tapi juga melaui santri peningkatan dankeseimbangan anatara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik dan memilikikecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak bersama dengan kebhinekaan(plurality) di lingkungan masyarakat.

Perbedaan pesantren tradisional dengan pesantren modern dapatdiidenfifikasi dari perpespektif manajerialnnya.Pesantren modern telah dikelolasecara rapi dan sistematis dengan mengikuti kaidah-kaidah manajerial yangumum.Sementara itu, pesantren tradisional berjalan secara alami tanpa berupayamengelola secara efektif.

Pendidikan Etika Islam di Pesantren Sebagai Pengembangan KurikulumBerwawasan Moderasi Beragama

Idealnya sebuah pesantren terutama yang hidup di Indonesia,mengajarkan pada peserta didiknya nilai-niai etika Islam yang selaras dengankondisi masyarakatnya yang hidup heterogen.Sehingga pesantren mampu mencetak lulusan-lulusannya yang mampu berfikir dan bertindak moderat yang mengarahkan pada sikao inklisif, toleran serta humanis sebagai hasil pemahaman mendalam tentang etika islam.

Pendidikan di pesantren mengajarkan materi tentang agama Islam secara komperhensif, diantaranya meliputi aspek aqidah (keimanan), syariah (ibadah) dan akhlak (etika). Pengajaran tentang materi-materi agama Islam tersebut selama ini diberikan dengan baik, artinya peserta didik tidak hanya fokus pada pemahaman teks-teks keagamaan an sich, namun mereka juga didorong untuk mampu menyesuaikan pemahamannya dengan kondisi sosio-historis Islam yang ada di Indonesia sehingga menjadikan lulusan pesantren berwajah etis dan berwawasan moderat. Namun akhir-akhir ini terdapat beberapa pesantren yang dalam pengajarannya tidak menghiraukan realitas kehidupan masyarakat Islam di Indonesia sehingga lulusannya cenderung bersikap radikal akibat dari pemahaman keagamaannya. Maka dari sini perlu adanya pengembangan kurikulum pesantren terutama mengenai pembelajaran etika Islam secara mendalam sehingga mampu menangkap nilai-nilai moderasi di dalam etika Islam.

Dalam teori pengembangan kurikulum terdapat beberapa macam pendekatan, salah satunya yaitu pendekatan bidang studi dan pendekatan rekonstruksionisme.Pendekatan bidang studi menfokuskan mata pelajaran sebagai dasar organisasi kurikulumnya sehingga mengutamakan pada penguasaan bahan dalam disiplin ilmu tertentu. Sedangkan pendekatan rekonstruksionisme atau disebut juga pendekatan rekonstruksi sosial mengutamakan pada permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat yang penting untuk segera diperbaiki, misalnya terkait dengan keadilan,hak asasi manusia, konflik dan perdamaian dan lain-lain,sehingga dalam pembelajarannya mengutamakan pemecahanmasalah (problem solving) dengan berbagai disiplin ilmu.

Adapun langkah-langkah dalam pengembangan kurikulum etika Islam dapat melalui tahap-tahap berikut ini:

  1. Melakukan kajian kebutuhan (needs assessment)

Kurikulum yang hendak dikembangkan terkait dengan etika Islam. Aspek inipenting untuk dipelajari secara luas dan mendalam sebab pemahaman santriterhadap aspek yang lain,mencakup akidah (keimanan) dan syariah (ibadah)perlu dibarengi dengan penanaman etika yang mendalam sehingga santribenar-benar memahami realitas masyarakat Islam di Indonesia sehinggamampu menyesuaikan pandangannya sesuai dengan wajah Islam Indonesia.Selama ini Islam radikal cenderung memaksakan keyakinan dan penerapan hukum agama sesuai yang dipahaminya tanpa menghiraukan kondisi sosio-historis masyarakat yang ada sehingga sering terjadi konflik antar kelompokdan golongan yang menyebabkan renggangnya kerukunan dalam beragama.Disinilah pentingnya pendalaman etika Islam sehingga mampu memahaminilai-nilai moderasi yang ada di dalamnya yang sesuai dengan wajah Islam Indonesia.

  1. Menentukan mata pelajaran yang akan diajarkan

Pelajaran etika Islam biasanya tercakup dalam mata pelajaran akhlak. Di sinipesantren harus mampu memilih dan memilah antara buku-buku etika yang mengarahkan santri untuk memahami etika Islam yang berwawasanmoderat,sebab beberapa penelitian yang ada mengungkap adanyapembelajaran etika yang mengarahkan santri menjadi radikal. Seharusnyamateri etika Islam yang diberikan sebagaimana yang selama ini diajarkan dipondok-pondok pesantren yang berhaluan moderat,seperti taysir al-khalaq,wasaya, budayat al-hidayah, ihya’ ulum al-din,dan lain-lain.

Pemahaman yang mendalam tentang etika Islam dalam referensi-referensidi atas akan mengkonstruk pemahaman seseorang tentang bangunan etika Islam secara utuh sehingga bisa memahami sisi moderasi yang ada didalamnya.

  1. Merumuskan tujuan pembelajaran

Adapun tujuan dari pendalaman materi etika Islam melalui kitab-kitab diatas adalah membentuk pemahaman santri yangmendalam dan menyeluruh tentang etika Islam sehingga mampu berfikir dan bertindakdari pemahaman keagamaannya sesuai dengan kondisi sosio-historis masyarakat yangada. Dari situ maka akan menjadikan santri berwawasan moderat yang mempunyaikaraktek humanis, toleran dan juga inklusif yang sesuai dengan wajah Islam Indonesia yang rahmat lil al-‘alamin.

  1. Menentukan strategi belajar mengajar

Strategi belajar mengajar yang digunakan bisa menggunakan beberapa bentuk sebagaimana yang khas dilakukan di pesantren,misalnya sistem klasikal, sorogan, bandongan dan musyawarah.Penggunaan sistem pembelajaran tersebut biasanya menyesuaikan jenis pesantren, misalnya pesantren salafiyah,khalafiyah dan kombinasi.Untuk kitab-kitab etika Islam yang pembahasannya ringkas maka bisa menggunakan sistem klasikal atau sorogan sehingga bisa diselesaikan dengan target waktu tertentu. Sedangkan kitab-kitab etika yang berupa kitab-kitab induk maka bisa dengan sistem bandongan dan musyawarah.Dalam sistem bandongan biasanya tidak ditentukan lama pembelajarannya, sebab disini kiai atau guru menjadi sentral dalam pembelajarannya. Dalam sistem ini juga membutuhkan interpretasi dari guru mengenai teks yang dibaca sehingga membutuhkan kemampuan guru yang mumpuni, baik dalam aspek pemahaman bahasa dan juga pemahamannya megenai kondisi sosio-historis masyarakatnya sehingga tepat dalam memaknai realitas.

Sedangkan sistem musyawarah juga penting untuk dilakukan untuk mendalami kitab-kitab induk, sekaligus menghadirkan problem-problem yang terjadi di masyarakat sehingga mampu memberikan solusi dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat yang ada. Dalam sistem ini juga membutuhkan kemampuan disiplin ilmu yang lain, misalnya ilmu gramatikal arab dan juga ushul fiqih untuk memutuskan sebuah hukum.

Dari beberapa sistem pembelajaran di atas menawarkan interaksi yang seimbang antara guru dan murid. Dalam sistem klasikal dan bandongan berpusat pada guru (teacher centered), sedangkan sistem sorogan dan musyawaroh berpusat pada murid (student centered). Dari sistem ini diperoleh aspek demokratis, toleran,fleksibel dan dinamis dalam pendidikan sehingga tidak ada unsur pemaksaan yang mengarahkan pada pemahaman yang kaku dan jumud.

Tugas pesantren pada dasarnya harus melakukan perubahan sosial dan transfer keilmuan yang membantu tatanan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Perubahan sosial yang dimaksud ialah berupaya menjadi garda paling depan dalam membidani persoalan-persoalan yang tengah dihadapi masyarakat secara umum, selain juga terus menerus menanamkan nilai-nilai moral sebagai pijakan dalam mengarungi derasnya persaingan hidup yang semakin kompleks.

Kesimpulan

Kurikulum pendidikan di pondok pesantren secara garis besar dibagi menjadi 7 kelompok mata pelajaran fiqih, hadits, qur’an, tauhid, sastra arab, tasawuf, tafsir, pada masing-masing pelajaran tersebut pondok pesantren telah menentukan kitab yang dipakai berdasarkan jenjang kelas atau kemampuan santri. Secara garis besar, kurikulum di pesantren mencakup seluruh aspek kehidupan para santri; baik dalam menjalankan hubungan dengan Allah SWT ataupun hubungan dengan sesama manusia dan alam, baik aspek-aspek individual maupun sosial. Karena itu, bisa dikatakan bahwa kurikulum pesantren adalah “Kurikulum Hidup dan Kehidupan”.

Model moderasi agama pada pesantren klasik menerapkan moderasi agama dari konsep washatiyah dan al-ghulu yang diajarkan melalui kitab-kitab turats. Setiap pembelajaran santri dengan kitab apapun, tidak dilepaskan dari konsep saling menghargai sesama agama, menghormati dan saling membantusebagaimana dicontohkan rasulullah dalam menghargai kafirdzimmi. Selain itu,santri juga diajarkan teori preventif radikalisme sebagai da’i di masyarakat. Pesantren modern tidakhanya mengajarkan pengetahuan agama saja, melainkan memberikan kebebasan kepada santri untuk mengambil konsentrasi sendiri namun penguasaan agama diharuskan.

Dari pengembangan kurikulum dalam pengajaran etika Islam yang mendalam tersebut diharapkan lulusan pesantren mampu menangkap sisi-sisi moderasi yang ada di dalamnya sehingga menjadi sosok yang berwawasan moderat yang mempunyai karakter humanis, toleran, inklusif sesuai dengan wajah Islam Indonesia yang rahmat lil ‘alamin.

Oleh karena itu, Pondok pesantren yang berusaha mencetak insan muslim, membela dan mempertahankan nilai ajaran agama Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,selayaknya tetap eksis di tengah masyarakat Indonesia. Upaya tersebut dilakukan dengan tetap mempertahankan nilai ajaran Islam yang murni tanpa diracuni oleh unsur yang lain. Karena tugas pesantren pada dasarnya harus melakukan perubahan sosial dan transfer keilmuan yang membantu tatanan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Perubahan sosial yang dimaksud ialah berupaya menjadi garda paling depan dalam membidani persoalan-persoalan yang tengah dihadapi masyarakat secara umum, selain juga terus menerus menanamkan nilai-nilai moral sebagai pijakan dalam mengarungi derasnya persaingan hidup yang semakin kompleks, khususnya dalam menyikapi sikap radikalisme dan terorisme yang berlatarkan pemahaman dan ideologi agama.@

Penulis:

Zulham Afandi:
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, Prodi Hukum Keluarga Islam, UIN Suska Riau
banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *